Latar waktu : Tahun 1930 -1950Â
Alur : Mundur
Jumlah halaman : 414 halaman
Dimensi buku : 14 cm x 21 cm
IDENTITAS PENULIS
Yusbal Anak Perang Immanuel Panda Abdiel Tambayong atau Remy Sylado lahir pada tanggal 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia memiliki sejumlah nama pena seperti Dova Zila, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel, Alif Danya Munsyi, dan lain-lain. Menghabiskan masa kecil di Solo dan Semarang, Remy memang senang sekali membaca. Ia bahkan telah membaca buku-buku "berat" dan mempelajari hampir semua tokoh sejarah ketika masih kelas 5 SD. Setelah lulus SMA, Remy sempat mencicipi Akademi Teater Nasional Indonesia di Solo, Akademi Seni Rupa Indonesia di Solo, serta Akademi Bahasa Asing di Jakarta.
Selain menguasai bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda, Remy Sylado juga sudah mulai menulis di usia 16 tahun. Sastrawan serba bisa ini juga dikenal berprofesi sebagai penyair, novelis, cerpenis, kritikus sastra, dramawan, pemusik, penata rias, aktor, ilustrator, jurnalis, dan dosen. Sebagai jurnalis, Remy Sylado menekuni karir wartawannya sejak tahun 1963 sampai 1965 serta pernah menjadi redaktur majalah Tempo Semarang, Top, Fokus, Vista, dan majalah Aktuil Bandung. Remy pun pernah mengajar di Akademi Sinematografi Bandung, Institut Teater dan Film, Sekolah Tinggi Teologi dan menjadi ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung.
Pada tahun 1972, Remy Sylado menggelar pertunjukan drama Genessis II di Bandung yang mempelopori lahirnya aliran puisi Mbeling. Seni berpuisi yang bebas, tidak baku, dan tidak banyak mengikuti aturan puisi yang ada saat itu. Bagi Remy, puisi yang baik adalah puisi yang dapat menggugah kesadaran. Bukan yang malah membuat takut berkreasi lataran terlalu banyak aturan dalam penciptaannya. Sastrawan yang satu ini memang terkenal dengan sikap beraninya menentang pandangan umum yang tidak sejalan dengan pikirannya. Karya-karya yang selalu memasukan makna kemanusiaan seakan ingin menyadarkan pembacanya bahwa sifat baik dan buruk seseorang tidak terbatasi ras, etnis, agama, maupun gender.
Hal inilah yang kemudian menjadikan karya-karyanya unik dan tidak biasa. Penggunaan mesin ketik saat menulis serta ciri khas kebahasaannya yang suka menggunakan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai, serta kebiasaannya melakukan riset mendalam sebelum proses menulis menjadikan karya-karyanya makin istimewa. Selain Ca Bau Kan : Hanya Sebuah Dosa, Remy Sylado telah melahirkan banyak karya puisi, novel, drama, juga nonfiksi, diantaranya novel Orexas (1978), Gali Lobang Gila Lobang (1977), Siau Ling (2001), Kerudung Merah Kirmizi (2002) yang membuatnya dianugerahi penghargaan sastra "Khatulistiwa Award", Kembang Jepun (2003), Parijs Van Java (2003), Matahari Melbourne (2004), Sam Po Kong (2004), Puisi Mbeling (2005), Rumahku di Atas Bukit, Drama Musikalisasi Tarragon "Born To Win" yang disajikan dalam bahasa asing, serta masih banyak lagi.
Di usia 77 tahun ini, kesehatan Remy Sylado dikabarkan menurun. Menurut pihak keluarga, Remy mengalami komplikasi infeksi ginjal, hernia, katarak, serta riwayat penyakit jantung dan tekanan darah tinggi yang menyebabkan stroke sehingga bagian kiri tubuhnya tidak bisa digerakkan. Di tengah keterbatasannya, jiwa seni dan kreativitasnya terus menyala. Bahkan dalam acara Doa dan Penggalangan Dana untuk Remy Sylado di Taman Ismail Marzuki bulan Februari lalu, Emmy sang istri sempat mengungkapkan curhatan Remy, "Di otak saya ada novel, tapi harus bagaimana?". Selain novel, ia juga masih ingin menyumbang alur cerita pementasan teater dan terbang ke Manado membangun Remy Sylado Centre and Gallery. Ya, tekad kuat Remy Sylado sukses menempatkannya sebagai seniman langka dan berbeda dari yang ada.Â
SINOPSIS