Pak Nurdin menyambutnya dengan senyum penuh simpati. "Iya, Bu Tami. Itu yang kita hadapi sekarang. Kita harus terus kreatif agar anak-anak tetap tertarik."
Bu Diana menatap Bu Tami dan berkata, "Kamu melakukan pekerjaan yang luar biasa, Bu Tami. Murid-murid sering membicarakan cara mengajarmu yang interaktif. Mereka jadi lebih memahami sejarah sebagai sesuatu yang hidup bukan sekadar angka dan tahun."
Sambil meneguk teh hangatnya, Pak Nurdin kembali merenung. Bukan hanya murid-murid yang menghadapi masa transisi tetapi para guru juga harus beradaptasi dengan tuntutan zaman. Namun satu hal yang selalu ia yakini, tatap muka di ruang kelas tetap menjadi pondasi kuat dalam membentuk karakter siswa.
Di sela-sela percakapan yang hangat itu, datang Pak Santoso guru senior yang menjadi mentor bagi banyak guru muda. Pak Santoso adalah teladan bagi semuanya, dengan kebijaksanaan dan pengalamannya yang luas. Ia menepuk bahu Pak Nurdin sambil tersenyum. "Tetap semangat, Pak Nurdin. Perubahan zaman mungkin membawa tantangan tapi kita selalu punya kemampuan untuk mengatasinya. Seperti yang dulu aku selalu bilang, yang paling penting adalah kehadiran kita sebagai guru karena mereka butuh sosok yang mengarahkan, bukan hanya mengajar."
Pak Nurdin mengangguk, mengingat betapa sering ia mendapat nasihat dari Pak Santoso sejak pertama kali mengajar. Ia merasa bangga bisa berjuang bersama rekan-rekannya. Dalam hati, ia tahu bahwa kisah seorang pengajar masa kini tidak hanya diisi oleh kecanggihan teknologi tetapi juga oleh dedikasi, kebersamaan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Hari mulai sore, Pak Nurdin berdiri di ambang pintu sekolah menatap senja yang mulai turun. Di kejauhan, siswa-siswinya masih terlihat berjalan meninggalkan sekolah dengan canda tawa. Dalam diam ia merasa damai. Hari ini ia telah menulis satu lagi lembaran dalam kisahnya sebagai pengajar. Masih banyak halaman yang akan ia tulis bersama generasi yang terus tumbuh, belajar, dan berkembang.
Ketika suasana ruang guru mulai tenang, suara pintu yang terbuka perlahan menarik perhatian mereka semua. Pak Agus, seorang guru senior yang sudah mengajar sejak zaman papan tulis kapur dan bangku kayu keras, memasuki ruangan dengan wajah penuh beban. Rambutnya yang telah memutih dan tubuhnya yang sedikit bungkuk menjadi saksi perjalanan panjangnya dalam dunia pendidikan. Namun di era yang semakin digital ini, ia merasa tertinggal jauh dari perkembangan.
Pak Agus meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk dengan napas panjang yang terdengar lelah. Bu Ani menghampirinya dengan senyuman lembut. "Pak Agus, apa kabar? Kelihatannya agak letih," sapanya dengan ramah.
Pak Agus mengangguk lemah dan mengusap wajahnya perlahan. "Ya, Bu Ani. Jujur, saya merasa semakin sulit mengikuti perkembangan ini. Anak-anak sekarang lebih cepat dalam menggunakan teknologi, sementara saya masih berjuang memahami cara kerja proyektor dan laptop. Saya mencoba tapi rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi."
Pak Nurdin yang duduk di dekatnya merespons dengan empati. "Saya mengerti, Pak Agus. Zaman memang berubah sangat cepat dan kita semua harus beradaptasi. Namun pengalaman Bapak sebagai guru senior adalah sesuatu yang sangat berharga. Mungkin kita bisa saling membantu dalam hal ini."
Pak Agus tersenyum pahit. "Terima kasih, Pak Nurdin. Tapi kadang saya merasa ilmu yang saya punya sudah tidak relevan lagi. Saya selalu mengajar dengan cara tradisional menyampaikan pelajaran di depan kelas dengan bicara langsung, tanpa alat-alat canggih. Sekarang anak-anak lebih suka belajar dari layar dan itu membuat saya merasa tidak lagi diperlukan."