Jika pagi hari langit sedang cerah, maka akan tampak semburat merah menerpa pegunungan dan awan yang sedang berarak. Frans suka melewati subuh di depan rumahnya, menikmati bau rumput, bau tanah yang basah terkena embun, dan bau kayu sisa pembakaran tadi malam.
Dulu, Frans bersama kawan-kawannya sering berlari-lari dilembah, sebentar merasakan sejuk tiupan udara pengunungan, berguling di atas rerumputan, dan lupa pulang. Sering pula mereka masuk hutan, membidik binatang buruan tetapi semenjak sekolah menengah, papa melarang Frans membidik binatang di hutan. Papa mengajarkan banyak kepada Frans tentang alam. Papa pula yang mengajarkan kepada Frans untuk mandi sehari minimal sekali meskipun ketika mandi harus bersusah menuruni dan mendaki bukit untuk mengambil air. Itulah Papa Frans...
"dek rambutmu nyangkut!" ibu paruh baya dengan sedikit nyengir kuda menepuk pundak Frans.
 "Maaf ibu..."
Terlampau bersemangat Frans tidak sadar rambut keritingnya menyangkut di payung ibu yang sedang menggendong anak itu, Frans meminta maaf kemudian nyengir dan melanjutkan aksi merangseknya. Seorang ibu agak gemuk memarahi Frans, agak ketakuan ia.
Dengan gemuruh rombongan Papua mendekat, hati Frans berdebar, dipasangkannya matanya dengan seksama agar tak satupun cintanya lewat begitu saja.
"Papua tanah air bak surga di atas awan. Rindu mama, rindu papa..."
 "Rindu sekali aku mama..."
 Ada rombongan laki-laki yang memakai pummi (rok berbentuk rumbai-rumbai) menari-nari di atas aspal, dengan penutup kepala (kasuomer) yang bergoyang-goyang selaras dengan gerakan para laki-laki. Ada sekitar dua puluhan orang Papua disini. Tak kalah ramai dengan laki-lakinya, perempuan pun menari tarian cendrawasih dengan semangat, rok yang dipakai para perempuan rumbaiannya lebih banyak sehingga kelihatan lebih semarak. Seluruh rombongan merias tubuh mereka berupa corak hias yang sangat impresif. Bocah kecil mengenakan topi jerami di depan Frans ikut menari. Beberapa kali ia meringis menahan panas. Teman yang disampingnya hanya melongo saja. Deretan penonton bersorak dan bertepuk tangan.
 "Papuanya ada yang ketinggalan..." lelaki memakai jaket kulit coklat berteriak beberapa kali menunjuk kearah Frans. Tak sedikit penonton tertawa, Frans pura-pura sibuk merapikan rambutnya yang keriting.
"Saudaramu tuh pakai koteka" kata ibu yang payungnya tersangkut rambut tadi, Frans makin tambah sibuk. Frans agak kesal namun itulah budaya Indonesia, bermacam-macam dan saling melengkapi negara katulistiwa ini bisa dikatakan repelika dunia. Dari Sabang sampai Merauke bermacam-macam suku, bahasa, budaya, dan adat dipersatukan dalam satu wajah, Indonesia.