Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Review Buku Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses

5 April 2022   09:19 Diperbarui: 5 April 2022   09:28 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Judul Buku: Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Second Edition)

Penulis: Laurence BonJour,

Kota, Penerbit dan Tahun: Maryland: Rowman & Littlefield, 2010. 

Tebal buku: 331 halaman

Pengantar

Buku ini merupakan suatu perkenalan dengan epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat. Dalam bagian pengantar, penulis memaparkan secara singkat kekhasan penyelidikan filosofis, khususnya epistemologi. Buku ini merupakan buku populer yang dapat dibaca oleh para siswa sekolah menengah dan kalangan umum yang merasa "awam" terhadap filsafat.

Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama memuat delapan bab yang membahas persoalan epistemologi klasik. Persoalan-persoalan itu membentang dari Rene Descartes (baca: dekart, huruf "e" diucapkan seperti pada kata "desa") hingga ke beberapa isu kontemporer seperti persoalan ingatan, kesaksian dan "other minds". Bagian kedua membahas tanggapan kontemporer terhadap konsep epistemologi Cartesian. Tanggapan-tanggapan tersebut membentang mulai dari persoalan fondasionalisme, koherentisme, epistemologi Quine hingga skeptisisme.

Penulis buku ini memiliki dua keyakinan mendasar. Pertama, pandangan epistemologi Descartes bisa dijadikan titik tolak untuk mengawali diskusi mengenai persoalan epistemologi. Meskipun para pemikir setelahnya memberikan banyak kritik, hal itu tidak bisa menafikan pentingnya epistemologi Descartes sebagai suatu revolusi pemikiran. Kedua, filsafat pada dasarnya berciri dialektis. Filsafat terdiri dari suatu tesis atau argumentasi yang ditanggapi dengan argumentasi lainnya. Penulis ingin menampakkan ciri dialektis ini dalam tulisannya.

Selain itu, pembaca diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat, tetapi ikut dalam proses dialektika itu sendiri. Penulis buku juga berusaha memberikan gambaran komprehensif terhadap setiap pandangan agar pembaca dapat menentukan sendiri pandangannya sebelum membaca tanggapan dari penulis buku ini sendiri. Bagian pertama dalam buku ini dikhususkan untuk menjelaskan pendekatan epistemologi Cartesian dan persoalan-persoalan yang muncul dari konsep tersebut. Tanggapan-tanggapan pada bagian kedua secara umum memperlihatkan keyakinan-keyakinan yang menganggap epistemologi Cartesian sebagai pandangan yang tidak dapat dipertahankan alias tidak memadai. Epistemologi Cartesian bahkan dianggap bisa menuntun kita pada skeptisisme.

Bagian Pertama 

Pada bab pertama, penulis memberikan suatu gambaran umum mengenai filsafat, khususnya epistemologi. Menurut penulis, filsafat merupakan suatu upaya "pemahaman reflektif" (reflective understanding). Artinya, filsafat merupakan "upaya untuk memahami suatu hal (realitas) dalam arti dalam arti yang paling luas sejauh dapat dicapai".[1] Meskipun ada cabang ilmu lain yang juga menyelidiki realitas, filsafat fokus pada pendekatan yang lebih umum dan abstrak. Epistemologi merupakan suatu wilayah kajian dimana persoalan-persoalan umum dan dan abstrak ini dibahas. 

 BonJour memberikan ilustrasi mengenai fakta-fakta yang dapat dikelompokkan ke dalam berbagai kategori: mulai dari fakta sensorik, ingatan, hingga fakta matematis maupun abstrak. Terhadap semua kategori tersebut, ada dua pertanyaan kunci yang dapat diajukan. Pertama, apa yang dimaksud ketika saya mengatakan bahwa "Saya tahu setiap hal yang disebutkan (misalnya fakta bahwa mata saya memandang komputer dan bahwa saya bukan orang Jakarta asli)"? Apa dasar yang menjamin bahwa pengetahuan saya tentang hal-hal itu benar adanya? Kedua, bagaimana bisa saya mengetahui semua itu? Apa basis dan sumber pengetahuan saya?

