Mohon tunggu...
alwindo Colling
alwindo Colling Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sindiran yang elegan adalah sindiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan ~ Aku Menulis Maka Aku Ada***

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Opini Hukum: Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian HAM Berat Melalui Proses Pro-Justicia

27 Oktober 2021   00:10 Diperbarui: 27 Oktober 2021   00:38 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum tujuan negara yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia. Makna ini dapat tafsirkan bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi Hak Asasi Manusia setiap warga negaranya.

Perlindungan Negara dapat diwujudkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat tegas dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU39/1999), pelanggaran HAM diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik dengan sengaja atau pun tidak

 disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Sementara itu, istilah Pelanggaran HAM berat (Gross Violation on Human Rights) yang menjadi bagian dari hukum positif nasional sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU 26/2000), tidak mendefinisikan pengertian istilah "pelanggaran HAM berat". 

Namun, Undang-Undang tersebut menyebutkan katagori kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 1 angka 2, juncto Pasal 7 beserta penjelasannya dan juncto Pasal 9 beserta penjelasannya).

Data Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia dan penyelesaiannya 

Penculikan Aktivis 1998, Penculikan dan penghilangan paksa bagi aktivis pro demokrasi oleh TNI Pengadilan militer bagi pelaku lapangan (Tim Mawar) dan dewan Kehormatan Perwira bagi beberapa Jendral Vonis rendah, pengadilannya eksklusif, tidak menyentuh pelaku utama, dan sebagian aktivis masih tidak diketahui keberadaannya.

Penembakan Mahasiswa Trisakti, Penembakan aparat terhadap mahasiswa trisakti yang sedang berdemonstrasi. Merupakan titik tolak peralihan kekuatan politik dan pemicu kerusuhan sosial di Jakarta dan Kota Besar Indonesia Lainnya Pengadilan militer bagi pelaku lapangan Vonis terlalu ringan, terdakwa hanya aparat rendah di lapangan, tidak menyentuh pelaku utama. Komnas HAM telah membuat KPP (TSS) dan telah dimajukan ke kejaksaan Agung (2003). DPR menyatakan tidak terjadi Pelanggaran HAM berat.

Peristiwa Tanjung Priok Represi terhadap massa yang berdemonstrasi menolak asas tunggal Pancasila di Jakarta Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, Tahun 2003-2004 Vonis terlalu ringan, ada vonis bebas, tidak menyentuh pelaku utama, intimidasi selama persidangan dan reparasi yang tindakan memadai bagi korban

Dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di atas, belum terang dan kongkret penyelesaiannya serta tidak memberikan kepastian hukum bagi keluarga korban yang sampai saat ini masih berdiri di di kiri jalan menuntut kejelasan proses hukum dari peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi memberi angin surga bagi keluarga korban, dalam visi misi yang dituangkan dalam  Nawacita-nya menyebutkan bahwa Pemerintah berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan  terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih  menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Trisaksi, Semanggi 1, Semanggi  2, Wasior di Papua, Peristiwa tahun 1965, Talangsari, dan penembakan misterius.

Namun, solusi yang di tawarkan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak sesuai dengan semangat daripada UU 26/2000 yaitu membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Justru Solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan membentuk Komite Rekonsiliasi melalui pendekatan non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. 

Negara kita adalah negara hukum, harusnya pemerintah mengikuti rambu-rambu yang telah diatur dalam UU agar memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM melalui proses pro justicia

Menurut Pasal 18 ayat (1) UU 26/2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat (Pasal 19 ayat [1] huruf b UU 26/2000). 

Sedangkan, untuk penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 21 ayat [1] jo. Pasal 23 ayat [1] UU 26/2000).Menurut Pasal 43 ayat (1) UU 26/2000, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa. 

sebelum berlakunya UU 26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk melalui Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap suatu peristiwa tertentu (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000)

Hukum kita seolah-olah sulit di tegakkan,  pasalnya ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres. Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata "dugaan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Frasa 'dugaan' dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan adanya putusan MK No. 18/PUU-V/2007, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Komnas HAM merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyelidiki peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. Kewenangan penyelidikan untuk peristiwa semacam itu hanya dimiliki oleh Komnas HAM. 

Jika berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk menyatakan bahwa peristiwa yang berdasarkan sifat dan lingkupnya dapat diduga sebagai sebuah pelanggaran HAM yang berat maka peristiwa itu dapat diajukan ke pengadilan HAM sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 43 ayat (1) UU 26/2000 disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Jika melihat pada ketentuan tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM. 

Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU 26/2000 itu pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). 

Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No. 065/PUU-II/2004. Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu bentuk pengecualian asas non-retroaktif. 

Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/ PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengecualian terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 tetap dapat diusut, diperiksa, dan diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini diajukan oleh DPR setelah mendapat hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. 

Maka dari itu prinsip-prinsip umum peradilan HAM dan kepastian hukum bagi korban tetap harus dilaksanakan sebagai perlindungan Negara terhadap Hak Asasi warga negaranya.  Oleh sebab itu negara harus segera menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu secara terang-benderang dan menyeret serta mengadili aktor dibalik peristiwa berdarah-darah tersebut di hadapan pengadilan.

~ Sumber UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun