Helaan nafas panjang mengiringiku kembali pulang ke kota tempat tinggalku. Ternyata perasaanku hanya perasaan. Kebahagiaan yang sangat sudah terjawab.Aku masih mengaguminya meski tak ada yang mampu kuucapkan. Bahkan aku tak sempat mengenalnya. Belum.
Satu bulan kemudian. Suatu senja di teras rumah.
Menikmati senja denganaroma tanah usai hujan. Aroma yang menyejukkan hati. Aku menatap senja yang sebentar lagi menjadi malam. Warna jingga itu membawaku ke sebuah penantian panjang. Â Entah sampai kapan. Tiba-tiba HP ku bergetar. Chat masuk. Sabda. Aku bergetar membacanya.
        Professor Ken berpulang. Mohon doanya. Tx.
Air mataku tumpah seketika. Aku tidak tahu harus bagaimana. BAru sebulan yang lalu serasa firasat, bapak keduaku yang membimbingku selama di kampus seperti putrinya sendiri sudah harus meninggalkan dunia fana ini. Aku menelpon langsung Bunda Prigel. Diiringi isak tangis, kami saling berbagi doa. Aku berjanji akan secepatnya ke kota  beliau setelah mendapat izin cuti. Secepatnya aku langsung menghubungi Regi. Ternyata Regi ke luar kota. Aku hanya bisa menangis sendirian dalam perjalananku melepas Profesor Ken untuk yang terakhir kalinya. Meskipun terlambat, aku akan datang, seperti janjiku pada beliau.
Suasana duka masih kental menyelimuti saat aku memasuki rumah duka. Meski Professor Ken sudah di pusara, semua masih berkumpul. Ada Regi di sana. Aku menatapnya bingung.
        "Jas, suamiku keponakannya Almarhum. Maaf saya nggak kasih tahu."
Aku mengangguk pelan dan memeluknya erat.Air mataku tumpah. Bahkan saat mengunjungi makam beliau, masih ku rasakan kesedihan yang mendalam. Aku melupakan seluruh perasaanku pada putranya, meski akhirnya aku tak bisa menyembunyikannya karena harus berhadapan langsung dengan pemilik mata elang itu.
        "Apa kabar?"
Uluran tangannya untuk yang pertama kali kusambut dengan hati teramat gemetar. Rasanya seperti stroom ribuan watt. Nyaliku menciut, dan aku tak bisa berkata-kata.
        "Terima kasih sudah jadi putri ayah bunda. "