Dari bunyinya, bis tua ini terdengar berusaha sekali menaklukkan jalan antar kota dari Labuan Bajo ke Bajawa. Bau keringat bercampur dengan asap rokok dan kendaraan lain, tertiup angin masuk melalui celah-celah jendela ke hidung saya. Bis ini tidak hanya ditumpangi oleh manusia, seekor anjing pun ikut diangkut oleh seorang bapak tua yang duduk tidak jauh di depan saya. Teriakan anak-anak yang ikut di atap bis ikut menghiasi suasana. Duduk di atap bis tua dengan jalan antar kota Flores yang berbukit-bukit membuat duduk di atas kereta KRL seperti naik kereta di Istana Boneka. Kami bertujuh memutuskan naik bis yang pertama berhenti di depan penginapan kami di Labuan Bajo setelah sebelumnya berkunjung ke Pulau Komodo. Tubuh kami sudah mulai terasa pegal-pegal. Perjalanan darat dari Bali menuju ke Flores sudah mulai menunjukkan akibat kurang baik bagi kesehatan. Tapi tidak ada yang mengalahkan perasaan itu. Rasa bebas. Bebas memilih, walau mungkin salah. Bebas menentukan dan mengambil risiko. Kami tidak tahu harus naik apa dari Labuan Bajo menuju Desa Moni, pemberhentian terakhir sebelum Kelimutu. Yang kami tahu, saat ini, kami harus menikmati 7 jam duduk di bis tua ini, bersama seekor anjing, menuju ke Bajawa. Setidaknya ini langkah maju. – Kami tidak lama di Bajawa. Sebuah mobil sewaan berserta supirnya berhasil kami temukan. Cukup murah, mengingat biaya sewanya kami bagi tujuh. Lagu-lagu disko pak supir menemani (baca: mengganggu) tidur kami malam itu. Jalan masih berkelak-kelok tanpa penerangan selain lampu depan mobil. Saya curiga pak supir sedang mabuk sambil menyetir. Haha. – Tengah malam kami baru sampai di Moni. Langit di Moni saat itu cerah dengan bintang yang berkerlap-kerlip. Tapi waktu istirahat tidaklah banyak. Kami harus naik ke Kelimutu sebelum subuh untuk dapat menyaksikan terbitnya matahari. Jadilah pukul 3 pagi, dengan jaket tebal, saya dan teman-teman menuju ke Kelimutu. Perjalanan ke kaki bukit kami tempuh dengan tumpangan mobil sewaan kami yang dengan baik hati mau mengantar kami sampai tempat itu. Sayangnya, dia tidak bisa menunggu kami turun. Kami harus turun sendiri katanya. Tapi tidak ada yang terlalu perduli. Fajar sudah hampir menyingsing. Kami tidak sempat berpikir apa-apa dan langsung berlari memanjat bukit yang sudah dilengkapi tangga-tangga. Tidak banyak orang di tempat itu. Tapi mungkin kami adalah satu-satunya orang Indonesia di sana. Ah, selain bapak penjual kopi yang menjadi sarapan kami sambil melihat matahari yang timbul perlahan. Perjalanan ribuan kilometer dari Jakarta berakhir di sini.
Menunggu matahari terbangun
Pemandangan dari atas bukit
Danau Kelimutu sebenarnya adalah kawah gunung. Jumlahnya ada tiga dengan warna yang berbeda-beda dan berganti-ganti setiap waktu. Konon, menurut kepercayaan masyarakat, masing-masing danau adalah tempat berakhirnya arwah dari orang-orang yang telah meninggal. Pagi di Agustus itu, Kelimutu berwarna hijau toska, hijau muda, dan merah kehitaman.
Satu dari tiga kawah Danau Kelimutu
Ada mitos yang mengatakan bahwa kita tidak bis melempar batu sampai ke danau. Sebagai anak-anak muda yang dididik ilmu pengetahuan, kami mengambil batu-batu dan melemparnya kencang-kencang ke tengah danau. Percobaan itu… Gagal.
Percobaan yang gagal
– Sampailah kami pada masalah berikutnya. Bagaimana cara pulang ke Desa Moni? Beruntunglah kami akhirnya mengikuti bapak penjual kopi turun gunung ke desa-nya. Di tengah jalan kami beristirahat di beberapa rumah penduduk dan berbincang tentang kopi, kain tenun Flores, dan keluarga mereka. Saya rasa orang-orang Flores adalah yang teramah yang pernah saya temui.
Perjalanan turun gunung
Salah satu keluarga yang memperbolehkan kami istirahat sejenak di rumah mereka
Satu hal lagi. Ketika bertanya berapa jauh jarak dari Kelimutu ke Moni, semua orang yang kami temui dalam perjalanan turun gunung berkata “dekat lagi” atau “sebentar lagi”. Pada kenyataannya, kami berjalan kami selama hampir 5 jam sebelum sampai ke Desa Moni. Ternyata jarak itu relatif. Di Moni ternyata lebih sering terdapat turis asing daripada turis lokal, sehingga makanan di warung pun banyak yang terkesan kebarat-baratan. Mahal pula! Tak mengapa lah. Hitung-hitung mendukung ekonomi warga lokal juga. Haha. Saya terbiasa tidak terlalu suka menawar harga kepada masyarakat lokal wilayah yang saya kunjungi selama masih masuk akal. Esok paginya kami naik angkot ke Ende sebelum bertolak ke Jakarta. Supir angkotnya kali ini malah mengaku sedang mabuk. Tetapi jangan-jangan ini yang membuat mereka sangat ramah dan senang bercerita! Ha! Melewati kelok-kelok jalan rusak dan jurang, abang supir bercerita sambil tergelak, kami pun terkadang ikut tergelak sambil menahan mual dan berdoa dengan intensitas tinggi. Haha. “Nanti coba sopi (minuman alkohol lokal), ya!” abang supir menyahut riang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H