Pertanyaan kedua adalah: "Apakah saya benar-benar mengetahui semua yang saya anggap saya ketahui itu?" Sebab, bisa saja saya mengatakan bahwa saya tahu akan sesuatu, tetapi dalam kenyataannya saya tidak tahu. Epistemologi Descartes berupaya menyediakan suatu justifikasi bagi adanya pengetahuan yang benar. Descartes ingin menemukan pijakan yang orisinil mengenai dasar-dasar pengetahuan yang di atasnya pengetahuan ajeg dapat diperoleh. Satu pertanyaan akhir yang dapat diajukan adalah: "Apa pentingnya mengetahui bahwa kita tahu sesuatu atau tidak? Apa pentingnya pengetahuan bagi kehidupan kita?"

 Pada bab kedua, BonJour menampilkan prinsip-prinsip dan asumsi Descartes dalam karyanya yang berjudul Meditations on First Philosophy (1641). Menurutnya, ada beberapa asumsi mendasar dalam pandangan epistemologi Descartes. Salah satu di antaranya sering dinamakan "skeptisisme metodis". Jika semua keyakinan kita disadari sebagai sesuatu yang keliru, pantaslah kita mencari kekeliruan yang terdapat dalam keyakinan-keyakinan itu. Namun kita akan segera menyadari bahwa keyakinan itu bisa saja berdiri di atas pengandaian lain yang juga keliru. Begitu seterusnya.

 Descartes mengajukan pandangan yang lebih radikal daripada pandangan di atas, yakni menangguhkan untuk sementara waktu segala pendapat, pandangan maupun opini yang dinilai "tidak benar-benar pasti". Descartes menyadari bahwa ada banyak jenis keyakinan kita yang keliru. Bagi Descartes, tidak perlulah kita mengecek semua kekeliruan itu satu per satu. Cukuplah bagi kita untuk fokus pada apa yang ia sebut hipotesis "setan yang licik".

 Seandainya ada setan yang licik dan sangat kuat yang berusaha keras untuk menipu kita, kita bisa saja menganggap segala sesuatu di sekitar kita sebagai angan-angan belaka. Hal ini tidak berarti bahwa Descartes menganggap setan seperti itu ada. Sebab, bisa saja setan itu juga masuk dalam lingkup keragu-raguan kita.

 

Intinya adalah, bagi Descartes, bisa saja kita tidak tahu dengan pasti pada apapun. Namun harus ada satu hal yang menjadi dasar untuk meragukan segala sesuatu. Hal ini termaktub dalam adagiumnya yang terkenal: cogito ergo sum (I think, therefore I am), "Aku berpikir maka aku ada." Menurut BonJour, Descartes sampai pada keyakinan bahwa eksistensinya tidak dapat diragukan, atau dengan kata lain, benar. Ada kesan bahwa skeptisisme metodis Cartesian akan tiba pada suatu bentuk pengetahuan yang bebas-salah.[2]

 Bagi Descartes, manusia merupakan "suatu pengada yang berpikir, (yaitu) pikiran, intelek, pengertian, atau rasio". Pengada pemikir ini, "Si Aku" ini tidak sama dengan pengada peragu tadi. Klaim ini sangat penting bagi keseluruhan argumentasi dalam buku ini. Apa yang membuat "cogito" tidak bisa lagi ditipu oleh "si iblis licik" tadi adalah apa yang oleh BonJour disebut indubitability (ke-tidak-dapat-ragu-an).[3] Klaim ini menjadi basis untuk merekonstruksi epistemologi Descartes. 

 Melalui skeptisisme metodisnya, Descartes tidak meragukan semua keyakinan. Ada dua keyakinan yang tidak bisa diragukan lagi, yaitu: (1) keyakinan bahwa ia ada sebagai pengada berpikir; dan (2) keyakinan-keyakinan lainnya tentang status pikirannya. Bagi Descartes, keyakinan itu menjadi premis-premis yang darinya dapat ditarik kesimpulan tentang dunia di luar pikiran. Ide tentang Tuhan merupakan salah satu ide yang disebabkan oleh Tuhan sendiri yang niscaya ada. Eksistensi Tuhan ini diandaikan oleh Descartes dalam upayanya merekonstruksi pengetahuan lain di luar pikiran. Menurut Descates, jalan penalaran seperti itu akan menuntun kita pada pengetahuan yang benar tentang realitas di luar pikiran. 

