Kartini yang kala itu diselimuti adat Jawa, ingin membongkar “keterkurungan” kondisi adat keningratan, ketidaksamaan hak pendidikan oleh kungkungan politik kolonial. Inti emansiapsi yang dibangun oleh Kartini adalah “habis gelap terbitlah terang,” yang kala itu juga dipengaruhi oleh tafsir-tafsir agama Kyai Sholeh dengan kalimat yang terkenal “minadz-dzulumati ilannur” (QS. Al-Baqarah 257).
Kolaborasi makna agama dan adat dapat diambil benang merah untuk memperkokoh maksud dan cita-cita kartini yaitu membebaskan dari “keterkungkungan” sosial atau dalam makna lain secara sosiologis dapat diartikan sebagai kesadaran sosial atas kondisi Kartini semasa itu.
Pada masa sekarang tentu koridor yang dibangun oleh perempuan modern harus senantiasa tidak lepas dari inspirasi Kartini yang tetap menjaga dan merawat tradisi dan nilai-nilai agama namun mampu menangkap geliat modernitas untuk tidak ketinggalan mengikuti akselerasi dunia dalam segala bidang.
Kritik atas RUU Ketahanan Keluarga
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU-KK), jika dipotret atas sebuah landasan agama, maka menurut fikih yang dikemukakan oleh Gusdur bahwa keadilan dan persamaan antarsesama manusia, termasuk di dalamnya antara laki-laki dan perempuan.
Islam memberikan apresiasi yang tinggi kepada perempuan dengan memberikan kemuliaan dan perlindungan sebagai payung kesetaraan gender. Islam meletakan dasar dan prinsip-prinsip dasar apresiasi terhadap manusia secara sempurna telah dengan tegas dijelaskan dalam al-Qur’an.
Hak-hak dasar manusia tersebut dalam struktur masyarakat maupun di depan hukum disebutkan dalam QS. Al-Isra’; 70; QS. An-Nisa 78, 105, 107 dan 135; QS. Al-Mumtahanah 8).
Jika ditilik dari relasi suami-istri, secara sosiologis menunjukkan pintu diskriminasi dan membuka pintu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Posisi perempuan yang dimaksud dalam pasal 25 (3) menunjukkan perannya yang terkoptasi oleh kondisi domestik, atau berdiri atas bayang-bayang kuasa suami yang absolut.
Nampak sekali relasi suami-istri karena ikatan perkawinan memaksa istri tunduk pada pengabdian terhadap norma yang ada namun tanpa argumentasi sosiologis dan pertimbangan hak dan kewajiban diantara keduanya.
Ketika dilihat lebih pada konsep kesetaraan gender yang merupakan konsensus peningkatan kualitas pembangunan manusia, maka faktor kesetaraan gender harus dilakukan.
Faktor keberhasilan pembangunan nasional memperhitungkan kesetaraan gender dengan perhitungan (Gender Development Index), perhitungan ini mempertimbangankan kesetaraan laki-laki perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan.