Di bawah langit kelabu kota Samarinda, hujan turun dengan derasnya seakan-akan langit menangis meratapi kisah-kisah yang belum terungkap. Di tengah derasnya hujan, seorang siswa SMA bernama Tito melangkah dengan hati-hati di trotoar yang licin. Jaket abu-abunya sudah basah kuyup tetapi dia tak peduli. Bagi Tito, hujan selalu membawa perasaan tenang dan seolah setiap tetesan air mampu menghapus jejak-jejak kesedihan di hatinya.
Tito baru saja pulang dari sekolah dan seperti biasa dia memilih jalan memutar menuju rumah. Jalan ini penuh dengan kenangan masa kecilnya yang selalu membuatnya merasa lebih dekat dengan almarhum ayahnya. Di persimpangan jalan Tito bertemu dengan sahabatnya Sinta, yang sedang berteduh di bawah kanopi toko buku. "Hei, kamu basah kuyup!" seru Sinta sambil menyerahkan payungnya kepada Tito.
"Terima kasih Sinta. Kamu tahu kan aku suka hujan," balas Tito sambil tersenyum tipis. Mereka berdua melanjutkan perjalanan bersama menikmati suara hujan yang memecah keheningan. Sinta adalah sahabat terbaik Tito sejak mereka duduk di bangku SMP.
"Tito, kamu mau mampir ke rumahku dulu? Kita bisa minum teh hangat dan mengeringkan baju," tawar Sinta. Tito mengangguk, merasa tawaran itu sangat menggoda. Di rumah Sinta mereka disambut oleh aroma teh melati yang harum dan kehangatan keluarga yang selalu membuat Tito merasa nyaman. Ibu Sinta seorang wanita yang ramah dan penuh perhatian menyambut mereka dengan senyum hangat.
"Hujan-hujan begini enaknya minum teh dan makan pisang goreng. Duduklah biar Ibu siapkan semuanya," kata Ibu Sinta sambil berlalu ke dapur. Di ruang tamu yang hangat, Tito dan Sinta duduk di sofa berbincang tentang banyak hal. Dari rencana liburan sekolah hingga tentang cita-cita mereka setelah lulus SMA. Meskipun hujan di luar tak kunjung reda, di dalam rumah Sinta, Tito merasa semua kesedihan dan kegelisahannya perlahan-lahan menghilang.
"Kamu tahu Sinta, kadang aku merasa hujan ini seperti membersihkan semua jejak kesedihanku," kata Tito dengan nada melankolis. Sinta tersenyum lembut, "Iya, Tito. Hujan bisa menghapus jejak, tapi kenangan yang indah akan selalu tetap ada di hati kita."
Hujan masih terus mengguyur Samarinda, namun di dalam hati Tito, ada secercah harapan dan kehangatan yang takkan pernah terhapus.
Keesokan harinya di sekolah Tito dan Sinta kembali bertemu di kelas. Pelajaran hari itu diajarkan oleh Pak Budi, guru matematika yang tegas namun bijaksana. Di awal pelajaran, Pak Budi mengingatkan siswa-siswanya untuk selalu berusaha dan tidak mudah menyerah. "Anak-anak, ingatlah bahwa setiap kesulitan yang kalian hadapi pasti akan berlalu. Tugas kalian adalah tetap berusaha dan tidak menyerah," kata Pak Budi sambil menuliskan soal-soal latihan di papan tulis.
Setelah pelajaran matematika, Bu Wulan guru bahasa Indonesia yang lembut dan penuh kasih, memasuki kelas. Dia membawa buku-buku cerita yang akan dibaca bersama oleh siswa-siswanya. Bu Wulan selalu berusaha membuat pelajarannya menarik dengan membacakan cerita yang penuh makna.
"Hari ini, kita akan membaca cerita tentang persahabatan dan keteguhan hati. Semoga kalian bisa mengambil pelajaran berharga dari cerita ini," ujar Bu Wulan dengan senyum manisnya.
Ketika Bu Wulan membacakan cerita, Tito merasa terhubung dengan kisah yang diceritakan. Cerita itu mengingatkannya pada persahabatannya dengan Sinta yang selalu saling mendukung di saat-saat sulit.