Â
- Konsep pengetahuan. Bagi Descartes, pengetahuan yang benar itu hanyalah pengetahuan yang tidak dapat salah dan dijamin kebenarannya. Pengetahuan adalah suatu keyakinan yang dipegang tanpa ragu. Pengetahuan seperti itu dijamin kebenarannya oleh rasio yang yang dimiliki oleh manusia (cogito).
- Basis a priori atau rasional dari pengetahuan. Descartes mengkalim adanya ide-ide yang jelas dan terpilah-pilah yang diperoleh berkat natural light. Klaim-klaim yang diperoleh berkat terang rasio itu jelas dalam dirinya sendiri dan menjadi fondasi awal bagi pengetahuan.
- Basis empiris pengetahuan. Menurut Descartes, isi kesadaran kita sama pastinya dengan eksistensi kita.
- Inferensi (penyimpulan) pada dunia eksternal (material). Semua yang kita ketahui tentang dunia diperoleh melalui penyimpulan dari dua elemen mendasar di atas, yaitu basis a priori dan empiris. Penyimpulan itu hanya menjelaskan ide-ide yang ada dalam kesadaran kita yang jelas dalam dirinya sendiri.
Â
Bagian Kedua
 Meskipun epistemologi Descartes menyediakan sumbangan berharga bagi perkembangan epistemologi tradisional, dalam perkembangan selanjutnya banyak pemikir memberikan tanggapan atasnya. Tanggapan-tanggapan tersebut berupaya menunjukkan bahwa epistemologi Descartes dalam batas-batas tertentu mengandung kekeliruan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh Descartes (yakni keraguan metodis) terlalu berbelit dan karena itu dapat disederhanakan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
 Dalam bagian kedua ini, BonJour akan menunjukkan argumen-argumen anti-Cartesian, mulai dari yang kurang meyakinkan hingga yang paling radikal. Bab 9 akan memperlihatkan ciri fondasionalisme dalam pandangan Descartes dan alternatif terhadapnya, yaitu koherentisme. Bab 10 akan memperlihatkan ciri internalistik dalam pandangan Descartes dan pendekatan eksternalis sebagai tanggapan atasnya. Bab 11 akan mengangkat tema epistemologi natural yang dianggap bisa menggantikan epistemologi Descartes. Akhirnya, dalam bab 12, penulis akan menampilkan pandangan yang jauh lebih radikal, di antaranya ialah pandangan yang menolak epistemologi Descartes secara radikal. Secara lebih spesifik, bab ini juga membahas upaya untuk menolak segala bentuk epistemologi dan menganggapnya sebagai suatu miskonsepsi yang harus ditinggalkan.
 Sebelum melangkah lebih jauh pada pembahasannya, BonJour menggarisbawahi motif yang mendasari penolakan terhadap epistemologi Descartes. Pandangan-pandangan yang menolak epistemologi Descartes dalam buku ini yakin bahwa epistemologi Descartes (dalam arti yang paling ultima) dapat membawa orang pada skeptisisme. Namun, akan segera kelihatan bahwa pandangan yang beranggapan demikian bisa jadi merupakan suatu bentuk lain dari skeptisisme.
 Epistemologi Descartes sering disebut sebagai suatu bentuk fondasionalisme. Artinya, dasar justifikasi pengetahuan adalah suatu dasar kokoh yang tidak tergantung pada apapun (yang termaktub dalam cogito). Sementara itu, pandangan koherentisme memandang bahwa dasar justifikasi itu tidak hanya satu, melainkan keseluruhan sistem pengetahuan dan keyakinan yang berelasi satu sama lain. Epistemologi Descartes juga sering disebut sebagai suatu bentuk internalisme. Dengan kata lain, semua persoalan epistemologi harus dilihat dari perspektif kognitif. Sementara itu, kaum eksternalis menawarkan perspektif realibilitas, yaitu perspektif di luar subjek yang mengetahui. Menurut BonJour, pandangan eksternalisme tidak bisa menggantikan pentingnya peran subjek sebagai "orang pertama" dalam kegiatan mengetahui.
 Sementara itu, Willard van Orman Quine (selanjutnya akan disingkat Quine) menyatakan bahwa persoalan epistemologi sebaiknya dijadikan salah satu cabang dari ilmu psikologi. Dengan kata lain, persoalan justifikasi pengetahuan (persoalan normatif dan evaluatif dari pengetahuan) menjadi tidak relevan. Persoalan yang menurut Quine lebih penting adalah bagaimana pengetahuan dan keyakinan itu terbentuk. Quine menulis sebuah risalah bertajuk "Epistemology Naturalized" untuk mengajukan skema input-output dalam proses mengetahui. Menurut Quine, epistemologi dalam pengertian tersebut pada prinsipnya mampu mengatasi persoalan skeptisisme.
 Bagi Bonjour, kendati pemikiran Quine memberi sumbangan dalam diskusi epistemologis, argumen epistemologi natural ala Quine memiliki tiga cacat mendasar. Pertama, argumennya tidak bisa menyediakan suatu alternatif epistemologi. Kedua, tidak ada alasan yang cukup memadai tentang pentingnya epistemologi "di-natural-kan". Ketiga, Quine mengabaikan peran aspek a priori dalam kegiatan mengetahui.
 Pada bab terakhir, BonJour menguraikan persoalan skeptisisme. Salah satu persoalan yang diajukan berkaitan dengan hal ini adalah penolakan Rorty terhadap epistemologi. Menurut Rorty, pendekatan epistemologi Cartesian amat menggantungkan diri pada "asumsi-asumsi" yang hanya bersifat opsional dan karena itu harus ditinggalkan. Dua di antaranya adalah: 1) kesadaran "terberi"; 2) kebenaran yang "jelas dalam dirinya sendiri". Sama seperti Quine, Rorty tidak bisa membedakan antara justifikasi a priori secara umum dengan sifat "analisitas" dari kaum empiris-moderat). Rorty berpendapat bahwa pikiran hanyalah  "cermin" yang memantulkan realitas.
Pandangan-pandangan di atas juga berupaya menyediakan alternatif bagi epistemologi Cartesian untuk menghadapi jebakan skeptisisme. Namun, BonJour berpendapat bahwa kontekstualisme, pragmatisme, maupun penolakan Rorty atas epistemologi tidak menghadapi skeptisisme melainkan menghindarinya. Menurutnya, manusia memiliki alasan yang baik untuk memegang keyakinan-keyakinan penting dalam hidupnya. Meskipun keyakinan-keyakinan tersebut tidak mudah untuk dipertahankan, sejarah perkembangan epistemologi menunjukkan bahwa belum ada pengganti yang cukup memadai bagi alasan yang baik itu.
 BonJour menunjukkan bahwa upaya untuk menghindari  skeptisisme hanya akan memadai bila semakin dekat dengan pendekatan Cartesian. Meskipun pembelaan semacam itu masih belum jelas, namun pada saat yang sama pula belum ada pendekatan yang cukup memuaskan untuk menjadi alternatif yang memadai.