"Tes..tes..selamat malam pemuda -- pemudi tempur sari.." suara bang Subur kembali menyapa, diikuti suara serak Haji sanggup yang mengumandangkan Adzan Isya. Acara dangdut kembali digelar. Mbah Kersen beranjak dari lamunan singkatnya.
 "Mbah Kersen! Mbah!" Pintu mbah Kersen digedor pagi buta itu. Ganjar, lelaki tanggung tempur sari gelisah di mulut pintu.
"Ono opo Njar!" mbah Kersen kaget
"Nganumbah..nganu.."Â Ganjar tergagap.
"Opo?" mbah Kersen mendelik
"Nganu mbah, Bang Kabul meninggal, ditusuk orang kampung sebelah, rebutan perempuan di panggung tadi malam"
"Ditusuk? Rebutan perempuan?" mbah Kersen melongo.
"Sudah sedemikian murahkah harga nyawa ini hari?" mbah Kersen menatap Haji Sanggup usai sholat Isya.
"Ayo! Mampir kerumahku, ngobrol di rumah" ajak Haji Sanggup
Usia Haji Sanggup tak jauh beda dengan mbah Kersen. Haji Sanggup hidup menduda sejak lama. Tapi, rumah petaknya tetap rapi dan bersih. Ditengahi dua cangkir kopi dan setoples kacang kapri, perbincangan dua lelaki jompo itu kian hangat.
"Nggak seharusnya kita hidup di zaman ini ji, benar kata Naga Bonar "salahku hidup di zamanmu, zaman yang sulit untuk kumengerti namun harus kupahami" suara mbah Kersen terdengar parau.