Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontrol Patriarkal di Tempat Kerja

21 Oktober 2018   21:19 Diperbarui: 7 April 2019   00:37 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan di dalam proses kerja dan pembagian kerja seksual perlu dipahami di dalam konteks kontrol dan anekaragam bentuknya. 

Problem manajemen menggaet pekerja untuk bekerja melibatkan tak hanya memaksimalkan hasil mereka, namun juga mengaburkan cara-cara bagaimana ini diraih, relasi-relasi sosial dari kerja. Analisa-analisa proses kerja telah menekankan ini, namun hanya mengidentifikasi keterlibatan dinamika kapital, dan bukan dinamika gender. 

Mengambil salah satu dari periodisasi-periodisasi terhadap bentuk-bentuk kontrol adalah sebuah titik awal yang bermanfaat yang dapat kita baca untuk menunjukkan sentralitas gender dalam mengontrol proses kerja. Edwards (1979) membedakan tiga bentuk kontrol. Pertama, ada kontrol yang sederhana yang langsung dan personal dan dimana kekuasaan tertanam di dalam individu-individu, contohnya, 'pengusaha'. Kedua, ada kontrol teknis, dimana mekanisme kontrol didesain ke dalam langgam dari mesin dan teknologi dan mengarahkan kerja. 

Dan Ketiga, ada kontrol birokratis, dimana kontrol ditancapkan di dalam organisasi sosial dari perusahaan lewat peraturan-peraturan, prosedur-prosedur, deskripsi-deskripsi kerja dan evaluari-evaluasi. Tiap-tiap bentuk kontrol ini adalah patriarkal, meskipun Edwards, di dalam kebutaan gendernya, tidak mengakui ini. 

Kontrol sederhana adalah kontrol oleh "Bapak", sering di dalam sebuah arti simbolik namun seringkali menjadi sangat literer, di dalam perusahaan-perusahaan kecil dan perusahaan-perusahaan keluarga. Di dalam beberapa kasus, kontrol atas para pekerja mereka dengan menggunakan perumpamaan keluarga. Sebuah perusahaan menjadi 'sebuah keluarga yang bahagia'. Di rumah sakit sebuah bentuk kontrol yang sederhana jelas sekali patriarkal masih berlangsung sampai sekarang. Dokter dan kepala perawat diset sebagai Bapak dan Ibu sebuah rumah tangga. 

Kontrol teknis adalah patriarkal di dalam sebuah perintah/arahan langsung meskipun tidak sedikit kuat ketimbang kontrol sederhana. Mesin-mesin, khususnya yang yang baru, sebagai mewakili maskulin. Ini mungkin ironis bahwa laki-laki sering ditaruh pada mesin-mesin baru karena 'perempuan tak mengerti', diberikan tingkatan yang mana 'kemahiran' sudah terkandung di dalam mesin. 

Laki-laki juga dikontrol oleh mesin maskulin kapital-namun maskulinitas dari mereka berlangsung dalam beberapa cara untuk menyamarkan ini. Mesin-mesin yang lebih kecil, seperti mesin uji, pemroses kata dan terminal arus listrik, dioperasikan oleh perempuan. Namun dibalik mesin tenun komputer, itulah sumber ril kekuasaan. 

Kontrol birokratis adalah bentuk yang sering lebih disukai oleh perempuan. Mereka bisa berkata, 'Kami tak butuh seorang patron laki-laki; kita dapat membuat nya 'berdasarkan prestasi'. Bentuk kontrol ini beroperasi lewat sanggahan bahwa tak ada diskriminasi. Ini kelihatannya bahwa gender tidak relevan, bahwa perempuan dapat membuatnya pada syarat yang sama dengan laki-laki, bahwa semua akan dievaluasi secara rasional dan jujur, berdasarkan kriteria yang sama. 

Ini menampik problem spesifik yang dihadapi oleh perempuan pekerja dan cara-cara yang mana seluruh dunia kerja dibangun diseputar norma-norma laki-laki. Ia beroperasi tepatnya dengan mengatakan 'kami tidak tertarik dengan apapun tentang mu kecuali apakah kamu dapat melakukan pekerjaan tersebut', itulah, melalui ketidakbedaan. 

Kontrol 'rasional' adalah kontrol yang halus, tapi tak kurang patriarkal-nya dari bentuk-bentuk lainnya. Ini mewujud di dalam ideologi bahwa 'perempuan dapat membuatnya di dalam sebuah dunia laki-laki' dan bahwa mereka dapat membuktikan diri mereka pada kerja laki-laki sepanjang mereka mempertahankan femininitas mereka.

Perempuan di bank dengan citra 'kesempatan yang sama' telah belajar bahwa struktur kekuasaan masih sebuah struktur kekuasaan laki-laki, betapapun rasional dan anonim kelihatannya. Kita dapat menyebut ini 'Patriarki tanpa sang Bapak' untuk menandakan bahwa ia datang dari suatu sistem yang nampak netral. 

Dalam beberapa cara ia lebih sulit dilawan, karena ia beroperasi pada sanggahan relasi-relasi otoritas, ini bukan pribadi dan tak satupun dapat diselenggarakan tanggung jawab yang langsung. Laki-laki bisa mengelak atau mengklaim bahwa mereka juga korban. Di situlah terletak kekuatan dan fleksibilitasnya. 

Apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa kontrol di dalam tempat kerja adalah patriarkal? Patriarki adalah sebuah struktur yang memberikan segelintir laki-laki kekuasaan atas laki-laki yang lain, dan seluruh laki-laki atas perempuan.. Laki-laki di tingkat paling bawah dari hirarki laki-laki masih berjuang untuk memperoleh kekuasaan ini. 

Mereka yang ditingkat paling atas sering menegaskan kekuasaannya bahkan ketika itu rasanya menjadi berkontradiksi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka. Bahkan bila perlu mereka akan membatalkan nilai lebih (surplus value) untuk memelihara pembagian kerja seksual. Di dalam arti inilah kita dapat mengatakan bahwa logika terdalam dari kapital adalah patriarkal. Rasionalitas kapitalis adalah berdasarkan pada dominasi laki-laki. 

Pembagian kerja seksual dan identifikasi gender beroperasi sebagai suatu cara dari sosial kontrol baik itu disadari maupun tak disadari. Manajemen sengaja mempekerjakan perempuan agar mereka bisa mengatasi kerugian pekerjaan lewat 'tenaga kerja melimpah yang disia-siakan', atau untuk mendapatkan tenaga kerja termurah untuk melakukan kerja yang melelahkan atau membosankan, atau untuk menyamarkan efek tekonologi pada sifat kerja. 

Namun ada suatu dimensi yang jauh lebih halus bagi semuanya ini. Ia berelasi dengan apa yang telah kita sebutkan sebelumnya mengenai konstruksi dari identitas gender, yang mana, dalam banya cara, sebuah proses yang tak disadari. Jika manajemen mengambil manfaat dari suatu struktur patriarkal begitu pula pekerja laki-laki. Ini tidak berarti bahwa pekerja laki-laki memiliki kepentingan yang sama dengan manajemen dan ada banyak kasus-kasus konfik antara mereka mengenai bentuk pembagian kerja seksual apa yang mesti diambil. 

Adalah sebuah kekeliruan memandang bahwa pembagian kerja seksual sebagai rekayasa manajemen, atau sebagai struktur yang dikenakan atas para pekerja berasal dari langit. 

Pekerja laki-laki menerimanya dan pekerja perempan merasa lebih  kesulitan didalam memprakarsai resistensi, itupun  yang terbatas. Baik laki-laki dan perenpuan secara aktif terlibat di dalam mereproduksinya dengan cara-cara mereka menjalani kehidupan sehari-hari, baik itu di tempat kerja, dan diluar tempat kerja. 

Sifat kontradiktif dari konstruksi maskulinitas menjadi sentral disini. Maskulinitas sangat erat terkait dengan dunia kerja dan namun demikian bagi laki-laki kelas pekerja pengalaman mereka dalam bekerja adalah sesuatu yang mengalienasi. Pada satu sisi kerja laki-laki lewat identitas mereka sebagai pencari nafkah dan pada sisi yang lain mereka menjadi subyek bagi relasi-relasi dalam bekerja yang berpotensi mengancam identitas mereka. Salah satu dari cara-cara bagaimana kekuasaan dan kontrol dari laki-laki dipelihara adalah di dalam kaitannya dengan posisi perempuan di rumah, yaitu, melalui relasi kekuasaan yang terlibat di dalam pembagian kerja seksual di keluarga. 

Cara yang lain adalah lewat pembagian kerja di tempat kerja. Pekerjaan-pekerjaan laki-laki memberikan mereka sebuah ilusi akan kontrol di dalam relasinya dengan pekerjaan-pekerjaan perempuan. Mesti dijabarkan bahwa bahkan ketika manajemen dengan sadar menggunakan sebuah strategi pembagian kerja seksual sebagai sebuah cara mengontrol proses kerja, ini bukan masalah mengenakannya. Mereka tak harus. Ini dialami sebagai alamiah, baik di dalam tempat kerja, maupun di dalam apa yang disebut wilayah kehidupan yang pribadi. 

Perlu disadari bahwa gender dipasang pada tingkat pembagian produksi/konsumsi dan di dalam cara yang mana proses kerja diorganisir, dan bahwa untuk memahami ini kita harus melihat pada ekonomi dalam relasinya dengan yamg seksual dan simbolis. Kita tak harus membuktikan bahwa kapitalisme menggunakan pembagian kerja seksual untuk menambah profit dan memecah belah kelas pekerja. 

Ia tidak 'fungsional' bagi kapitalisme dalam cara yang berhadap-hadapan melainkan lebih cenderung menjadi sebuah bagian yang sentral dari nya. Perbedaan ini menjadi begitu penting bagi kita, karena ia berarti menolak kemungkinan suatu kapitalisme yang 'non-patriarkal dan meneguhkan bahwa kita tak bisa memikirkan kapitalisme tanpa gender. 

Kompleksitas-kompleksitas dari relasi-relasi kekuasaan yang telibat muncul ketika kita mencoba untuk merasakan pengalaman-pengalaman relasi-relasi gender laki-laki dan perempuan, pembagian kerja khusus di tiap tempat kerja. Saat itu disana nampak tak logis sama sekali bagaimana cara kerja diorganisir dan pekerjaan-pekerjaan dibagi-bagi. 

Sebagian ini karena kita bermaksud cuma untuk melihat logika kapital di dalam sebuah pembagian kerja. Ada anomali disana, yang jelas nampak, tak hanya antara industri-industri namun terkadang di dalam industri yang sama. Laki-laki bekerja didalam suatu wilayah khusus di dalam satu tempat dan dan perempuan di wilayah yang sama di tempat lainnya. 

Namun demikian dalam tiap kasus kita diberitahu mengapa laki-laki atau perempuan cocok dengan pekerjaan tersebut-yang nyata-nyatanya pekerjaan yang sama. Apa yang kita bawa pulang ini lagi dan lagi adalah fakta bahwa tak ada yang inheren di dalam pekerjaan yang membuatnya laki-laki atau perempuan. 

Definisi gender dari pekerjaan-pekerjaan, dan pembagian kerja seksual, secara sosial dan historis dikontruksi. Sebuah 'logika' untuk organisasi kerja muncul; namun hanya sekali kita mulai berpikir dalam syarat-syarat dinamika konstruksi gender; bagaimana maskulinitas dan femininitas diproduksi di dalam relasi satu sama lain lewat kerja.

 Perubahan-perubahan di dalam proses kerja tak hanya dikaburkan oleh pembagian kerja seksual, mereka berpotensi menganggu reproduksi dengan mendorong kontradiksi-kontradiksi di dalam proses. Masalah bagaimana kontrol manajemen bisa ditantang oleh para pekerja pada akhirnya tergantung pada bagaimana pembagian kerja dikonfrontir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun