Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Telaga di Balik Badai

4 Agustus 2017   14:56 Diperbarui: 11 Desember 2017   15:25 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki 45 tahunan itu menaruh gagang telepon, menyeka dahi dengan air muka kecewa bercampur sesal. "Pak, kabar dari Kun?" bu Sulastri bangkit dengan mata menyala, "Kun menghajar teman sekamarnya" datar pak Jasadin menjawab, lalu meninggalkan istrinya. Gantian bu Lastri yang duduk di kursi pak Sadin, melepas kaca mata tebalnya "anakku satu -- satunya.." batin bu Lastri nelangsa.  

"Ibu khawatir, Kun jadi laki -- laki pak!" keluh bu Lastri di sela makan malam, "Hush..jangan bicara yang nggak -- nggak, jelas -- jelas anakmu itu perempuan" pak Sadin agak kesal.

Kuntari, itu namaku. Aku senang tak terkira -- kira saat tahu diterima di SMA Negeri favorit, tanpa tes pula..bayangkan. "Tak sia -- sia belajar kerasku selama ini" batinku melayang. Tapi, bahagia yang tengah meletup itu tiba -- tiba terhempas tak bernyawa, wajahku mendadak pias tak berdarah. Pak Jasadin, bapakku, yang seorang Purnawirawan Menengah Letnan Kolonel itu telah menetapkan keputusan, meskipun keputusan itu disampaikan dengan hati -- hati, tetap saja sudah memadamkan hati ini.

"Tak perlu takut, pesantren bukan musibah, pesantren bukan penjara, bapak mau kau mencoba..belajarlah hidup disana". Seperti biasa, bapak bicara datar tanpa tekanan, menandaskan sisa teh manis, lalu meraih topi loreng di balik pintu, menuju pos untuk apel pagi, meninggalkan rongga mengannga di dadaku. Terlebih, aku antusias mengikuti ujian kenaikan sabuk bulan depan, dari sabuk cokelat ke sabuk hitam. Terus kupandangi  punggung bapak hingga tak terlihat, lalu kulemparkan pandangan keluar, komplek perumahan tentara yang di dominasi warna hijau, dengan perasaan hancur lebur aku melangkah ke kamar, ibuku menyusul cepat di belakang.

Kamar berukuran kira - kira 7 7 M ini berisi 20 santri, agak ragu aku melangkah masuk, mengamati sekeliling, dinding bercat putih bersih, dua buah jendela kaca lengkap dengan trali besi, tirainya cokelat susu. Bertumpuk -- tumpuk kasur lipat di salah satu sudut, lemari kayu kecil berjejer di pinggir ruangan, lantai keramik hijau pudar. Usai mengurus segala keperluanku, dan berbicara cukup lama dengan pimpinan pondok yang berwajah telaga itu, bapak pulang, mengusap lembut kepalaku lalu melangkah tanpa kata, tanpa menoleh. Tapi, aku tahu, tatapan lembut mata bapak yang berkata. Ibu berkali -- kali mengusap bahuku, ia pun nampaknya tak bisa berkata,  hanya sorot matanya menggambarkan kecemasan.

Hari pertama di pesantren, teman -- teman mengira aku laki -- laki, meskipun jelas -- jelas aku mengenakan jilbab. Di kamar menjelang tidur pun, teman -- teman ragu membuka jilbab, saat kulepas  jilbab, barulah mereka berani buka jilbab dan percaya kalau aku perempuan. Dihujani sorot -- sorot mata curiga dan bisikan kasuk -- kusuk, aku tak perduli, datar saja, tanpa ekspresi.

Bangun pukul 04.00, pukul 9:30 malam sudah boleh tidur, harus berpakaian sopan sesuai pada tempatya, ada pakaian sekolah, pakaian ke masjid dan pakaian olahraga, seminggu dua kali latihan pidato menggunakan bahasa Indonesia, arab dan inggris. Kegiatan ekstrakulikuler, pramuka, PMR, Qira'atul Qur'an, pembinaan keterampilan membaca kitab kuning, Tahfidzul Qur'an. Olahraga:  bulu tangkis, tenis meja, memanah. Mataku redup membaca sederet peraturan itu. Keharusan mengenakan rok atau gamis sepanjang hari agaknya akan menyiksaku. Apa aku bisa bertahan? Entahlah.

Rencana gila sempat berkelebat, rencana untuk berulah dan membuat masalah, dengan satu tujuan saja "dipulangkan". Cepat kutepis kelebat itu, kala membayanagkan kecewanya wajah bapak.

Pukul 9:30 malam, waktunya tidur. Kasur -- kasur lipat sudah dibentangkan, layaknya kapal yang siap berlayar. Obrolan ringan perkenalan masih terdengar, sesama santri baru saling menanyakan nama dan asal daerah. Tapi, tak seorang pun yang menanyakan namaku, toh aku tak berminat terlibat  dalam obrolan.

