Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telaga di Balik Badai

4 Agustus 2017   14:56 Diperbarui: 11 Desember 2017   15:25 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kau tak marah padaku?" aku bertanya penuh selidik, Ulum hanya menggeleng tanpa suara, "kenapa kau tak menunjukkan perlawanan?"  aku masih penasaran. Beberapa saat dia masih diam, lalu berdehem pelan, "aku takut kau bawa pistol, tapi yang lebih aku takutkan adalah dipulangkan"

Hampir tawaku meledak mendengar pengakuannya, "konyol!" aku menyeringai. "omong -- omong, kau takut juga dipulangkan?" tanyaku melunak, "bapak melarangku pulang tanpa ilmu, bapakku orang sibuk dan aku punya banyak adik" Ulum berkata datar, aku tergelitik dengan arah bicara perempuan Kelumbi ini, "Bapakmu seorang menteri?" tanyaku telak, "Bapakku bukan menteri, tapi lebih sibuk dari menteri, dulu, bapakku kerja menggali kubur, sekarang bapakku alih profesi, menjual racun tikus dan malam hari buka pangkas rambut, bapakku ahli pangkas rambut" kuperbaiki posisi duduk, agaknya kisah perempuan Kelumbi ini menggelitik dan tak biasa, "lalu" tantangku semangat.

Ulum meraih botol minum samping lemari kayunya, perlahan menenggak isinya. "Karena Bapakku sibuk dan tak punya cukup ilmu, terlebih ilmu agama, Bapakku acap kali cemas, bagaimana nanti mempertanggungjawabkan aku, ibu dan adik -- adikku. Makanya, bapak memintaku sebenar -- benar meregub ilmu disini, biar bisa kuajarkan pada adik -- adikku kelak, ia rela bekerja siang malam untuk biayaku di sini" kulihat Ulum menerawang langit -- langit kamar, "Ibumu?" tanyaku hati -- hati, "Ibuku jualan ikan di pasar dari pagi sampai sore"

Kuhela nafas, aku tak lagi bertanya, aku mulai sibuk dengan pikiranku sendiri. Apa alasan bapak juga sama dengan alasan bapak Ulum? Ah..tidak, itu bukan alasan, aku ini benar -- benar melampaui batas, "bapak tak mau aku hidup manja terlena" kutepis segala prasangka buruk. Kulirik Ulum, ia tertunduk. Aku berdehem renyah, pelan kubuka lemari kayuku, meraba bungkusan biskuit. "Jangan terlalu lama tenggelam dalam nuansa melankolis" aku cengengesan sambil menyodorkan bungkusan biskuit. Ragu -- ragu kuulurkan tangan, "kenapa Boi..?" Ulum mendongak, "maaf" jawabku datar, cepat Ulum menyambut uluran tanganku

"Harus ku akui, kau lebih dewasa dan tegar dariku" kuraih satu biskuit, "harus ku akui pula, tendanganmu luar biasa, kau pandai karate?" aku menyeringai. Tiba -- tiba pintu kamar kami bergetar -- getar digedor dari luar. Sigap aku bangkit, Ustadzah Maisak berdiri di mulut pintu, bergantian menatapku dan Ulum, alisnya bertaut, berlalu begitu saja. Ia biasa mengecek kamar -- kamar santri tiap malam, dan mungkin merasa janggal melihat aku dan Ulum ngobrol sambil mengunyah biskuit dalam keremangan. Entahlah, yang jelas aku tak mau terlalu cemas dengan berbagai kemungkinan yang terjadi besok. Hati -- hati ku ambil lampu  baca di sudut ruangan, kubawa ke atas kasurku, aku mau menulis surat.

Jum'at adalah hari istimewa bagi kami, karena Jum'at kami libur, hanya diisi dengan latihan pidato ba'da Ashar. Tapi aku tak bisa menikmati Jum'at ini, cemas yang timbul tenggelam mengacaukan perasaanku. "Boi, sore nanti kita latihan pidato, giliranmu kan?" Ulum menggamit lenganku. Aku mengangguk, materi sudah kusiapkan sejak dua hari lalu.

Teman -- teman mengeluarkan pakaian terbaiknya, rata -- rata pakai gamis. Iseng kutarik gamis cokelat di lipatan paling bawah. Gamis cokelat dengan bordir bunga matahari dan kupu -- kupu di bagian bawah, ibu menjahitnya sendiri untukku. "Wah..manis benar gamismu Kun" beberapa teman memuji, malu -- malu aku mendekat ke cermin dekat jendela, hal yang tak pernah kulakukan selama ini. Jilbab tebal cokelat susu kukenakan, "ah.." aku berdesir di depan cermin, aku tak kalah anggun dengan perempuan Tasik itu, "manisnya...Kun beda sekali dari biasanya" puji teman -- teman, aku menunduk malu."Cepat Boi..hampir dimulai, jangan sok cantik kau" Ulum menarik lenganku sambil cengengesan.

Belum ada tanda -- tanda Bapak datang, Terus kutepis rasa was --was yang timbul tenggelam, kumantapkan langkah menuju podium sederhana. Dalam kutarik nafas, lalu kulontarkan salam, tanpa melihat teks aku merangsek.

Dari jendela besar yang menghadap langsung gerbang utama, mataku menangkap dua sosok, "tak salah lagi" batinku gusar. Kututup pidato dengan salam yang hampa. Giliran Komariyah menyampaikan materi pidatonya. Aku menuju kursi paling belakang dekat pintu. Ulum duduk di sebelahku, "yakinlah dengan doamu semalam Boi.." .

Ustadzah Ismi mengucap salam di mulut pintu, diikuti dua sosok di belakangnya. Aku langsung berdiri, "Kuntari, Ibu dan Bapakmu ingin bertemu" Ustadzah Ismi mempersilahkanku dengan lembut.

Langkahku gemetar mendekat ke Bapak dan Ibu yang berdiri di muka aula. Kusalami Bapak dan Ibu bergantian, Bapak tersenyum mengembang, Ibu juga, matanya penuh binar "aneh" pikirku. Nampaknya Ibu rindu berat padaku, terus mengamati gamis yang kukenakan. "Ini benar Kuntari putri Bapak?" Bapak menggodaku, "Bapak kesini mau menjemputku?" tanyaku serius "Kalau kamu mau" bapak tertawa kecil. "Kami kesini bukan menjemputmu Kun, Bapak kangen pengen ketemu kamu, ya..Ibu juga" Ibu mengusap bahuku. Ploong..cemasku padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun