"Bapak ini sekaligus keluhannya sesak, nyeri perut dan pinggang, tetapi karena makan obat yang dibeli bebas untuk mengobati dengkulnya yang bengkak."Lapor dokter jaga IGD (Instalasi Gawat Darurat) kepada Saya.
"Pakai oksigen sudah enakan, Pak?"Tanya Saya kepada si Pasien.
"Sudah enakan, Dok. Tetapi kaki saya ini bagaimana dokter? Sudah bengkak seminggu. Saya memang agak banyak makan daging dan makanan laut minggu lalu saat dinas luar di kota lain. Pulang ke Palembang jadi begini.."Keluhnya.
Memang pada pemeriksaan fisik, kelopak matanya agak sembab, denyut jantungnya tidak teratur, serta pinggangnya nyeri kalau diketuk dan dengkul kakinya bengkak, merah dan nyeri sekali kalau ditekan.
Pemeriksaan laboratorium hasilnya enzim jantung meningkat hampir dua kali lipat harga normal dan racun ginjal yang namanya kreatinin juga lebih dari normal. Jadi kelainan jantung dan ginjalnya sudah pasti ada dan sangat berbahaya bila dibiarkan.
"Nyeri sendinya sudah berkurang, Dok. Tetapi belum hilang benar. Bisa dinaikkan dosis obat penghilang nyerinya, Dok?"Tanya si Bapak keesokan harinya.
"Wah, nanti dahulu, Pak. Jantungnya dan ginjalnya ini dibagusin dahulu, terus kita cari obat anti nyeri yang cocok untuk bapak yang kurang ada efek samping ke jantung dan ke ginjal. Karena saya lebih khawatir jantung dan ginjal Bapak yang bisa mematikan dalam hitungan menit daripada bengkak di dengkul yang tidak mematikan."
Selanjutnya disarankan si Pasien hati-hati membeli obat antinyeri yang dijual bebas di pasaran, apalagi kalau sudah ketergantungan.
Si Bapak akhirnya diberi pengertian bahwa otak, jantung, ginjal, hati, paru-paru adalah organ-organ vital yang harus didahulukan kesembuhannya dibandingkan tulang dan otot. Karena bagi dokter yang menjadi prioritas adalah nyawa, sedangkan menurut pasien yang penting adalah rasa nyaman dan nyawa Tuhan yang mengatur.
Jadi, kalau sudah begini, dokter harus bernegosiasi dengan si Pasien memilih mana dahulu yang diobati, kalau satu penyakit dan penyakit lain memiliki efek samping yang bergantian kalau diterapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H