Sastra dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat. Sastra mencerminkan kondisi sosial, budaya, dan politik yang ada di masyarakat pada suatu waktu tertentu. Melalui karya sastra, pengarang bisa mengungkapkan pandangannya, kritik sosial, serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, sastra juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada di masyarakat tempat karya tersebut dihasilkan.
Sastra sering kali menjadi cermin atau representasi dari realitas sosial, memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat, permasalahan yang dihadapi, serta harapan atau aspirasi mereka. Selain itu, karya sastra dapat memengaruhi masyarakat dengan cara memperkenalkan ide-ide baru, membuka perspektif, dan menginspirasi perubahan sosial.
Secara singkat, sastra dan masyarakat saling berinteraksi: sastra mengungkapkan kondisi masyarakat, sementara masyarakat memengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
Teori Sosiologi Sastra:
1.Teori Pilihan (Lucien Goldmann)
Teori sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann merupakan salah satu pendekatan penting dalam kajian sastra yang menghubungkan karya sastra dengan struktur sosial dan ideologi tertentu. Goldmann, seorang sosiolog dan teoritikus sastra asal Prancis, mengembangkan teori ini dengan menggabungkan prinsip-prinsip sosiologi dan fenomenologi, serta berusaha menjelaskan bagaimana karya sastra tidak hanya mencerminkan kondisi sosial tetapi juga berfungsi untuk menggambarkan pandangan dunia (worldview) dari suatu kelas sosial tertentu.
2.Konsep Teori Lucien Goldmann dalam konteks sederhana
Teori Lucien Goldmann menyatakan bahwa karya sastra mencerminkan pandangan dunia (worldview) suatu kelompok sosial atau kelas. Berikut adalah konsep-konsep utama dalam bentuk yang lebih sederhana dan singkat:
- Pandangan Dunia (Worldview): Karya sastra menggambarkan cara pandang suatu kelompok sosial terhadap dunia. Ini bukan hanya tentang pengalaman pribadi pengarang, tetapi juga tentang nilai, ideologi, dan keyakinan kelompok tersebut.
- Kesadaran Kelas: Sastra sering kali mencerminkan kesadaran sosial atau kesadaran kelas. Pengarang, meskipun mungkin menulis secara individu, sering mewakili kepentingan atau pandangan suatu kelas sosial.
- Sastra dan Struktur Sosial: Karya sastra tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial dan politik yang ada pada waktu itu. Sastra berhubungan erat dengan keadaan masyarakat dan sering menggambarkan konflik atau ketegangan sosial.
- Struktur Organik: Elemen-elemen dalam karya sastra (seperti karakter, plot, dan tema) saling terkait dan bekerja bersama untuk menyampaikan pandangan dunia atau ideologi kelompok sosial yang diwakili.
- Sastra sebagai Ekspresi Kolektif: Karya sastra tidak hanya hasil pemikiran individu, tetapi juga mencerminkan kesadaran kolektif suatu kelompok sosial yang lebih besar.
STUDI KASUS
1.Karya yang saya pilih : Salah satu novel yang mencerminkan teori Lucien Goldmann yaitu "Ronggeng Dukuh Paruk" diciptakan oleh Ahmad Tohari, novel Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan tokoh Srintil seorang penari ronggeng yang menyajikan realita kehidupan, masyarakat Indonesia, adat dan kebudayaan, serta sejarah bangsa ini. Ketiga, dalam cerita pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat aturan yang tidak sesuai dengan norma agama untukmenjadi seorang ronggeng, misal aturan menyerahkan keperawanan kepada laki-laki yang mampu memenuhi persyaratan dukun ronggeng dengan bukak-klambu serta keharusan melayani laki-laki yang bukan suaminya. Meski demikian, tetap ada sisi lain dari kebudayaan tersebut yang perlu dilestarikan dan nilai-nilai lainnya yang dapat diambil melalui karya ini.
a.Konteks Sosial:
Konteks sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari mencerminkan realitas sosial masyarakat pedesaan di Indonesia pada pertengahan abad ke-20, terutama terkait dengan kehidupan di Dukuh Paruk. Berikut adalah beberapa aspek pentingnya:
Kemiskinan dan Kesederhanaan Hidup: Masyarakat Dukuh Paruk digambarkan hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan, dengan pola hidup tradisional yang lekat pada adat istiadat.
Budaya dan Tradisi Lokal: Tradisi ronggeng menjadi simbol penting dalam novel ini. Profesi ronggeng, meskipun diagungkan, juga memiliki sisi gelap karena sering kali melibatkan eksploitasi terhadap perempuan.
Kehidupan Patriarkal: Peran gender dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh sistem patriarki, di mana perempuan sering kali dipandang sebagai objek hiburan dan pengabdian.
Pengaruh Ideologi dan Politik: Novel ini juga menggambarkan perubahan sosial akibat pengaruh ideologi politik pada masa itu, terutama dengan adanya konflik antara tradisi lokal dan intervensi pemerintah pasca-Peristiwa 1965.
Kehidupan Religius dan Animisme: Masyarakat Dukuh Paruk masih kental dengan kepercayaan animisme, sementara pengaruh agama besar seperti Islam belum sepenuhnya diterima.
Melalui novel ini, Ahmad Tohari menawarkan kritik sosial dan menggambarkan dinamika kehidupan pedesaan yang sarat dengan tantangan, tradisi, dan perubahan sosial.
b.Tokoh dan Konflik:
Tokoh Utama:
- Srintil: Seorang gadis muda yang menjadi ronggeng Dukuh Paruk. Ia menghadapi dilema antara menjalani tradisi sebagai ronggeng dan keinginannya untuk hidup normal.
- Rasus: Pemuda Dukuh Paruk yang mencintai Srintil. Ia terjebak antara perasaannya kepada Srintil dan keinginannya untuk meninggalkan tradisi Dukuh Paruk yang ia anggap usang.
- Kertareja: Dukun ronggeng sekaligus orang tua angkat Srintil, yang mempersiapkan Srintil untuk menjadi ronggeng.
- Masyarakat Dukuh Paruk: Mereka memiliki peran kolektif dalam mendukung tradisi ronggeng, tetapi juga menjadi simbol tekanan sosial yang dialami Srintil.
Konflik Utama:
- Konflik Individu:
- Srintil mengalami konflik batin karena perannya sebagai ronggeng memaksanya mengorbankan kebebasan dan kehormatan pribadi.
- Rasus harus memilih antara cintanya pada Srintil atau meninggalkan Dukuh Paruk demi kehidupan yang lebih baik.
- Konflik Sosial:
- Srintil menghadapi tekanan sosial dari masyarakat yang mendukung tradisi ronggeng tetapi sering mengeksploitasinya sebagai objek hiburan.
- Pertentangan antara tradisi lokal (ronggeng) dengan nilai-nilai modern yang dibawa oleh perkembangan zaman.
- Konflik Politik:
- Srintil terlibat secara tidak langsung dalam konflik politik yang memengaruhi Dukuh Paruk pasca-Peristiwa 1965, yang membawa dampak besar pada hidupnya dan masyarakat sekitar.
c.Alur Cerita dan Kritik Sosial:
Ronggeng Dukuh Paruk mengisahkan perjalanan hidup Srintil, seorang gadis dari Dukuh Paruk, yang dipercaya memiliki "wahyu ronggeng" setelah insiden tragis yang menewaskan keluarganya. Ia menjadi ronggeng, sebuah profesi yang diagungkan tetapi juga menempatkannya dalam posisi rentan sebagai objek hiburan dan eksploitasi.
Rasus, teman masa kecil Srintil yang mencintainya, tidak setuju dengan jalan hidup Srintil dan memilih meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi tentara. Sementara itu, Srintil terjebak dalam kehidupan ronggeng yang penuh tekanan sosial dan kehancuran moral.
Kehidupan Srintil semakin rumit ketika ia dan masyarakat Dukuh Paruk terseret dalam konflik politik pasca-Peristiwa 1965, yang berakhir dengan tragedi dan kehancuran Dukuh Paruk.
Dengan teori Goldmann, Ronggeng Dukuh Paruk tidak hanya menjadi cerita tentang kehidupan Srintil, tetapi juga cerminan kondisi sosial masyarakat Indonesia, terutama kelas bawah yang terpinggirkan oleh tradisi, kemiskinan, dan konflik politik. Ahmad Tohari menghubungkan struktur sosial ini dengan pandangan dunia masyarakat pedesaan untuk menggambarkan perubahan zaman dan dampaknya pada individu.
DAFTAR PUSTAKA
Kamila, A., Fathurohman, I., & Kanzunnudin, M. (2023). Fakta Kemanusiaan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Edukasiana: Jurnal Inovasi Pendidikan, 2(1), 33-39.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H