Sepanjang malam aku resah dengan tangan di atas kening, persis orang yang menanggung banyak hutang. Nanar kutatap dinding yang diterpa sinar bulan bulat penuh yang menerobos celah tirai jendela, purnama kelima belas. Sempurna.

Seisi kamar gelapan mendengar bunyi lonceng. "Qiyamul Lail..lalu siap -- siap ke Masjid, Shubuh berjamaah" perempuan anggun berambut ikal itu mengeluarkan mukena dari lemari kayu miliknya, kasurnya juga sudah terlipat rapi. Dia bangun sebelum lonceng berbunyi rupanya. Aku mendesis lalu bangkit, tak sedikit santri yang mengeluh.

Sambal tempe kering, sebelah telur rebus, tumis bayam, lengkap dengan segelas susu. Perempuaan -- perempuan paro baya itu tetap sabar dan tersenyum meski meladeni banyak santri. menciduk nasi, lauk, dan menuang susu. Aku duduk menghadapi hidangan yang menantang usai mengantri. "Dari aroma, sepertinya menjanjikan" desisku, perlahan ku angkat sendok, "ah.." mataku menyala menoleh kanan kiri, "selama ini aku salah, kupikir masakan ibu tak tertandingi'

"Makanlah..kita perlu energi cukup untuk menghadapi kelas pertama hari ini' perempuan anggun itu lagi, dia duduk di sisiku, lembut dan ramah menyapa, sikapnya dewasa dan keibuan, Aku tersenyum tipis. Suapan kedua, ketiga dan selanjutnya terus kunikmati hingga kandas tak bersisa, agaknya resah semalaman menguras banyak energi.

Ruangan ini sederhana, tapi rapi dan bersih, cukup menenangkan. Beberapa tulisan kaligrafi menghiasi dinding. Aku duduk paling belakang, sendiri. Seorang ustadzah masuk dengan derap langkah tenang, mengucap salam seraya melempar senyum royal. Gamis abu -- abu dipadu jilbab putih yang menjulur hingga ke bawah dada, harus ku akui..ustadzah itu cantik dan anggun, ramah pula.

Setiap pelajaran di hari pertama ini selalu di awali dengan perkenalan, ck..aku lelah dibuatnya. 30 santri di kelasku berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari pulau nun jauh di seberang sana, pulang Bangka Belitung, yang lebih dikenal dengan Babel. Namanya Ulum. "Dari daerah Buyan Kelumbi" jawab Ulum sambil memilin -- milin ujung jilbab saat ustadzah Chumaiza menanyakan daerahnya.

Komariyah, nama perempuan anggun itu, teman -- teman memanggilnya Kokom, Ia berasal dari Tasikmalaya. Lemah gemulai benar perempuan Tasik ini. Giliranku memperkenalkan diri, beberapa mata menyorot, entah kenapa, mungkin karena bicaraku terlalu cepat. Biarlah.

Ada yang menghapal kosa kata bahasa arab, kosa kata bahasa inggris, ada yang muroja'ah hafalan, sesekali terdengar cekikikan, batuk, bersin hingga cegukan. Suara khas mengantri mandi. Suara -- suara itu bergumul menjadi satu, macam sekawanan tawon yang di usik sarangnya. Aku berdiri di barisan paling belakang, bersandar malas pada dinding batu bata yang belum diplester, asyik kumainkan ujung handuk.

Satu bulan sudah aku disini, di pesantren Assalam. Tapi, aku masih saja menyimpan radang pada bapak, radang yang hanya bisa keperam, sendiri. Ulum, perempuan Kelumbi, tiba -- tiba memotong antrian, kontan saja barisan riuh. Rubiah, perempuan atletis,  mendorong Ulum karena kesal, nyaris Ulum terjerembab, oleng barisan dibuatnya. Sesaat aku tak perduli, tapi Ulum masih berusaha memotong barisan. Sejurus kutatap tajam Ulum, tanpa suara aku merangsek, keras kulepsakan Chudang Maegeri(tendangan perut) ke arah Ulum, perempuan Kelumbi itu tumbang tanpa ampun, dingin kutatap Ulum yang tertunduk. Anehnya, ia tak menunjukkan perlawanan, ia hanya mengepal -- ngepalkan tangannya dengan nafas naik turun. Agaknya, itulah caranya melampiaskan kesumat.

Suara teman -- teman yang tadinya riuh nggerundel, seketika lenyap, tak ubanhya radio rusak kemerosok yang dimatikan. Tanpa dikomando, mereka merapat ke dinding, mungkin ngeri dengan kemuntabanku yang tiba -- tiba. "Dia anak tentara ya? Jangan -- jangan dia bawa pistol" samar kutangkap suara tertahan itu. Derap langkah tenang mendekat, aku akan segera di adili.

Prilaku gilaku menghajar Ulum tadi pagi tergolong pelanggaran berat, hukuman pelanggaran berat adalah dipulangkan, tapi pimpinan pondok baru akan memutuskan besok. 'Fiuh..." hati dan pikiranku terus berseteru, aku yakin bapak sudah menerima kabar ini, dan mungkin bapak akan menjemputku besok.

Untuk kesekian kali kuseka dahi. Bilah -- bilah daun kelapa gading samping kamar bergetar dimainkan angin malam, gemerisiknya merisaukan. Kulirik jam tangan sampil bantal, 22:20, teman -- teman sudah terlelap. Ck..resahku kian menjadi, aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku khawatir dipulangkan, padahal, pertama tiba di sini aku ingin dipulangkan. Tapi, saat menendang Ulum pagi tadi, aku benar -- benar tak memikirkan perihal dipulangkan.

"Jangan dipaksakan tidur kalau tidak bisa" tiba -- tiba suara serak menyapaku. Aku menatap ke sekeliling, itu suara Ulum, posisi kasurnya dekat jendela. Perlahan ia duduk menselonjorkan kaki, "kau cemas dipulangkan?" Ulum menatapku dalam keremangan, "apa maksud perempuan Kelumbi ini?" batinku heran, aku duduk bersila di atas kasur, "sedikit cemas" jawabku dingin. "Boi, berdoalah sungguh -- sungguh saat Qiyamul Lail nanti, mintalah agar pimpinan pondok ini memberi toleransi" Ulum berkata setengah berbisik, "namaku Kuntari, bukan Boi!" aku menukas sengit, aku masih heran, kenapa dia tak marah padaku. "Tenang..Boi itu sapaan akrab di daerahku" Ulum menahan tawa.

"Kau tak marah padaku?" aku bertanya penuh selidik, Ulum hanya menggeleng tanpa suara, "kenapa kau tak menunjukkan perlawanan?"  aku masih penasaran. Beberapa saat dia masih diam, lalu berdehem pelan, "aku takut kau bawa pistol, tapi yang lebih aku takutkan adalah dipulangkan"

Hampir tawaku meledak mendengar pengakuannya, "konyol!" aku menyeringai. "omong -- omong, kau takut juga dipulangkan?" tanyaku melunak, "bapak melarangku pulang tanpa ilmu, bapakku orang sibuk dan aku punya banyak adik" Ulum berkata datar, aku tergelitik dengan arah bicara perempuan Kelumbi ini, "Bapakmu seorang menteri?" tanyaku telak, "Bapakku bukan menteri, tapi lebih sibuk dari menteri, dulu, bapakku kerja menggali kubur, sekarang bapakku alih profesi, menjual racun tikus dan malam hari buka pangkas rambut, bapakku ahli pangkas rambut" kuperbaiki posisi duduk, agaknya kisah perempuan Kelumbi ini menggelitik dan tak biasa, "lalu" tantangku semangat.

Ulum meraih botol minum samping lemari kayunya, perlahan menenggak isinya. "Karena Bapakku sibuk dan tak punya cukup ilmu, terlebih ilmu agama, Bapakku acap kali cemas, bagaimana nanti mempertanggungjawabkan aku, ibu dan adik -- adikku. Makanya, bapak memintaku sebenar -- benar meregub ilmu disini, biar bisa kuajarkan pada adik -- adikku kelak, ia rela bekerja siang malam untuk biayaku di sini" kulihat Ulum menerawang langit -- langit kamar, "Ibumu?" tanyaku hati -- hati, "Ibuku jualan ikan di pasar dari pagi sampai sore"

Kuhela nafas, aku tak lagi bertanya, aku mulai sibuk dengan pikiranku sendiri. Apa alasan bapak juga sama dengan alasan bapak Ulum? Ah..tidak, itu bukan alasan, aku ini benar -- benar melampaui batas, "bapak tak mau aku hidup manja terlena" kutepis segala prasangka buruk. Kulirik Ulum, ia tertunduk. Aku berdehem renyah, pelan kubuka lemari kayuku, meraba bungkusan biskuit. "Jangan terlalu lama tenggelam dalam nuansa melankolis" aku cengengesan sambil menyodorkan bungkusan biskuit. Ragu -- ragu kuulurkan tangan, "kenapa Boi..?" Ulum mendongak, "maaf" jawabku datar, cepat Ulum menyambut uluran tanganku

"Harus ku akui, kau lebih dewasa dan tegar dariku" kuraih satu biskuit, "harus ku akui pula, tendanganmu luar biasa, kau pandai karate?" aku menyeringai. Tiba -- tiba pintu kamar kami bergetar -- getar digedor dari luar. Sigap aku bangkit, Ustadzah Maisak berdiri di mulut pintu, bergantian menatapku dan Ulum, alisnya bertaut, berlalu begitu saja. Ia biasa mengecek kamar -- kamar santri tiap malam, dan mungkin merasa janggal melihat aku dan Ulum ngobrol sambil mengunyah biskuit dalam keremangan. Entahlah, yang jelas aku tak mau terlalu cemas dengan berbagai kemungkinan yang terjadi besok. Hati -- hati ku ambil lampu  baca di sudut ruangan, kubawa ke atas kasurku, aku mau menulis surat.

Jum'at adalah hari istimewa bagi kami, karena Jum'at kami libur, hanya diisi dengan latihan pidato ba'da Ashar. Tapi aku tak bisa menikmati Jum'at ini, cemas yang timbul tenggelam mengacaukan perasaanku. "Boi, sore nanti kita latihan pidato, giliranmu kan?" Ulum menggamit lenganku. Aku mengangguk, materi sudah kusiapkan sejak dua hari lalu.

Teman -- teman mengeluarkan pakaian terbaiknya, rata -- rata pakai gamis. Iseng kutarik gamis cokelat di lipatan paling bawah. Gamis cokelat dengan bordir bunga matahari dan kupu -- kupu di bagian bawah, ibu menjahitnya sendiri untukku. "Wah..manis benar gamismu Kun" beberapa teman memuji, malu -- malu aku mendekat ke cermin dekat jendela, hal yang tak pernah kulakukan selama ini. Jilbab tebal cokelat susu kukenakan, "ah.." aku berdesir di depan cermin, aku tak kalah anggun dengan perempuan Tasik itu, "manisnya...Kun beda sekali dari biasanya" puji teman -- teman, aku menunduk malu."Cepat Boi..hampir dimulai, jangan sok cantik kau" Ulum menarik lenganku sambil cengengesan.

Belum ada tanda -- tanda Bapak datang, Terus kutepis rasa was --was yang timbul tenggelam, kumantapkan langkah menuju podium sederhana. Dalam kutarik nafas, lalu kulontarkan salam, tanpa melihat teks aku merangsek.

Dari jendela besar yang menghadap langsung gerbang utama, mataku menangkap dua sosok, "tak salah lagi" batinku gusar. Kututup pidato dengan salam yang hampa. Giliran Komariyah menyampaikan materi pidatonya. Aku menuju kursi paling belakang dekat pintu. Ulum duduk di sebelahku, "yakinlah dengan doamu semalam Boi.." .

Ustadzah Ismi mengucap salam di mulut pintu, diikuti dua sosok di belakangnya. Aku langsung berdiri, "Kuntari, Ibu dan Bapakmu ingin bertemu" Ustadzah Ismi mempersilahkanku dengan lembut.

Langkahku gemetar mendekat ke Bapak dan Ibu yang berdiri di muka aula. Kusalami Bapak dan Ibu bergantian, Bapak tersenyum mengembang, Ibu juga, matanya penuh binar "aneh" pikirku. Nampaknya Ibu rindu berat padaku, terus mengamati gamis yang kukenakan. "Ini benar Kuntari putri Bapak?" Bapak menggodaku, "Bapak kesini mau menjemputku?" tanyaku serius "Kalau kamu mau" bapak tertawa kecil. "Kami kesini bukan menjemputmu Kun, Bapak kangen pengen ketemu kamu, ya..Ibu juga" Ibu mengusap bahuku. Ploong..cemasku padam.

"Kun, Bapak pulang, malam ini bapak tugas, lanjutkan latihanmu" Bapak mengusap kepalaku, menyuruhku kembali masuk aula, aku merogoh saku gamis, kusodorkan surat itu pada Ibu, sebenarnya bukan surat, karena tak pakai amplop, hanya kertas yang kulipat dua. Isinya singkat saja. "Pak, aku tak mau pulang, aku ingin tetap tinggal di Assalam, banyak hal yang harus kupelajari tentang hidup disini, tinggal disini seperti berada dalam telaga, meskipun awalnya kurasa gersang, kalau bapak mau menjemputku nanti menjelang libur saja. Anakmu.  

Cepat ibu meraih kertas di tanganku, lalu diselipkan dalam tas kecilnya. "Kardus barang -- barangmu ada di sekretariat, nanti di ambil, ada bungkusan tempe bacem dan kerupuk ikan kegemaranmu" ibu mengingatkan, aku membuncah. "Masuklah" Bapak menunjuk pintu aula, sejak tadi Ulum menungguku di mulut pintu. Bapak berjalan di belakang Ibu, "Kun sudah jadi perempuan Pak! Putriku itu benar -- benar manis" Ibu menoleh ke Bapak, "dia juga putriku!" Bapak menukas.

Senja Andalas, Penghujung Syawal 1437 H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun