Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, manusia memiliki kelebihan berupa akal dan nafsu. Mereka memanfaatkan akal pikirannya untuk melawan dunia yang ditinggali. Namun terkadang mereka terlalu menguras habis segala isi dunia karena nafsu yang tak tertahankan. Begitulah manusia, maka untuk membatasinya diperlukan konsep agama yang mengatur segala perilaku mereka di dunia.
Dalam konsep agama Islam, menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, direpresentasikan dengan menaati segala aturanNya dan menjauhi segala laranganNya. Salah satu wujud menaati aturannya yaitu mengingat Allah dengan cara Salat.
Hal yang paling simbolik dalam salatnya umat muslim yaitu saat sujud sebagai wujud praktik penyembahan Allah Swt. Sujud berarti menadahkan kepala lebih rendah dibanding dengan bokong.
Sebuah representasi bahwa keangkuhan yang biasanya dimiliki oleh kepala bisa begitu rendahnya dari bokong yang merupakan bagian pembuangan segala kotoran dalam tubuh.
Namun, dewasa kini, tumbuh pertanyaan yang begitu mendasar bagi muslim; sudah benarkah salat kita? Barangkali pertanyaan itulah yang membuat Gus Mus --KH. Ahmad Mustofa Bisri, menulis puisi 'Sujud'. Mengajak kita berpikir kembali mengenai salat dan khususnya sujud kita selama ini.
Bagaimana kau hendak bersujud pasrah
sedang wajahmu yang bersih sumringah
keningmu yang mulia
dan indah begitu pongah
minta sajadah
agar tak menyentuh tanah.
Pada bait pertama puisi Sujud, penulis mengajak kita menggunakan kelebihan yang Tuhan berikan berupa akal pikiran. Penulis mengajak kita berpikir sekaligus merenungi keinginan kita untuk bersujud pasrah.
Pasrah adalah sebuah sikap menerima apa adanya. Tidak meminta hal lebih selain apa yang telah tersaji di depan kita. Ketika Tuhan menyajikan bumi yang terhampar sebagai tempat kita bersujud, mengapa kita masih meminta hal lain agar kepala yang begitu kita banggakan tidak terkotori oleh tanah bumi? Tanah yang di mana tempat kita akan kembali kelak?
Ataukah kita hanya melihat tanah sebagai sesuatu yang rendah yang tak pantas untuk tubuh kita tapaki selain kaki? Begitulah nafsu akan menguasai akal pikiran. Nafsu yang berbuah menjadi sifat sombong yang bisa menyesatkan manusia. Seperti yang penulis gambarkan pada bait selanjutnya.
Apakah kau melihatnya
seperti iblis saat menolak menyembah bapakmu
dengan congkak,
tanah hanya patut diinjak,
tempat kencing dan berak
membuang ludah dan dahak
atau paling jauh hanya jadi lahan
pemanjaan nafsu
serakah dan tamak.
Salah satu dosa yang mengawali segala dosa mahluk ciptaan Tuhan adalah sifat dengki yang bermula dari rasa sombong, perasaan membanggakan diri sendiri dan menganggap yang lain lebih rendah. Sifat itulah yang dimiliki Iblis yang kemudian membawanya dalam kebinasaan kelak. Penulis menggambarkan watak congkak, watak sombong mahluk yang merasa pencipatannya lebih baik dari mahluk yang tercipta dari tanah.
Sifat yang secara tidak langsung manusia miliki saat ini. Merasa bahwa tanah adalah tempat untuk memanjakan nafsu belaka. Tanah yang seharusnya dapat memakmurkan seluruh mahluk, kini menjadi tempat untuk dikuasai satu sama lainnya. Menimbulkan keserakahan untuk menguasai lebih luas, menimbulkan ketamakan yang berujung pada penindasan satu sama lainnya. Sehingga kita lupa pada hakikat awal untuk apa tanah ini diciptakan. Beginilah penulis mencoba mengingatkan kita.
Apakah kau lupa
bahwa tanah adalah bapak
dari mana ibumu dilahirkan,
tanah adalah ibu yang menyusuimu
dan memberi makan
tanah adalah kawan yang memelukmu
dalam kesendirian
dalam perjalanan panjang
menuju keabadian.
Selain itu, penulis pun mengajak kita untuk dapat memaknai kepasrahan dalam beribadah.
Hal yang mungkin sulit untuk diterapkan oleh kebanyakan orang hari ini. Seperti dalam kutipan berikut.
Singkirkan saja
sajadah mahalmu
ratakan keningmu,
ratakan heningmu,
tanahkan wajahmu,
pasrahkan jiwamu,
biarlah rahmat agung
Allah membelai
dan terbanglah kekasih.
Puisi mengajarkan kita untuk merenungkan sesuatu. Selain memberi kita hiburan berupa permainan kata yang indah dalam pengungkapannya, puisi pun dapat mengajarkan banyak hal kepada kita. Melalui puisi ini, kesombongan bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Kesombongan adalah awal menuju kehancuran seperti yang dialami iblis. Bila kita masih memelihara sifat sombong, lantas apa bedanya kita dengan iblis? Masih maukah kita untuk bersujud?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H