"Iya Yu, makanya ini aku pinjam uang ke pak Manuel, untuk meloloskan Saroji" Mbok Sur setengah berbisik.
"Lho! Kalo mau keterima kerja harus bayar to?" mbok Jum mendelik
 "Lha iyo Yu..jaman sekarang Yu, kalo nggak ada ini, jangan harap!" mbok Sur menggosok -- gosokkan telunjuk dan ibu jarinya.
 Mbok Jum bergegas masuk kedalam, mencari mbah Kersen. Mbok Sur melongo.
"Pakne! Pakne! Sini, kalo mau Marni anak kita kerja di perusahaan besar dengan gaji besar, ayo! Pinjem uang ke pak Manuel, Marni sarjana lho pak, tapi Cuma jadi pengajar TPA kampung"
"Bicara apa kamu ini?" mbah Kersen menukas sengit.
 "Pak! Kalo mau kerja di perusahaan besar dan bergaji besar, itu harus bayar!" mbok Jum memburu.
"Yo wes, biar aku pinjem sendiri ke pak Manuel!" mbok Jum melengos.
 "Juminten!! Awas kalau kau berani pinjam uang!" mbah Kersen berteriak lantang dengan mata berkilat. Mbok Jum bergidik, lalu masuk dapur.
"Tubuhku tergunjang, dihempas batu jalanan, hati tergetar menatap kering rerumputan.."
Raminten, ponakan mbah Kersen, baru lulus SMA di pertengahan 90-an itu. Ia semangat ikut tes kerja di PT. Pupuk ternama. Ia sadar tak mudah untuk lolos, dan nyatanya ia memang tak lolos. Tapi, dalam setahun itu, ia giat mempelajari soal yang diingatnya saat ujian pertama. Ia kembali ikut tes di tahun berikutnya. Tak pelak, ia lulus. Tak keluar uang sepeserpun.