Bagi Descartes, Tuhan tidak mungkin menipu kita dengan memberikan kita keyakinan-keyakinan yang keliru. Namun Tuhan yang dipahami Descartes bukanlah Tuhan dalam arti personal, melainkan sebagai pengada yang sempurna dan tak terbatas. Dengan adanya Tuhan, pengetahuan kita tentang realitas materiil tidak mungkin salah.

Bagaimana epistemologi Descartes menjelaskan proses memperoleh pengetahuan? Pertama, pencerapan inderawi tidak bisa menjamin bahwa "semua benda material yang saya cerap itu demikian adanya". Kedua, kita bisa mengetahui benda-benda meterial berkat adanya apa yang oleh John Locke dinamakan "kualitas-kualitas primer" (kualitas matematis seperti ukuran, bentuk, gerakan). Ketiga, untuk kualitas-kualitas sekunder seperti warna, rasa dan bau, kita dapat mengandaikan bahwa semua itu bisa diketahui berkat adanya persepsi lain yang sesuai. Keempat,  persepsi kita hanya berfungsi menentukan apakah suatu benda/makhluk berbahaya bagi kita atau tidak. Persepsi kita tidak bisa menentukan esensi semua itu.

Descartes menyimpulkan semua itu dengan mengatakan bahwa kita tidak boleh ragu akan adanya "kebenaran tertentu" dalam persepsi kita. Selain itu, Tuhan pasti akan memberikan kita suatu cara yang memampukan kita memperbaiki kesalahan persepsi sejauh Ia tidak mungkin menipu kita dengan opini-opini yang salah.

 Pada bagian akhir bab 2, BonJour meringkaskan prinsip-prinsip epistemologi Descartes:

 

  • Konsep pengetahuan. Bagi Descartes, pengetahuan yang benar itu hanyalah pengetahuan yang tidak dapat salah dan dijamin kebenarannya. Pengetahuan adalah suatu keyakinan yang dipegang tanpa ragu. Pengetahuan seperti itu dijamin kebenarannya oleh rasio yang yang dimiliki oleh manusia (cogito).
  • Basis a priori atau rasional dari pengetahuan. Descartes mengkalim adanya ide-ide yang jelas dan terpilah-pilah yang diperoleh berkat natural light. Klaim-klaim yang diperoleh berkat terang rasio itu jelas dalam dirinya sendiri dan menjadi fondasi awal bagi pengetahuan.
  • Basis empiris pengetahuan. Menurut Descartes, isi kesadaran kita sama pastinya dengan eksistensi kita.
  • Inferensi (penyimpulan) pada dunia eksternal (material). Semua yang kita ketahui tentang dunia diperoleh melalui penyimpulan dari dua elemen mendasar di atas, yaitu basis a priori dan empiris. Penyimpulan itu hanya menjelaskan ide-ide yang ada dalam kesadaran kita yang jelas dalam dirinya sendiri.

 

Bagian Kedua

 Meskipun epistemologi Descartes menyediakan sumbangan berharga bagi perkembangan epistemologi tradisional, dalam perkembangan selanjutnya banyak pemikir memberikan tanggapan atasnya. Tanggapan-tanggapan tersebut berupaya menunjukkan bahwa epistemologi Descartes dalam batas-batas tertentu mengandung kekeliruan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh Descartes (yakni keraguan metodis) terlalu berbelit dan karena itu dapat disederhanakan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.

 Dalam bagian kedua ini, BonJour akan menunjukkan argumen-argumen anti-Cartesian, mulai dari yang kurang meyakinkan hingga yang paling radikal. Bab 9 akan memperlihatkan ciri fondasionalisme dalam pandangan Descartes dan alternatif terhadapnya, yaitu koherentisme. Bab 10 akan memperlihatkan ciri internalistik dalam pandangan Descartes dan pendekatan eksternalis sebagai tanggapan atasnya. Bab 11 akan mengangkat tema epistemologi natural yang dianggap bisa menggantikan epistemologi Descartes. Akhirnya, dalam bab 12, penulis akan menampilkan pandangan yang jauh lebih radikal, di antaranya ialah pandangan yang menolak epistemologi Descartes secara radikal. Secara lebih spesifik, bab ini juga membahas upaya untuk menolak segala bentuk epistemologi dan menganggapnya sebagai suatu miskonsepsi yang harus ditinggalkan.

