Mohon tunggu...
Pradana Arif Kurniawan
Pradana Arif Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Pascasarjana Magister Akuntansi Universitas Mercubuana

“Words are singularly the most powerful force available to humanity. We can choose to use this force constructively with words of encouragement, or destructively using words of despair. Words have energy and power with the ability to help, to heal, to hinder, to hurt, to harm, to humiliate and to humble.”

Selanjutnya

Tutup

Money

Tugas Mata Kuliah Prof Dr Apollo (Daito): "Pajak Penghasilan dari Ekonomi Digital atas Transaksi Lintas Batas (Cross-Border)"

19 Mei 2020   20:18 Diperbarui: 19 Mei 2020   20:17 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          BUT secara yuridis fiscal adalah bagian dari source rules, yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan prasyarat bagi suatu jenis penghasilan agar negara tempat diterimanya atau diperolehnya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di negara sumber tersebut. Seiring dengan maraknya perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di negara lainnya. Atas penghasilan yang diperoleh perusahaan asing dari kegiatan usaha yang dilakukan di negara domestik, hanya dapat dikenakan pajak apabila perusahaan asing tersebut memiliki Permanent Establishment (PE)/Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara domestik [Rosdiana and Irianto, 2012]. Dalam Model Tax Convention on Income and on Capital  yang direkomendasikan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (Model OECD), BUT didefinisikan sebagai “the term permanent establishment means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on”.

          Konsep BUT diperkenalkan untuk menentukan hak pemajakan (taxing rights) dari suatu negara sumber (peserta perjanjian) atas laba usaha yang diperoleh perusahaan penduduk negara mitra perjanjian. Konsep BUT dalam perjanjian internasional, diperkenalkan untuk menentukan hak pemajakan (taxing rights) dari suatu negara sumber (peserta perjanjian) atas laba usaha yang diperoleh perusahaan penduduk negara mitra perjanjian lainnya. Dalam konteks perpajakan internasional, penentuan subjek pajak sebagai dasar pemajakan ditentukan melalui definisi BUT (permanent establishment) dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang disepakati oleh negara-negara yang melakukan perjanjian, mengingat P3B merupakan ketentuan yang bersifat spesialis (leges speciales). Meskipun sifatnya sebagai perjanjian, dalam praktiknya P3B dibuat berdasarkan model/konvensi internasional tertentu, seperti model yang dikembangkan oleh OECD (Organisation of Economic Cooperation and Development, kemudian disebut OECD Model) atau menggunakan model lainnya yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, kemudian disebut UN Model). Secara umum, pengertian BUT diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD Model yang menyatakan bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap, yang melalui tempat usaha tetap tersebut kegiatan usaha dari suatu perusahaan dijalankan secara sebagian atau secara keseluruhan.

Beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar dapat terbentuk suatu BUT adalah sebagai berikut:
a) Adanya tempat usaha (place of business test);
b) Tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu (location test);
 c) Subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut (right use test);
d) Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu yang melebihi periode waktu tertentu (permanent test);
e) Kegiatan yang dilakukan melalui tempat usaha tersebut harus merupakan kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha yang diatur dalam ketentuan domestik maupun P3B (business activity test); dan
f) Apabila salah satu kondisi di atas tidak terpenuhi, BUT tidak akan terbentuk.  Tidak semua tempat serta merta dapat dijadikan BUT.

Dalam United Nations Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries (UN Model/Model PBB), yang juga diadopsi di dalam P3B Indonesia dengan Singapura, menyebutkan bahwa suatu bentuk BUT tidak dianggap ada sehubungan dengan:
a) Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
b) Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
c) Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
 d) Pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan; dan
e) Pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk tujuan periklanan, atau untuk memnberikan keteranganketerangan, untuk penelitian ilmiah atau untuk kegiatan yang sejenis yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.

Tantangan Pemajakan Kegiatan Ekonomi Digital

Ekonomi digital adalah kegiatan ekonomi yang didasarkan pada teknologi digital internet. 8 (delapan) model pendapatan usaha yang umumnya ditemukan dalam bisnis digital: 1) pendapatan dari iklan; 2)  penjualan atau penyewaan konten digital; 3) penjualan barang (termasuk barang maya/virtual); 4) pendapatan dari biaya berlangganan; 5) penjualan jasa, termasuk jasa tradisional yang disediakan secara digital misalnya jasa broker dan jasa konsultasi; 6) pendapatan dari lisensi konten dan teknologi, termasuk di dalamnya jurnal atau publikasi, algoritma, dan piranti lunak (software); 7) pendapatan dari penjualan data pengguna dan penelitian pasar sesuai dengan pesanan (customized market research); 8) pendapatan dari biaya maupun kerugian yang tersembunyi, umumnya terjadi dalam model bisnis yang terintegrasi antara operasi daring dan luring (online dan offline) dimana keuntungan dan kerugian dapat diatribusikan pada kegiatan daring perusahaan tetapi subsidi-silang terjadi secara alamiah dan sulit dipisahkan serta diidentifikasi (misalnya layanan mobile banking yang disediakan secara gratis tetapi disubsidi oleh layanan dan biaya perbankan lainnya) [OECD, 2014].

bertransaksi-dalam-satu-genggaman-5ec3daa0d541df257d574542.jpeg
bertransaksi-dalam-satu-genggaman-5ec3daa0d541df257d574542.jpeg
Pada dasarnya tantangan pemajakan Kegiatan Ekonomi Digital terdiri dari :

1) Tantangan Penentuan Subjek Pajak

Pada dasarnya tantangan dari sisi penentuan subjek pajak muncul dalam konteks perpajakan internasional, yaitu pada kasus pelaku usaha ekonomi digital melakukan aktivitas lintas negara/yuridiksi dan berstatus sebagai subjek pajak luar negeri untuk ditentukan hak pemajakannya. Dalam upaya pemajakan atas suatu transaksi ekonomi lintas negara/yuridiksi, hak pemajakan bagi negara sumber (dimana transaksi ekonomi tersebut dilakukan, digunakan, diberikan, maupun dirasakan manfaatnya) ditentukan oleh adanya suatu BUT. Beberapa sifat utama BUT yang menjadi bias dan tidak signifikan dalam aktivitas ekonomi digital adalah place of business, location, dan permanent sehingga memunculkan tantangan penentuan hak pemajakan bagi negara sumber dimana dalam beberapa kasus aktivitas ekonomi secara nyata terjadi di negara sumber tetapi oleh pelaku usaha yang tidak benar-benar hadir dengan konsep BUT yang dikenal selama ini. Dari sisi aturan domestik, khususnya UU PPh, definisi BUT sendiri cukup luas dan secara tegas menegaskan adanya “komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet” sebagai BUT. Namun demikian, konsep BUT yang dianut dalam model P3B lebih mengacu pada definisi BUT yang terbatas pada konsep (misalnya dalam OECD Model) place of business test, location test, right use test, permanent test, dan business activity test. Beberapa alternatif dalam menghadapi tantangan penentuan BUT [OECD, 2015] di antaranya perluasan konsep significant economic presence (SEP) dengan menggunakan konsep digital presence maupun menggunakan konsep virtual permanent establishment (virtual PE).  Untuk menghadapi tantangan berupa upaya penghindaran status BUT yang dilakukan oleh pelaku usaha ekonomi digital karena konsep physical presence, beberapa konsep kehadiran non fisik telah dimunculkan misalnya digital presence.

2) Tantangan Penentuan Objek Penghasilan

A. Penghasilan Dari Iklan Digital Dan Data Licensing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun