Mohon tunggu...
Pradana Arif Kurniawan
Pradana Arif Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Pascasarjana Magister Akuntansi Universitas Mercubuana

“Words are singularly the most powerful force available to humanity. We can choose to use this force constructively with words of encouragement, or destructively using words of despair. Words have energy and power with the ability to help, to heal, to hinder, to hurt, to harm, to humiliate and to humble.”

Selanjutnya

Tutup

Money

Tugas Mata Kuliah Prof Dr Apollo (Daito): "Pajak Penghasilan dari Ekonomi Digital atas Transaksi Lintas Batas (Cross-Border)"

19 Mei 2020   20:18 Diperbarui: 19 Mei 2020   20:17 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        Dengan kemajuan teknologi saat ini, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, muncul perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah ekonomi digital. Ekonomi digital ini menyebar luas di seluruh dunia dan meliputi berbagai aspek seperti perdagangan (e-commerce atau perdagangan berbasis elektronik), pendidikan (kursus daring), jejaring sosial, transportasi (kendaraan otonom), hingga kesehatan (rekam medis elektronik) [OECD, 2015].

        Di Indonesia sendiri, ekonomi digital memiliki potensi besar dan dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pada tahun 2017, "Peraturan Presiden No. 74 tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik" ( 2017-2019) untuk mempercepat pengembangan dan mengoptimalkan potensi ekonomi digital

       Dalam perkembangan teknologi dan tatanan ekonomi digital, muncul isu-isu terkait pendekatan pemajakan konvensional tidak dapat diterapkan sepenuhnya untuk model ekonomi ini. Penghitungan pajak pada dasarnya membutuhkan dua variabel utama yaitu subjek pajak dan objek pajak. Penentuan subyek pajak biasanya didasarkan pada keberadaan aktual yang tidak diperlukan dalam praktik ekonomi digital. Pada saat yang sama, tantangan ketika menentukan objek pajak adalah menentukan kategori pendapatan atau transaksi sebagai dasar pajak.

       Subjek pajak menjadi bias misalnya dalam kasus penjualan daring lintas negara, tanpa adanya kehadiran toko maupun perusahaan fisik di negara tujuan. Sementara itu, ekonomi digital identik dengan intelectual property dan produk digital, yang pada dasarnya tidak memiliki wujud fisik. Penentuan penghasilan dari pemanfaatan maupun pengalihan produk tanpa wujud fisik ini menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak, termasuk penentuan hak pemajakan atas penghasilan ini. Salah satu negara yang akan menerapkan pajak penghasilan atas intelectual iroperty maupun paten bagi perusahaan teknologi adalah Inggris, diperkirakan peraturan terkait akan diterbitkan tahun 2019.

          Contoh kasus perpajakan atas aktivitas ekonomi digital yang cukup dikenal adalah skema Double Irish and Dutch Sandwich karena skema ini paling banyak digunakan khususnya oleh perusahaan multinasional yang berkedudukan di Amerika Serikat. Skema ini memanfaatkan aturan perpajakan di Irlandia dan tax treaty yang berlaku untuk mengalihkan penghasilan berupa royalti dari Amerika Serikat ke subsidiary yang berada di Irlandia tetapi dikendalikan oleh manager yang berlokasi di yuridiksi dengan tarif pajak sangat rendah atau memiliki sistem keuangan yang tertutup (tax haven countries) [IMF, 2013]. Skema ini akan menghasilkan nilai pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran pajak di Amerika Serikat dan telah digunakan oleh raksasa teknologi seperti Apple sejak akhir 1980. Sementara di Indonesia, kasus Google menjadi hal yang menarik, Google Asia Pasific Pte Ltd yang berdomisili di Singapura, belum mempunyai bentuk usaha tetap (permanent establishment) di Indonesia. Sehingga penghasilan atas kegiatan usaha yang dihasilkan dari Indonesia mengalir ke Singapura.

         Isu ekonomi digital khususnya dalam konteks perpajakan menjadi perhatian khusus pemerintah seluruh dunia yang kemudian mendorong inisiatif lembaga kerjasama ekonomi OECD membuat suatu rancangan aksi yang dapat diimplementasikan secara luas. Inisiasi ini dimulai pada tahun 2013 dengan topik terkait pengikisan laba, yaitu OECD Base Erosion Profit Shifitng (BEPS) Framework. Laporan akhir BEPS Framework telah diterbitkan pada tahun 2015 yang memuat lima belas (15) rencana aksi. Adapun rencana aksi terkait ekonomi digital menjadi rencana aksi pertama, menunjukkan pentingnya isu ekonomi digital dalam perspektif perpajakan.  Secara singkat, OECD Action Plan satu yang berjudul “Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy” menggambarkan tantangan-tantangan perpajakan yang muncul sebagai dampak semakin berkembangnya ekonomi digital. Ekonomi digital sendiri tidak memunculkan adanya tantangan perpajakan yang benar-benar baru, tetapi lebih memperburuk tantangan perpajakan yang telah ada selama ini khususnya terkait upaya-upaya pengikisan basis pajak melalui pergeseran laba lintas yuridiksi. Dalam Action Plan satu ini OECD memberikan beberapa rekomendasi umum dalam menghadapi tantangan pemajakan ekonomi digital, misalnya perluasan definisi bentuk usaha tetap (permanent establishment).  

        BEPS Framework telah menjadi pedoman dalam menyusun peraturan dan kebijakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam rilis OECD pada bulan Oktober 2017 tentang komentar atas Tax Challenges of Digitalization, khususnya pada bagian upaya negara dalam menargetkan kegiatan ekonomi digital, Indonesia disebutkan memiliki rencana untuk memajaki transaksi perdagangan berbasis elektronik melalui metode pemotongan pajak (withholding tax). Namun sampai sekarang belum terdapat aturan perpajakan khusus yang mengatur tentang aktivitas ekonomi digital di Indonesia (maupun terkait perdagangan berbasis elektronik secara khusus).

1) Yurisdiksi Pemajakan

Terdapat empat teori justifikasi legal hak pemajakan suatu negara, yaitu the realistic or empiricial theory, the ethical or retributive theory, the contractual theory, dan the teory of sovereignty.

a) Teori Realistis atau Empiris, menyatakan bahwa yurisdiksi setara dengan kewenangan fisik (physical power), yaitu kewenangan untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap orang dan harta yang berada dalam wilayah kekuasaan negara dan harta yang berada dalam wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan. Namun secara empiris, yurisdiksi pemajakan bukanlah semata karena kewenangan fisik, tetapi berdasarkan ketentuan perundangan dan meluas sampai kepada orang yang secara fisik berada di luar kewenangan administrasi pengenaan pajak.

b) Teori Etis atau Retributif menyatakan bahwa pemajakan merupakan kontraprestasi (return) atas manfaat dan kemudahan yang diperoleh dari negara. Perusahaan merupakan bagian dari komunitas ekonomi yang harus menyampaikan kontribusi proporsional. Kontribusi tersebut lazimnya disebut pajak. Teori ini pada dasarnya lebih menekankan kepada manfaat ekonomis (economic allegiance) sebagai yurisdiksi pemajakan.

c) Teori Kontraktual, menyatakan bahwa pemajakan sepertinya merupakan pembayaran atas barang dan jasa yang diterima dari negara pemungut pajak berdasarkan anggapan adanya kontrak (perjanjian tak tertulis) antara pemegang yurisdiksi pemajakan dengan subjek pajak.

d) Teori Soverenitas, menyatakan bahwa pemajakan adalah suatu bentuk pelaksanaan dari yurisdiksi yang merupakan atribut (kelengkapan) dari soverenitas (kedaulatan). Sumber dari hak pemajakan (taxing rights) suatu negara berasal dari soverenitas (kedaulatan) negara tersebut. Berbeda dengan teori etis atau retributive, teori soverinitas cenderung memberikan justifikasi pemajakan berdasarkan keterkaitan politis (political allegiance). Yurisdiksi terbagi menjadi dua, yaitu yurisdiksi status (penduduk atau kewarganegaraan) dan yurisdiksi sumber (Rosdiana and Irianto, 2012).

A. Yuridikasi Status (Penduduk atau Kewarganegaraan)

Secara umum, kewenangan suatu negara untuk mengenakan pajak didasarkan pada dua hal, yaitu berdasarkan status pembayara pajak dan sumber penghasilan. Berdasarkan status principle, negara berhak untuk mengenakan pajak karena orang pribadi atau badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan (domicile atau residence jurisdiction) Penentuan subjek pajak dalam negeri yang didasarkan atas tempat tinggal atau keberadaan orang pribadi yang bersangkutan di suatu negara, disebut juga sebagai residence criterion atau fiscal domicile criterion. Selain residence criterion, suatu negara juga dapat menggunakan incorporation criterion  atau citizenship criterion terhadap pembayar pajak yang berbentuk Yurisdiksi pemajakan berdasarkan kriteria penduduk atau domisili antara lain didasari oleh asas manfaat (benefit principle). Artinya hak pemajakan terjadi karena pembayar pajak menerima manfaat atas biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan infrastruktur, menyelenggarakan Pendidikan, kebudayaan dan aktivitas pemerintah lainnya. Indonesia menganut domicile principle menurut [Rosdiana dan Irianto, 2012]  sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh yang berbunyi: “Yang dimaksud Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia”.

B. Yuridikasi Sumber

Secara umum yurisdiksi sumber dianggap lebih utama daripada yurisdiksi domisili. Dengan argumen, faktor pemroduksi penghasilan terletak di negara sumber dan kemungkinan negara tersebut telah memberikan perlindungan dan menciptakan keadaan yang mendukung produksi penghasilan, maka negara tersebut mempunyai hak pertama dan utama untuk memajaki penghasilan tersebut. Dua penentuan sumber penghasilan, yaitu penghasilan itu sendiri dan penentuan sumber penghasilan berdasarkan ketentuan perpajakan dari suatu negara Sedangkan Ongwamuhana berpendapat bahwa yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi bahwa negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik bukan WPDN untuk memperoleh penghasilan dari negara tersebut [Gunadi,2007]. Indonesia menganut source principle menurut [Rosdiana and Irianto, 2012] sebagaimana tersirat dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh, yaitu  “Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pajak Subjektif  

Pajak yang memerhatikan keadaan wajib pajak, yaitu untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut dengan gaya pikul (ability to-pay)

Income-Based Taxation  

Income-based taxation dikenakan langsung terhadap penghasilan begitu penghasilan tersebut diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Hal ini menyebabkan pengahasilan untuk saving menjadi berkurang

Konsepsi Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment)

          BUT secara yuridis fiscal adalah bagian dari source rules, yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan prasyarat bagi suatu jenis penghasilan agar negara tempat diterimanya atau diperolehnya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di negara sumber tersebut. Seiring dengan maraknya perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di negara lainnya. Atas penghasilan yang diperoleh perusahaan asing dari kegiatan usaha yang dilakukan di negara domestik, hanya dapat dikenakan pajak apabila perusahaan asing tersebut memiliki Permanent Establishment (PE)/Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara domestik [Rosdiana and Irianto, 2012]. Dalam Model Tax Convention on Income and on Capital  yang direkomendasikan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (Model OECD), BUT didefinisikan sebagai “the term permanent establishment means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on”.

          Konsep BUT diperkenalkan untuk menentukan hak pemajakan (taxing rights) dari suatu negara sumber (peserta perjanjian) atas laba usaha yang diperoleh perusahaan penduduk negara mitra perjanjian. Konsep BUT dalam perjanjian internasional, diperkenalkan untuk menentukan hak pemajakan (taxing rights) dari suatu negara sumber (peserta perjanjian) atas laba usaha yang diperoleh perusahaan penduduk negara mitra perjanjian lainnya. Dalam konteks perpajakan internasional, penentuan subjek pajak sebagai dasar pemajakan ditentukan melalui definisi BUT (permanent establishment) dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang disepakati oleh negara-negara yang melakukan perjanjian, mengingat P3B merupakan ketentuan yang bersifat spesialis (leges speciales). Meskipun sifatnya sebagai perjanjian, dalam praktiknya P3B dibuat berdasarkan model/konvensi internasional tertentu, seperti model yang dikembangkan oleh OECD (Organisation of Economic Cooperation and Development, kemudian disebut OECD Model) atau menggunakan model lainnya yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, kemudian disebut UN Model). Secara umum, pengertian BUT diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD Model yang menyatakan bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap, yang melalui tempat usaha tetap tersebut kegiatan usaha dari suatu perusahaan dijalankan secara sebagian atau secara keseluruhan.

Beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar dapat terbentuk suatu BUT adalah sebagai berikut:
a) Adanya tempat usaha (place of business test);
b) Tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu (location test);
 c) Subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut (right use test);
d) Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu yang melebihi periode waktu tertentu (permanent test);
e) Kegiatan yang dilakukan melalui tempat usaha tersebut harus merupakan kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha yang diatur dalam ketentuan domestik maupun P3B (business activity test); dan
f) Apabila salah satu kondisi di atas tidak terpenuhi, BUT tidak akan terbentuk.  Tidak semua tempat serta merta dapat dijadikan BUT.

Dalam United Nations Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries (UN Model/Model PBB), yang juga diadopsi di dalam P3B Indonesia dengan Singapura, menyebutkan bahwa suatu bentuk BUT tidak dianggap ada sehubungan dengan:
a) Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
b) Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
c) Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
 d) Pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan; dan
e) Pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk tujuan periklanan, atau untuk memnberikan keteranganketerangan, untuk penelitian ilmiah atau untuk kegiatan yang sejenis yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.

Tantangan Pemajakan Kegiatan Ekonomi Digital

Ekonomi digital adalah kegiatan ekonomi yang didasarkan pada teknologi digital internet. 8 (delapan) model pendapatan usaha yang umumnya ditemukan dalam bisnis digital: 1) pendapatan dari iklan; 2)  penjualan atau penyewaan konten digital; 3) penjualan barang (termasuk barang maya/virtual); 4) pendapatan dari biaya berlangganan; 5) penjualan jasa, termasuk jasa tradisional yang disediakan secara digital misalnya jasa broker dan jasa konsultasi; 6) pendapatan dari lisensi konten dan teknologi, termasuk di dalamnya jurnal atau publikasi, algoritma, dan piranti lunak (software); 7) pendapatan dari penjualan data pengguna dan penelitian pasar sesuai dengan pesanan (customized market research); 8) pendapatan dari biaya maupun kerugian yang tersembunyi, umumnya terjadi dalam model bisnis yang terintegrasi antara operasi daring dan luring (online dan offline) dimana keuntungan dan kerugian dapat diatribusikan pada kegiatan daring perusahaan tetapi subsidi-silang terjadi secara alamiah dan sulit dipisahkan serta diidentifikasi (misalnya layanan mobile banking yang disediakan secara gratis tetapi disubsidi oleh layanan dan biaya perbankan lainnya) [OECD, 2014].

bertransaksi-dalam-satu-genggaman-5ec3daa0d541df257d574542.jpeg
bertransaksi-dalam-satu-genggaman-5ec3daa0d541df257d574542.jpeg
Pada dasarnya tantangan pemajakan Kegiatan Ekonomi Digital terdiri dari :

1) Tantangan Penentuan Subjek Pajak

Pada dasarnya tantangan dari sisi penentuan subjek pajak muncul dalam konteks perpajakan internasional, yaitu pada kasus pelaku usaha ekonomi digital melakukan aktivitas lintas negara/yuridiksi dan berstatus sebagai subjek pajak luar negeri untuk ditentukan hak pemajakannya. Dalam upaya pemajakan atas suatu transaksi ekonomi lintas negara/yuridiksi, hak pemajakan bagi negara sumber (dimana transaksi ekonomi tersebut dilakukan, digunakan, diberikan, maupun dirasakan manfaatnya) ditentukan oleh adanya suatu BUT. Beberapa sifat utama BUT yang menjadi bias dan tidak signifikan dalam aktivitas ekonomi digital adalah place of business, location, dan permanent sehingga memunculkan tantangan penentuan hak pemajakan bagi negara sumber dimana dalam beberapa kasus aktivitas ekonomi secara nyata terjadi di negara sumber tetapi oleh pelaku usaha yang tidak benar-benar hadir dengan konsep BUT yang dikenal selama ini. Dari sisi aturan domestik, khususnya UU PPh, definisi BUT sendiri cukup luas dan secara tegas menegaskan adanya “komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet” sebagai BUT. Namun demikian, konsep BUT yang dianut dalam model P3B lebih mengacu pada definisi BUT yang terbatas pada konsep (misalnya dalam OECD Model) place of business test, location test, right use test, permanent test, dan business activity test. Beberapa alternatif dalam menghadapi tantangan penentuan BUT [OECD, 2015] di antaranya perluasan konsep significant economic presence (SEP) dengan menggunakan konsep digital presence maupun menggunakan konsep virtual permanent establishment (virtual PE).  Untuk menghadapi tantangan berupa upaya penghindaran status BUT yang dilakukan oleh pelaku usaha ekonomi digital karena konsep physical presence, beberapa konsep kehadiran non fisik telah dimunculkan misalnya digital presence.

2) Tantangan Penentuan Objek Penghasilan

A. Penghasilan Dari Iklan Digital Dan Data Licensing

Penghasilan yang berasal dari iklan digital dan data licensing (hasil analisis perilaku pengguna, khususnya pengguna media sosial, untuk digunakan oleh pelanggan yang akan memasang iklan di media sosial tersebut). Dibandingkan dengan usaha tradisional yang mirip, misalnya pertelevisian, perusahaan yang bergerak di bidang iklan digital memiliki karakteristik khusus [OECD, 2018] seperti: (i) pengukuran efektivitas iklan secara langsung (real-time) berdasarkan interaksi pengguna (sasaran iklan); (ii) penyesuaian tarif iklan berdasarkan interaksi pengguna (sasaran iklan) atau mirip dengan prime time pada iklan televisi; (iii) penggunaan harta tak berwujud berupa platform media sosial, alogritma untuk menempatkan iklan yang sesuai dengan sasaran iklan, dan platform pelelangan untuk penentuan harga iklan (bagi pelanggan yang akan memasang iklan di media sosial tersebut).  Tantangan penentuan objek muncul ketika penyedia platform media sosial berada pada negara atau yuridiksi yang berbeda dengan pelanggan dan pengguna media sosial tersebut sehingga penghasilan yang sebenarnya sulit ditentukan.

B. Penghasilan Dari Layanan Berbagi Transportasi (Ride Sharing)

Penghasilan dari layanan berbagi transportasi (ride sharing) utamanya berupa bagi hasil atau komisi dari pembayaran penumpang pada setiap transaksi berkendara. Penghasilan lainnya juga dapat berasal dari lini bisnis turunan misalnya layanan pengantaran barang dan/atau makanan. Dalam model bisnis ini dimungkinkan pula bentuk penghasilan dari penjualan data pengguna (data perilaku berkendara dan lama perjalanan misalnya untuk kebutuhan perusahaan transportasi publik dan perusahaan logistik). Dibandingkan dengan usaha tradisional yang mirip, misalnya perusahaan taksi, perusahaan yang bergerak di layanan berbagi transportasi memiliki karakteristik khusus [OECD, 2018] seperti: i) basis pengendara dan penumpang yang luas (global, tidak dipengaruhi batasan geografis); (ii) penentuan harga berdasarkan algoritma komputer (permintaan dan penawaran); (iii) kemampuan untuk melakukan analisis perilaku penumpang dan pengendara secara langsung (real-time) untuk tujuan peningkatan layanan maupun digunakan oleh pihak lainnya (sumber penghasilan lain).  Tantangan penentuan objek muncul ketika penyedia platform berbagi transportasi berada pada negara atau yuridiksi yang berbeda dengan penumpang dan pengendara sehingga penghasilan yang sebenarnya sulit ditentukan.