 Sebelum melangkah lebih jauh pada pembahasannya, BonJour menggarisbawahi motif yang mendasari penolakan terhadap epistemologi Descartes. Pandangan-pandangan yang menolak epistemologi Descartes dalam buku ini yakin bahwa epistemologi Descartes (dalam arti yang paling ultima) dapat membawa orang pada skeptisisme. Namun, akan segera kelihatan bahwa pandangan yang beranggapan demikian bisa jadi merupakan suatu bentuk lain dari skeptisisme.

 Epistemologi Descartes sering disebut sebagai suatu bentuk fondasionalisme. Artinya, dasar justifikasi pengetahuan adalah suatu dasar kokoh yang tidak tergantung pada apapun (yang termaktub dalam cogito). Sementara itu, pandangan koherentisme memandang bahwa dasar justifikasi itu tidak hanya satu, melainkan keseluruhan sistem pengetahuan dan keyakinan yang berelasi satu sama lain. Epistemologi Descartes juga sering disebut sebagai suatu bentuk internalisme. Dengan kata lain, semua persoalan epistemologi harus dilihat dari perspektif kognitif. Sementara itu, kaum eksternalis menawarkan perspektif realibilitas, yaitu perspektif di luar subjek yang mengetahui. Menurut BonJour, pandangan eksternalisme tidak bisa menggantikan pentingnya peran subjek sebagai "orang pertama" dalam kegiatan mengetahui.

 Sementara itu, Willard van Orman Quine (selanjutnya akan disingkat Quine) menyatakan bahwa persoalan epistemologi sebaiknya dijadikan salah satu cabang dari ilmu psikologi. Dengan kata lain, persoalan justifikasi pengetahuan (persoalan normatif dan evaluatif dari pengetahuan) menjadi tidak relevan. Persoalan yang menurut Quine lebih penting adalah bagaimana pengetahuan dan keyakinan itu terbentuk. Quine menulis sebuah risalah bertajuk "Epistemology Naturalized" untuk mengajukan skema input-output dalam proses mengetahui. Menurut Quine, epistemologi dalam pengertian tersebut pada prinsipnya mampu mengatasi persoalan skeptisisme.

 Bagi Bonjour, kendati pemikiran Quine memberi sumbangan dalam diskusi epistemologis, argumen epistemologi natural ala Quine memiliki tiga cacat mendasar. Pertama, argumennya tidak bisa menyediakan suatu alternatif epistemologi. Kedua, tidak ada alasan yang cukup memadai tentang pentingnya epistemologi "di-natural-kan". Ketiga, Quine mengabaikan peran aspek a priori dalam kegiatan mengetahui.

 Pada bab terakhir, BonJour menguraikan persoalan skeptisisme. Salah satu persoalan yang diajukan berkaitan dengan hal ini adalah penolakan Rorty terhadap epistemologi. Menurut Rorty, pendekatan epistemologi Cartesian amat menggantungkan diri pada "asumsi-asumsi" yang hanya bersifat opsional dan karena itu harus ditinggalkan. Dua di antaranya adalah: 1) kesadaran "terberi"; 2) kebenaran yang "jelas dalam dirinya sendiri". Sama seperti Quine, Rorty tidak bisa membedakan antara justifikasi a priori secara umum dengan sifat "analisitas" dari kaum empiris-moderat). Rorty berpendapat bahwa pikiran hanyalah  "cermin" yang memantulkan realitas.

Pandangan-pandangan di atas juga berupaya menyediakan alternatif bagi epistemologi Cartesian untuk menghadapi jebakan skeptisisme. Namun, BonJour berpendapat bahwa kontekstualisme, pragmatisme, maupun penolakan Rorty atas epistemologi tidak menghadapi skeptisisme melainkan menghindarinya. Menurutnya, manusia memiliki alasan yang baik untuk memegang keyakinan-keyakinan penting dalam hidupnya. Meskipun keyakinan-keyakinan tersebut tidak mudah untuk dipertahankan, sejarah perkembangan epistemologi menunjukkan bahwa belum ada pengganti yang cukup memadai bagi alasan yang baik itu.

 BonJour menunjukkan bahwa upaya untuk menghindari  skeptisisme hanya akan memadai bila semakin dekat dengan pendekatan Cartesian. Meskipun pembelaan semacam itu masih belum jelas, namun pada saat yang sama pula belum ada pendekatan yang cukup memuaskan untuk menjadi alternatif yang memadai.

 Tanggapan Kritis

 Dalam bagian pertama, BonJour menilai bahwa epistemologi Cartesian merupakan pendekatan yang dapat dijadikan titik awal untuk melihat persoalan epistemologi secara umum. Bagian ini  memperlihatkan bahwa epistemologi Cartesian bukannya tanpa kelemahan. Solusi yang diberikan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut masih perlu dielaborasi lebih lanjut lagi. Sebab, pandangan Cartesian yang paling optimistik sekalipun masih belum bisa sepenuhnya menjawab tantangan itu.

 Pada bagian kedua, BonJour berkeyakinan bahwa semua alternatif tidak bisa menggantikan epistemologi Cartesian sama sekali. Sebab, upaya apapun yang digunakan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh epistemologi Descartes hanya akan menuntun kita pada posisi yang lebih sulit dipertahankan.

 Selain itu, kini dikenal pula semacam "aliran" dalam epistemologi . Ada yang namanya virtue epistemologi (persoalan epistemologi semestinya membatasi diri pada persoalan tertentu, misalnya pemahaman, keteguhan intelektual, keterbukaan pikiran, dsb). Ada pula epistemologi sosial (mengkaji bagaimana pengetahuan diciptakan dan disebarluaskan). Selain itu, ada juga epistemologi feminis. Bagi BonJour, pendekatan-pendekatan ini juga tidak bisa menjadi alternatif yang memadai bagi pendekatan tradisional Descartes. Malahan semua itu dapat melengkapi apa yang kurang pada epistemologi Descartes.

 

Sekarang kita beralih pada kesimpulan berikutnya dari Bonjour. Menurutnya, kritik atas epistemologi Descartes mulai dari Hume, Kant, hingga Quine dan Rorty selalu melihat epistemologi Descartes sebagai suatu being. Bagi BonJour, epistemologi Descartes diperlakukan sebagai "ontologi" dan bukannya suatu epistemologi. Epistemologi Descartes menjadi kurang berkembang karena para pemikir selalu berupaya menghindari topik sentral yang ada pada jantungnya. Mereka semua langsung mengerahkan segala daya upaya untuk menyediakan "alternatif" bagi epistemologi Descartes sebelum mengkajinya dengan saksama.

Menurut saya (penulis laporan buku ini), BonJour tidak hanya memaparkan suatu pengantar atas epistemologi, tetapi juga melatih para pembacanya untuk berpikir secara dialektis. Sejak awal, BonJour sudah mengingatkan para pembaca untuk tidak terburu-buru memberi evaluasi atas suatu pandangan sebelum memahami pandangan itu dengan baik. Selain itu, BonJour juga menyediakan ruang agar para pembaca bisa ikut dalam seluruh proses dialektika tersebut.

 BonJour sendiri masih yakin bahwa epistemologi Descartes -- di samping segala kekurangannya -- merupakan titik pijak yang sangat penting. Hikmah penting dari epistemologi Descartes adalah kenyataan bahwa sebenarnya akal budi manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui. [4] Kegiatan mengetahui yang termaktub dalam cogito merupakan bukti yang jelas bagi keberadaan aku atau subjek yang menyatakan putusan tersebut.

Pembaca buku ini diberikan kebebasan untuk setuju atau tidak setuju dengan keyakinan yang dianut oleh BonJour. Saya sendiri melihat bahwa persoalan epistemologi Descartes bukanlah suatu persoalan yang mudah untuk dikaji. Namun, saya setuju dengan cara BonJour memberi tempat yang cukup luas untuk membahas hal itu. Banyak argumen yang ia gunakan dalam buku ini menjadi ibarat benih. BonJour -- dan juga saya -- berharap bahwa benih-benih itu bisa tumbuh dalam benak pembaca demi perkembangan diskusi epistemologi selanjutnya.

Sumber Pendukung:

 Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun