Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi memberi angin surga bagi keluarga korban, dalam visi misi yang dituangkan dalam  Nawacita-nya menyebutkan bahwa Pemerintah berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan  terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih  menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Trisaksi, Semanggi 1, Semanggi  2, Wasior di Papua, Peristiwa tahun 1965, Talangsari, dan penembakan misterius.
Namun, solusi yang di tawarkan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak sesuai dengan semangat daripada UU 26/2000 yaitu membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Justru Solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan membentuk Komite Rekonsiliasi melalui pendekatan non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.Â
Negara kita adalah negara hukum, harusnya pemerintah mengikuti rambu-rambu yang telah diatur dalam UU agar memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM melalui proses pro justicia
Menurut Pasal 18 ayat (1) UU 26/2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat (Pasal 19 ayat [1] huruf b UU 26/2000).Â
Sedangkan, untuk penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 21 ayat [1] jo. Pasal 23 ayat [1] UU 26/2000).Menurut Pasal 43 ayat (1) UU 26/2000, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa.Â
sebelum berlakunya UU 26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk melalui Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap suatu peristiwa tertentu (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000)
Hukum kita seolah-olah sulit di tegakkan, Â pasalnya ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres. Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata "dugaan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.Â
Frasa 'dugaan' dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan adanya putusan MK No. 18/PUU-V/2007, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Komnas HAM merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyelidiki peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. Kewenangan penyelidikan untuk peristiwa semacam itu hanya dimiliki oleh Komnas HAM.Â
Jika berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk menyatakan bahwa peristiwa yang berdasarkan sifat dan lingkupnya dapat diduga sebagai sebuah pelanggaran HAM yang berat maka peristiwa itu dapat diajukan ke pengadilan HAM sesuai ketentuan yang berlaku.