"ya.. kerja sampingan bang, sore ngojek, sebelumnya saya kerja di pabrik karung, tapi dipecat" lelaki ramping menyeka dahi, "kenapa?" supir menoleh sebentar.
 "ketahuan mencuri barang perusahaan bang" lelaki ramping cengengesan.
 "biasa itu.." sang supir terkekeh
"anakku juga gitu, sejak menikah ia mulai berani, demi kebutuhan rumah tangga katannya, padaha belum waktunya menikah" perempuan berambut putih di sampingku ikut nimbrung, lelaki ramping mengangguk tanda setuju
"Ck..anak muda zaman sekarang, punya cara jitu biar dinikahkan buk, menikah hanya bermodalkan cinta" kata -- kata sang supir itu disambut tawa oleh perempuan di sampingku.
Mamak pasti mengerti benar perasaanku di siang terik ini. Bagaimana bisa membanggakan keburukan, bagaimana bisa rasa cinta di pandang amat dangkal hanya sebatas cinta kepada lawan jenis, pekik hatiku.
Kubenahi barang -- barang, besok aku kembali ke Assalam.
 "Qath..bapak mau bicara" suara bapak terdengar tegas, aku langsung duduk di sampingnya.
 "bapak agak kecewa, sudah bertahun -- tahun kamu tinggal di pesantren, tapi, sikapmu ini menunjukkan kamu belum siap hidup di luar pesantren Qath" aku menunduk, bapak langsung ke inti pembicaraan, "kamu selalu menyesalkan setiap perubahan buruk tanpa menawarkan perbaikan,Â
setidaknya untuk desamu ini saja, coba lontarkan pertanyaan ke dalam dirimu, apa yang sudah kau perbuat dan kau berikan untuk desamu ini, terlebih untuk pertiwi yang katamu tengah meregang nyawa" makin dalam aku tertunduk.
"jika lingkunganmu tak lagi bersahabat, kaulah yang bertugas menyembuhkannya, jika rasa malu telah pudar, Â jika rasa cinta dan kasih telah menipis dan dinilai dangkal, Â kaulah yang bertugas menebar benih dan membagikannya, sejak dulu kita semua tahu, air mata ibu pertiwi berlinang, maka, kaulah yang bertugas mencegah air matanya luruh" kata -- kata bapak bagai anak panah yang dilepas dari busurnya, tepat mengenai sasaran. Kutumpahkan segala akumulasi rasa di pelukan mamak.