C. Penghasilan Dari Perdagangan Daring (Online Reseller)  

Jenis penghasilan yang menjadi bahasan berikutnya adalah Penghasilan dari perdagangan daring (online reseller) yang berupa laba usaha atau selisih harga jual dengan harga beli (mark-up) barang, baik barang berwujud maupun barang tidak berwujud. Dalam model bisnis ini dimungkinkan pula bentuk penghasilan dari penjualan data pengguna (data perilaku belanja konsumen misalnya untuk kebutuhan iklan) dan penghasilan dari biaya berlangganan untuk memperoleh layanan khusus (premium service). Dibandingkan dengan usaha tradisional yang mirip, misalnya pasar swalayan, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan daring memiliki karakteristik khusus [OECD, 2018] seperti: (i) jangkauan pemasok dan pembeli yang luas (global, tidak dipengaruhi batasan geografis); (ii) tidak memiliki toko fisik, hanya memiliki pabrik dan/atau gudang; (iii) kemampuan untuk melakukan analisis perilaku konsumen secara langsung (real-time) untuk tujuan pemasangan iklan dan penentuan harga jual.  Tantangan penentuan objek muncul ketika penyedia platform penjualan daring berada pada negara atau yuridiksi yang berbeda dengan konsumen akhir, termasuk pihak-pihak terkait lainnya sehingga penghasilan yang sebenarnya sulit ditentukan

            Ekonomi digital membawa peluang bagi perusahaan khususnya perusahaan multinasional untuk melakukan pengecilan laba melalui pengaturan-pengaturan khusus lintas negara/yuridiksi. Tantangan di bidang perpajakan internasional yang dibawa oleh ekonomi digital bukan merupakan tantangan baru, tetapi merupakan tantangan yang sejak dulu telah dikenal misalnya tantangan penentuan hak pemajakan (status BUT). Tantangan pemajakan ekonomi digital dapat dibedakan menjadi tantangan dari sisi penentuan subjek pajak dan objek pajak. Tantangan pemajakan ekonomi digital dari sisi penentuan subjek pajak utamanya berasal dari penentuan status BUT atas perusahaan multinasional yang beroperasi di dalam negeri (Indonesia). Dalam konsep BUT yang dikenal selama ini, kehadiran suatu usaha lebih dititikberatkan pada kehadiran fisik (physical presence) yang semakin bias dalam konteks ekonomi digital. Sementara itu, dari sisi penentuan objek pajak khususnya PPh lebih pada bentuk penghasilan dan hak pemajakannya misalnya pendapatan dari jasa (hak pemajakan berada di negara/yuridiksi dimana jasa itu dilakukan), pendapatan dari penggunaan intellectual property (hak pemajakan berada di negara/yuridiksi dimana intellectual property tersebut berada), dan pendapatan dari aktivitas perdagangan (hak pemajakan berada di negara/yuridiksi dimana penjual berada).

          Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalah perpajakan global ini yaitu melalui pembahasan dan konsensus tingkat global, tetapi hal ini masih membuat kebingungan yaitu bagaimana cara mengenakan pajak pada bisnis dengan jejak bisnis digital yang substansial tetapi tidak ada kehadiran fisik dalam yurisdiksi. Banyak negara percaya bahwa penciptaan nilai perpajakan dan kegiatan digital tidak cocok. Akibatnya, banyak negara di dunia, termasuk Indonesia mengambil kebijakan atau otoritas masing-masing dalam memajaki usaha ini sambil melihat dan menunggu pembahasan ditingkat global. Tujuannya adalah untuk menghindari kehilangan potensi pajak yang melekat pada  bisnis ini, dan tujuan utamanya tentu saja untuk membangun prinsip keadilan (kesetaraan) di antara para pelaku usaha.

Daftar Pustaka

Gunadi. 2007. Perpajakan Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia.
IMF: Fiscal Monitor, Oktober 2013 halaman 47
Rosdiana I. 2012. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
OECD. 2013. Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting. Paris: OECD Publishing.  

OECD. 2013. Addressing Base Erosion and Profit Shifting. Paris: OECD Publishing.  
OECD. 2015. Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 - 2015 Final Report. Paris:

OECD Publishing.  OECD. 2017. International VAT/GST Guidelines. Paris: OECD Publishing.  

OECD. 2015. Measuring and Monitoring BEPS, Action 11 - 2015 Final Report. Paris: OECD Publishing.  

OECD. 2015. Preventing the Artificial Avoidance of Permanent Establishment Status, Action 7 - 2015 Final Report. Paris: OECD Publishing.  

OECD. 2018. Tax Challenges Arising from Digitalisation–Interim Report 2018. Paris: OECD Publishing.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun