Kritik Sastra Novel karya Remy Sylado
Saya tidak marah kalau Anda, seperti lidah Melayu, kepalang melafalkan ca-bau-kan menjadi cabo. Yang saya marah, kalau Anda kira ca-bau-kan atau cabo itu perempuan yamg tiada bermoral. Ini pembelaan. Bukan hanya pembetulan
IDENTITAS KARYA
Judul : Ca-bau-kan : Hanya Sebuah Dosa
Penulis : Remy Sylado
Pembuat Sampul : Rully Susanto
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit : Maret 1999
Format : Sampul Lunak
Bahasa : Indonesia
Genre : Fiksi Sejarah, Drama, Percintaan, Dewasa
Latar tempat : Batavia, Indonesia, Semarang, Jawa Tengah, Thailand
Latar waktu : Tahun 1930 -1950Â
Alur : Mundur
Jumlah halaman : 414 halaman
Dimensi buku : 14 cm x 21 cm
IDENTITAS PENULIS
Yusbal Anak Perang Immanuel Panda Abdiel Tambayong atau Remy Sylado lahir pada tanggal 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia memiliki sejumlah nama pena seperti Dova Zila, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel, Alif Danya Munsyi, dan lain-lain. Menghabiskan masa kecil di Solo dan Semarang, Remy memang senang sekali membaca. Ia bahkan telah membaca buku-buku "berat" dan mempelajari hampir semua tokoh sejarah ketika masih kelas 5 SD. Setelah lulus SMA, Remy sempat mencicipi Akademi Teater Nasional Indonesia di Solo, Akademi Seni Rupa Indonesia di Solo, serta Akademi Bahasa Asing di Jakarta.
Selain menguasai bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda, Remy Sylado juga sudah mulai menulis di usia 16 tahun. Sastrawan serba bisa ini juga dikenal berprofesi sebagai penyair, novelis, cerpenis, kritikus sastra, dramawan, pemusik, penata rias, aktor, ilustrator, jurnalis, dan dosen. Sebagai jurnalis, Remy Sylado menekuni karir wartawannya sejak tahun 1963 sampai 1965 serta pernah menjadi redaktur majalah Tempo Semarang, Top, Fokus, Vista, dan majalah Aktuil Bandung. Remy pun pernah mengajar di Akademi Sinematografi Bandung, Institut Teater dan Film, Sekolah Tinggi Teologi dan menjadi ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung.
Pada tahun 1972, Remy Sylado menggelar pertunjukan drama Genessis II di Bandung yang mempelopori lahirnya aliran puisi Mbeling. Seni berpuisi yang bebas, tidak baku, dan tidak banyak mengikuti aturan puisi yang ada saat itu. Bagi Remy, puisi yang baik adalah puisi yang dapat menggugah kesadaran. Bukan yang malah membuat takut berkreasi lataran terlalu banyak aturan dalam penciptaannya. Sastrawan yang satu ini memang terkenal dengan sikap beraninya menentang pandangan umum yang tidak sejalan dengan pikirannya. Karya-karya yang selalu memasukan makna kemanusiaan seakan ingin menyadarkan pembacanya bahwa sifat baik dan buruk seseorang tidak terbatasi ras, etnis, agama, maupun gender.
Hal inilah yang kemudian menjadikan karya-karyanya unik dan tidak biasa. Penggunaan mesin ketik saat menulis serta ciri khas kebahasaannya yang suka menggunakan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai, serta kebiasaannya melakukan riset mendalam sebelum proses menulis menjadikan karya-karyanya makin istimewa. Selain Ca Bau Kan : Hanya Sebuah Dosa, Remy Sylado telah melahirkan banyak karya puisi, novel, drama, juga nonfiksi, diantaranya novel Orexas (1978), Gali Lobang Gila Lobang (1977), Siau Ling (2001), Kerudung Merah Kirmizi (2002) yang membuatnya dianugerahi penghargaan sastra "Khatulistiwa Award", Kembang Jepun (2003), Parijs Van Java (2003), Matahari Melbourne (2004), Sam Po Kong (2004), Puisi Mbeling (2005), Rumahku di Atas Bukit, Drama Musikalisasi Tarragon "Born To Win" yang disajikan dalam bahasa asing, serta masih banyak lagi.
