“Ini angkot terakhir, Ik. Kamu naik angkot saja,” jawab Dila.
“Aku mau menunggu papa,” jawab Aik sedikit kesal.
“Ya sudah kalau tidak mau naik angkot, tunggu saja papamu,” jawab Dila sedikit membentak sambil masuk di angkot yang penuh sesak.
“Aku temani, Aik.” Kata Tyas datar.
“Ih…sebel aku dengan Dila. Papa juga belum datang,” celetuk Aik sambil cemberut.
Menunggu dan menunggu, mereka hanya memerhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Mereka diam seribu bahasa dengan menyimpan kekhawatiran masing-masing.
“Ah…itu dia, papa...” teriak Aik dengan wajah ceria.
“Tyas, kamu bagaimana?” tanya Aik
“Aku dijemput bapak,” ucap Tyas berbohong karena tidak mungkin Tyas ikut mereka karena papanya naik motor dan membawa barang dalam dus.
“Ya sudah kalau begitu, aku duluan ya...” kata Aik sambil membonceng papanya.
Aik dan papanya sudah tidak kelihatan. Tyas tersadar bahwa tidak akan ada angkot dan bapaknya tidak menjemput. Satu-satunya cara, Tyas harus berjalan kaki yang berjarak 3km di petang yang sudah menyapa. Kakinya melangkah cepat menyusuri jalan menuju rumah yang mulai sepi.