Novel diceritakan dari sudut pandang Giok Lan, seorang wanita lanjut usia yang dahulu diadopsi dan menetap di Belanda. Ia kembali ke Indonesia untuk menelusuri asal-usul dan latar belakang keluarga kandungnya. Pada akhirnya Giok Lan pun tahu bahwa ibu  kandungnya bernama  Siti  Noerhajati, seorang ca-bau-kan pribumi asal Betawi yang lebih dikenal dengan nama "Tinung". Sedangkan ayah kandungnya, seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Peng Liang.
Tinung lahir di tengah keluarga yang serba kekurangan. Ia menikah muda, namun suaminya meninggal saat ia hamil. Tinung juga diusir ibu mertua serta keempat istri almarhum suaminya. Demi melanjutkan hidup, Tinung mengikuti jejak Saodah, bibinya, belajar menari cokek dan menjadi ca-bau-kan di Kalijodo. Kecantikan membuat Tinung terkenal di Kalijodo. Ia pun dijadikan simpanan pria Tionghoa juragan kebun pisang asal Gang Tamim, Bandung, bernama Tan Peng Liang. Ternyata Tan Peng Liang adalah seorang rentenir kejam yang tidak segan menghukum siapa pun yang terlambat mengembalikan pinjaman darinya. Tinung ketakutan dan tak tahan melihat kekerasan yang terjadi di rumahnya setiap hari. Ia kabur dan memilih kembali bekerja menjadi ca-bau-kan di Kalijodo.
Saat menari di perayaan Cio Ko, Tinung bertemu pria berdarah Jawa-Tionghoa bernama Tan Peng Liang dari Gang Pinggir, Semarang, yang berprofesi sebagai pengusaha tembakau dan candu. Tak perlu waktu lama, Tan Peng Liang langsung tertarik kepada Tinung dan menjadikan Tinung simpanannya. Namun berbeda dengan yang dulu, Tan  Peng  Liang yang ini sangat baik. Tinung benar-benar jatuh cinta dan ingin berhenti menjadi ca-bau-kan. Perlahan hubungan cinta mereka semakin dalam. Hingga akhirnya mereka menikah secara resmi setelah istri Tan Peng Liang yang sudah lama sakit meninggal dunia.
Dari sinilah awal mula teka teki siapa ayah kandung Giok Lan sebenarnya. Ada dua pria keturunan Tionghoa bernama Tan Peng Liang dalam hidup Tinung. Tan Peng Liang Gang Tamim Bandung si juragan kebun pisang dan rentenir, atau Tan Peng Liang Gang Pinggir Semarang si pengusaha tembakau dan candu? Giok Lan tidak tahu yang mana di antara mereka yang merupakan ayah kandungnya.
Cerita beralih pada masa Tan Peng Liang mengukirkan nama sebagai pengusaha tembakau dan candu, yang sengaja memanas-manasi Oey Eng Goan, lawan bisnisnya. Mulai dari membagi-bagikan uang dan candu di sebuah acara klenteng, hingga menawar lukisan di acara lelang dengan harga lebih tinggi. Sakit hati Oey Eng Goan memuncak ketika Tan Peng Liang menipu saat berbisnis tembakau. Oey Eng Goan marah dan berusaha membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Usahanya berhasil digagalkan keponakan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang kemudian membalas dendamnya dengan membakar gudangnya sendiri dan menyebar fitnah bahwa Oey Eng Goan lah pelakunya. Saat seorang wartawan yang menyelidiki kasus pembakaran itu, Tan Peng Liang ketahuan memproduksi dan menyebarkan uang palsu. Tan Peng Liang ditangkap dan dipenjara. Namun, ia berhasil melarikan diri, kabur ke Makau, dan berganti nama menjadi Simon Chen.Â
Tinung pun terpaksa hidup sendirian. Dalam  kemiskinan, Tinung terpaksa menyerahkan Giok Lan untuk diadopsi oleh sepasang suami istri Belanda. Sementara itu, Tan Peng Liang berusaha kembali ke Jakarta dengan berpura-pura meninggal agar bisa dipulangkan sambil menyelundupkan candu dalam peti matinya itu. Melalui candu itulah ia dapat membiayai keluarga, termasuk istrinya, Tinung. Walau sudah kembali bersama, hubungan mereka renggang. Tinung depresi karena sulit hamil lagi sejak dipaksa menjadi jugun ianfu. Ternyata selama Tan Peng Liang kabur ke Makau,  salah  satu  anggota  Kong  Koan, Thio  Boen  Hiap menyerahkan Tinung  kepada  pasukan Jepang untuk menjadi jugun ianfu. Tidak ada yang mencegah, bahkan anak-anak Tan Peng Liang pun membiarkan ini terjadi. Tan  Peng  Liang marah besar dan menembak  mati  Thio Boen Hiap. Hubungan Tinung dan Tan Peng Liang membaik dan dikaruniai anak  laki-laki bernama Ginandjar L. Sutan. Kebahagiaan tak berlangsung lama. Tan Peng Liang meninggal setelah memakan durian beracun dari rekan bisnisnya yang ternyata hasil rencana Oey Eng Goan. Ia masih dendam karena Tan Peng Liang telah membunuh Thio Boen Hiap.
