"Meniran, kunyit, temu ireng, suruh istrimu meramunya untuk Marno, ini lebih mujarab dari pada bermalam di rumah sakit, tunggu sebentar!" mbah Kersen masuk kedalam, lalu keluar membawa botol kecil berisi madu.
"Minumkan madu ini kalo Marno nggak doyan makan, madu ini asli, aku ambil sendiri dari sarangnya" mbah Kersen kembali menyalakan kretek.
"Suwun nggeh mbah!" Sugeng membuncah bergegas pulang.
"Banyak cerita yang mestinya kau saksikan, di tanah kering bebatuan..."
Dengan segenap tenaga dan rasa, mbah Kersen mengikat tali bendera pada ujung bambu, lalu menancapkannya di samping tanaman perdu. Matahari mulai naik. Dengan nafas naik turun, mbah Kersen mentap hikmad sang pusaka yang berkibar di tiup angin pagi. Dada mbah Kersen bergemuruh, bebagai rasa memenuhi jiwanya. "Tiga hari lagi, usiamu genap 62, Â kau memang menua, tapi kuharap jiwamu tak pernah menua, tetaplah muda seperti kala 20" batin mbah Kersen.
"Mamper Sur!" teriak mbok Jum dari bawah tali jemuran. Mbok Sur berpikir sejenak, lalu berbelok.
"Dari mana?" mbok Jum mengajak Mbok Sur duduk di kursi kayu muka rumah.
"Dari rumah pak Manuel Yu"
"Si kaya pemilik toko  bahan bangunan? Pinjam uang ya?" selidik mbok Jum.
"Ah..YuJum tahu saja, iya Yu" mbok Sur menepuk pelan bahu mbok Jum.
"Desas -- desus yang kudengar, katanya anakmu diterima kerja di perusahaan besar ya?" mbok Jum serius.