Di usia 77 tahun ini, kesehatan Remy Sylado dikabarkan menurun. Menurut pihak keluarga, Remy mengalami komplikasi infeksi ginjal, hernia, katarak, serta riwayat penyakit jantung dan tekanan darah tinggi yang menyebabkan stroke sehingga bagian kiri tubuhnya tidak bisa digerakkan. Di tengah keterbatasannya, jiwa seni dan kreativitasnya terus menyala. Bahkan dalam acara Doa dan Penggalangan Dana untuk Remy Sylado di Taman Ismail Marzuki bulan Februari lalu, Emmy sang istri sempat mengungkapkan curhatan Remy, "Di otak saya ada novel, tapi harus bagaimana?". Selain novel, ia juga masih ingin menyumbang alur cerita pementasan teater dan terbang ke Manado membangun Remy Sylado Centre and Gallery. Ya, tekad kuat Remy Sylado sukses menempatkannya sebagai seniman langka dan berbeda dari yang ada.Â
SINOPSIS
Novel diceritakan dari sudut pandang Giok Lan, seorang wanita lanjut usia yang dahulu diadopsi dan menetap di Belanda. Ia kembali ke Indonesia untuk menelusuri asal-usul dan latar belakang keluarga kandungnya. Pada akhirnya Giok Lan pun tahu bahwa ibu  kandungnya bernama  Siti  Noerhajati, seorang ca-bau-kan pribumi asal Betawi yang lebih dikenal dengan nama "Tinung". Sedangkan ayah kandungnya, seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Peng Liang.
Tinung lahir di tengah keluarga yang serba kekurangan. Ia menikah muda, namun suaminya meninggal saat ia hamil. Tinung juga diusir ibu mertua serta keempat istri almarhum suaminya. Demi melanjutkan hidup, Tinung mengikuti jejak Saodah, bibinya, belajar menari cokek dan menjadi ca-bau-kan di Kalijodo. Kecantikan membuat Tinung terkenal di Kalijodo. Ia pun dijadikan simpanan pria Tionghoa juragan kebun pisang asal Gang Tamim, Bandung, bernama Tan Peng Liang. Ternyata Tan Peng Liang adalah seorang rentenir kejam yang tidak segan menghukum siapa pun yang terlambat mengembalikan pinjaman darinya. Tinung ketakutan dan tak tahan melihat kekerasan yang terjadi di rumahnya setiap hari. Ia kabur dan memilih kembali bekerja menjadi ca-bau-kan di Kalijodo.
Saat menari di perayaan Cio Ko, Tinung bertemu pria berdarah Jawa-Tionghoa bernama Tan Peng Liang dari Gang Pinggir, Semarang, yang berprofesi sebagai pengusaha tembakau dan candu. Tak perlu waktu lama, Tan Peng Liang langsung tertarik kepada Tinung dan menjadikan Tinung simpanannya. Namun berbeda dengan yang dulu, Tan  Peng  Liang yang ini sangat baik. Tinung benar-benar jatuh cinta dan ingin berhenti menjadi ca-bau-kan. Perlahan hubungan cinta mereka semakin dalam. Hingga akhirnya mereka menikah secara resmi setelah istri Tan Peng Liang yang sudah lama sakit meninggal dunia.
Dari sinilah awal mula teka teki siapa ayah kandung Giok Lan sebenarnya. Ada dua pria keturunan Tionghoa bernama Tan Peng Liang dalam hidup Tinung. Tan Peng Liang Gang Tamim Bandung si juragan kebun pisang dan rentenir, atau Tan Peng Liang Gang Pinggir Semarang si pengusaha tembakau dan candu? Giok Lan tidak tahu yang mana di antara mereka yang merupakan ayah kandungnya.
Cerita beralih pada masa Tan Peng Liang mengukirkan nama sebagai pengusaha tembakau dan candu, yang sengaja memanas-manasi Oey Eng Goan, lawan bisnisnya. Mulai dari membagi-bagikan uang dan candu di sebuah acara klenteng, hingga menawar lukisan di acara lelang dengan harga lebih tinggi. Sakit hati Oey Eng Goan memuncak ketika Tan Peng Liang menipu saat berbisnis tembakau. Oey Eng Goan marah dan berusaha membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Usahanya berhasil digagalkan keponakan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang kemudian membalas dendamnya dengan membakar gudangnya sendiri dan menyebar fitnah bahwa Oey Eng Goan lah pelakunya. Saat seorang wartawan yang menyelidiki kasus pembakaran itu, Tan Peng Liang ketahuan memproduksi dan menyebarkan uang palsu. Tan Peng Liang ditangkap dan dipenjara. Namun, ia berhasil melarikan diri, kabur ke Makau, dan berganti nama menjadi Simon Chen.Â
Tinung pun terpaksa hidup sendirian. Dalam  kemiskinan, Tinung terpaksa menyerahkan Giok Lan untuk diadopsi oleh sepasang suami istri Belanda. Sementara itu, Tan Peng Liang berusaha kembali ke Jakarta dengan berpura-pura meninggal agar bisa dipulangkan sambil menyelundupkan candu dalam peti matinya itu. Melalui candu itulah ia dapat membiayai keluarga, termasuk istrinya, Tinung. Walau sudah kembali bersama, hubungan mereka renggang. Tinung depresi karena sulit hamil lagi sejak dipaksa menjadi jugun ianfu. Ternyata selama Tan Peng Liang kabur ke Makau,  salah  satu  anggota  Kong  Koan, Thio  Boen  Hiap menyerahkan Tinung  kepada  pasukan Jepang untuk menjadi jugun ianfu. Tidak ada yang mencegah, bahkan anak-anak Tan Peng Liang pun membiarkan ini terjadi. Tan  Peng  Liang marah besar dan menembak  mati  Thio Boen Hiap. Hubungan Tinung dan Tan Peng Liang membaik dan dikaruniai anak  laki-laki bernama Ginandjar L. Sutan. Kebahagiaan tak berlangsung lama. Tan Peng Liang meninggal setelah memakan durian beracun dari rekan bisnisnya yang ternyata hasil rencana Oey Eng Goan. Ia masih dendam karena Tan Peng Liang telah membunuh Thio Boen Hiap.
Cerita berujung pada Giok Lan yang akhirnya bertemu dengan Ginandjar  L.  Sutan saudaranya, dan mengunjungi Oey  Eng  Goan di panti jompo. Di panti, Oey Eng Goan mengaku telah merencanakan pembunuhan Tan Peng Liang. Kedua keturunan Tan Peng Liang sangat marah. Namun Giok Lan akhirnya memaafkan dan melupakan kejadian tersebut walau saudaranya menentang. Giok Lan kemudian berziarah ke makam kedua orang tuanya, Siti "Tinung" Noerhajati dan Tan Peng Liang Gang Pinggir Semarang, sebelum kembali ke Belanda.
KRITIK SASTRA
Saya bukan penggemar novel bergenre percintaan. Menurut saya gimik yang disajikan pada genre tersebut terkadang kelewat dramatis cenderung lebay. Namun sepertinya anggapan itu tidak terlalu terasa pada novel ini. Entah karena kualitas novelnya, atau pola pikir saya yang telah bertransformasi lebih bijak. Sejauh ini, novel Cau Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa adalah novel fiksi sejarah berbalut percintaan terbaik yang pernah saya baca.
Novel ini juga punya jalan cerita yang menarik dan punya banyak kejutan. Kehadiran ca-bau-kan, pengusaha licik namun sayang keluarga, hingga "keajaiban" hadirnya dua pria bernama sama di hidup Tinung. Kebanyakan tokoh perempuan pada sastra Indonesia berkepribadian tanpa cela. Tapi tidak pada tokoh Tinung. Ia memang sosok perempuan dengan profesi penuh cela, namun profesinya ini tidak kemudian membuatnya berkepribadian sama. Disini kita seakan diajarkan untuk tidak seenaknya menilai seseorang dari pekerjaannya, karena kita tidak tahu apa alasan dibaliknya. Adanya konflik antara Tan Peng Liang dengan Thio Boen Hiap dan Oey Eng Goan dalam dunia bisnis juga mengajarkan bahwa bahwa segala perbuatan dan pilihan hidup memiliki konsekuensi masing-masing yang tidak bisa dihindari. Apakah itu kebaikan atau kejahatan berbentuk kebohongan, fitnah, tindak kekerasan, maupun pembunuhan.
Rasa cinta dalam hubungan Tinung dan Tan Peng Liang digambarkan natural tidak dibuat-buat. Tan Peng Liang pernah memukul Tinung. Ia juga menyelamatkan diri kabur ke Macau dan meninggalkan Tinung sendirian. Namun, dibalik itu semua ia tetap berusaha pulang dan membawa candu untuk membiayai kehidupan keluarganya. Di sisi lain, Tinung mau meninggalkan profesinya sebagai ca-bau-kan setelah ia bertemu dan berkeluarga dengan Tan Peng Liang. Adegan paling menyentuh bagi saya adalah saat Tan Peng Liang marah besar mengetahui Tinung dibiarkan menjadi jugun ianfu. Dalam lukanya, ia tetap menerima Tinung bagaimanapun kondisinya. Saya yakin, pembaca mengetahui bahwa cinta antara mereka kuat walau tidak digambarkan penuh gairah dan menggebu-gebu.
Remy Sylado berhasil menyampaikan pesannya bahwa hidup pasti ada sulitnya dan tidak selalu berjalan mulus. Perselisihan dengan keluarga, ejekan dari orang disekitar, hingga perasaan tidak percaya diri yang kadang mengganggu pikiran dan menyebabkan over thinking. Perlu diingat, masih ada kekuatan bernama cinta kasih yang selalu ada meski kita sedang dibawah tekanan atau berada di titik terendah sekali pun. Cinta kasih yang selalu ada untuk mengingatkan kita untuk bertahan karena kita sesungguhnya tidak sendirian. Sebagaimana perjuangan Tinung dalam mencapai kebahagiaan dan lepas dari tekanan dari dalam diri sendiri serta lingkungan sekitarnya.
Walau dengan jumlah tokoh yang banyak dan nama yang sulit dihafalkan, novel ini mudah dipahami dan tidak membosankan. Mungkin karena deskripsi latar yang berdasarkan riset sehingga tersaji detail dan menyerupai kenyataan. Sejalan dengan teori kritik sastra mimetik, novel ini cukup berhasil membuat saya bisa membayangkan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat itu. Saya juga menemukan beberapa fakta sejarah dan nilai-nilai kebudayaan menarik yang belum pernah saya jumpai.Â
PENEGASAN ULANG
Novel Cau Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa karya penulis Remy Sylado sudah dicetak beberapa kali sejak penerbitan cetakan pertamanya pada bulan Maret 1999. Awal proyek Seri Sastra Tionghoa Peranakan terbitan KPG ini bercerita tentang kisah cinta beda etnis dan status sosial. Tinung perempuan Betawi yang berprofesi ca-bau-kan dengan Tan Peng Liang pengusaha tembakau dan candu keturunan Tionghoa. Meski fiksi, novel Cau Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa tetap menyajikan realita perilaku dan budaya Tionghoa pada zaman kolonial Belanda hingga masa kemerdekaan Indonesia secara detail.
Gambaran Batavia di masa Belanda yang perekonomiannya didominasi oleh orang-orang Tionghoa, kebiasaan hidup bersenang-senang yang digambarkan pada setting pelacuran di Kalijodo, cerita keganasan penjajah Jepang, hingga peristiwa agresi Belanda yang membuat novel ini tidak hanya menghibur tapi juga memicu rasa penasaran akan perkembangan politik Indonesia kala itu. Banyaknya tokoh memang sempat membuat bingung di awal membaca. Namun deskripsi novel yang tersaji detail menyerupai kondisi sebenarnya, penggunaan bahasa yang sederhana, serta peristiwa lucu yang menghiasi interaksi tokoh-tokohnya membuat novel ini cukup seru untuk dibaca sampai selesai.Â
Rintangan hidup pasti selalu ada. Oleh karena itu, setiap kita wajib memodali diri agar mampu menghadapinya. Kita perlu cinta kasih, apa pun itu bentuknya, untuk menguatkan tujuan hidup agar tidak mudah menyerah dan sanggup melalui segala rintangan yang dilalui. Seperti Tinung yang kuat menghadapi kondisi sosial hidupnya, maupun sastrawan Remy Sylado yang tetap semangat walau dalam keterbatasan fisik akibat sakitnya.Â
211122 / PAA ~masih belajar menulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H