Cerita berujung pada Giok Lan yang akhirnya bertemu dengan Ginandjar  L.  Sutan saudaranya, dan mengunjungi Oey  Eng  Goan di panti jompo. Di panti, Oey Eng Goan mengaku telah merencanakan pembunuhan Tan Peng Liang. Kedua keturunan Tan Peng Liang sangat marah. Namun Giok Lan akhirnya memaafkan dan melupakan kejadian tersebut walau saudaranya menentang. Giok Lan kemudian berziarah ke makam kedua orang tuanya, Siti "Tinung" Noerhajati dan Tan Peng Liang Gang Pinggir Semarang, sebelum kembali ke Belanda.
KRITIK SASTRA
Saya bukan penggemar novel bergenre percintaan. Menurut saya gimik yang disajikan pada genre tersebut terkadang kelewat dramatis cenderung lebay. Namun sepertinya anggapan itu tidak terlalu terasa pada novel ini. Entah karena kualitas novelnya, atau pola pikir saya yang telah bertransformasi lebih bijak. Sejauh ini, novel Cau Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa adalah novel fiksi sejarah berbalut percintaan terbaik yang pernah saya baca.
Novel ini juga punya jalan cerita yang menarik dan punya banyak kejutan. Kehadiran ca-bau-kan, pengusaha licik namun sayang keluarga, hingga "keajaiban" hadirnya dua pria bernama sama di hidup Tinung. Kebanyakan tokoh perempuan pada sastra Indonesia berkepribadian tanpa cela. Tapi tidak pada tokoh Tinung. Ia memang sosok perempuan dengan profesi penuh cela, namun profesinya ini tidak kemudian membuatnya berkepribadian sama. Disini kita seakan diajarkan untuk tidak seenaknya menilai seseorang dari pekerjaannya, karena kita tidak tahu apa alasan dibaliknya. Adanya konflik antara Tan Peng Liang dengan Thio Boen Hiap dan Oey Eng Goan dalam dunia bisnis juga mengajarkan bahwa bahwa segala perbuatan dan pilihan hidup memiliki konsekuensi masing-masing yang tidak bisa dihindari. Apakah itu kebaikan atau kejahatan berbentuk kebohongan, fitnah, tindak kekerasan, maupun pembunuhan.
Rasa cinta dalam hubungan Tinung dan Tan Peng Liang digambarkan natural tidak dibuat-buat. Tan Peng Liang pernah memukul Tinung. Ia juga menyelamatkan diri kabur ke Macau dan meninggalkan Tinung sendirian. Namun, dibalik itu semua ia tetap berusaha pulang dan membawa candu untuk membiayai kehidupan keluarganya. Di sisi lain, Tinung mau meninggalkan profesinya sebagai ca-bau-kan setelah ia bertemu dan berkeluarga dengan Tan Peng Liang. Adegan paling menyentuh bagi saya adalah saat Tan Peng Liang marah besar mengetahui Tinung dibiarkan menjadi jugun ianfu. Dalam lukanya, ia tetap menerima Tinung bagaimanapun kondisinya. Saya yakin, pembaca mengetahui bahwa cinta antara mereka kuat walau tidak digambarkan penuh gairah dan menggebu-gebu.