Pada bab kedua, BonJour menampilkan prinsip-prinsip dan asumsi Descartes dalam karyanya yang berjudul Meditations on First Philosophy (1641). Menurutnya, ada beberapa asumsi mendasar dalam pandangan epistemologi Descartes. Salah satu di antaranya sering dinamakan "skeptisisme metodis". Jika semua keyakinan kita disadari sebagai sesuatu yang keliru, pantaslah kita mencari kekeliruan yang terdapat dalam keyakinan-keyakinan itu. Namun kita akan segera menyadari bahwa keyakinan itu bisa saja berdiri di atas pengandaian lain yang juga keliru. Begitu seterusnya.
 Descartes mengajukan pandangan yang lebih radikal daripada pandangan di atas, yakni menangguhkan untuk sementara waktu segala pendapat, pandangan maupun opini yang dinilai "tidak benar-benar pasti". Descartes menyadari bahwa ada banyak jenis keyakinan kita yang keliru. Bagi Descartes, tidak perlulah kita mengecek semua kekeliruan itu satu per satu. Cukuplah bagi kita untuk fokus pada apa yang ia sebut hipotesis "setan yang licik".
 Seandainya ada setan yang licik dan sangat kuat yang berusaha keras untuk menipu kita, kita bisa saja menganggap segala sesuatu di sekitar kita sebagai angan-angan belaka. Hal ini tidak berarti bahwa Descartes menganggap setan seperti itu ada. Sebab, bisa saja setan itu juga masuk dalam lingkup keragu-raguan kita.
Â
Intinya adalah, bagi Descartes, bisa saja kita tidak tahu dengan pasti pada apapun. Namun harus ada satu hal yang menjadi dasar untuk meragukan segala sesuatu. Hal ini termaktub dalam adagiumnya yang terkenal: cogito ergo sum (I think, therefore I am), "Aku berpikir maka aku ada." Menurut BonJour, Descartes sampai pada keyakinan bahwa eksistensinya tidak dapat diragukan, atau dengan kata lain, benar. Ada kesan bahwa skeptisisme metodis Cartesian akan tiba pada suatu bentuk pengetahuan yang bebas-salah.[2]
 Bagi Descartes, manusia merupakan "suatu pengada yang berpikir, (yaitu) pikiran, intelek, pengertian, atau rasio". Pengada pemikir ini, "Si Aku" ini tidak sama dengan pengada peragu tadi. Klaim ini sangat penting bagi keseluruhan argumentasi dalam buku ini. Apa yang membuat "cogito" tidak bisa lagi ditipu oleh "si iblis licik" tadi adalah apa yang oleh BonJour disebut indubitability (ke-tidak-dapat-ragu-an).[3] Klaim ini menjadi basis untuk merekonstruksi epistemologi Descartes.Â
 Melalui skeptisisme metodisnya, Descartes tidak meragukan semua keyakinan. Ada dua keyakinan yang tidak bisa diragukan lagi, yaitu: (1) keyakinan bahwa ia ada sebagai pengada berpikir; dan (2) keyakinan-keyakinan lainnya tentang status pikirannya. Bagi Descartes, keyakinan itu menjadi premis-premis yang darinya dapat ditarik kesimpulan tentang dunia di luar pikiran. Ide tentang Tuhan merupakan salah satu ide yang disebabkan oleh Tuhan sendiri yang niscaya ada. Eksistensi Tuhan ini diandaikan oleh Descartes dalam upayanya merekonstruksi pengetahuan lain di luar pikiran. Menurut Descates, jalan penalaran seperti itu akan menuntun kita pada pengetahuan yang benar tentang realitas di luar pikiran.Â
Bagi Descartes, Tuhan tidak mungkin menipu kita dengan memberikan kita keyakinan-keyakinan yang keliru. Namun Tuhan yang dipahami Descartes bukanlah Tuhan dalam arti personal, melainkan sebagai pengada yang sempurna dan tak terbatas. Dengan adanya Tuhan, pengetahuan kita tentang realitas materiil tidak mungkin salah.
Bagaimana epistemologi Descartes menjelaskan proses memperoleh pengetahuan? Pertama, pencerapan inderawi tidak bisa menjamin bahwa "semua benda material yang saya cerap itu demikian adanya". Kedua, kita bisa mengetahui benda-benda meterial berkat adanya apa yang oleh John Locke dinamakan "kualitas-kualitas primer" (kualitas matematis seperti ukuran, bentuk, gerakan). Ketiga, untuk kualitas-kualitas sekunder seperti warna, rasa dan bau, kita dapat mengandaikan bahwa semua itu bisa diketahui berkat adanya persepsi lain yang sesuai. Keempat, Â persepsi kita hanya berfungsi menentukan apakah suatu benda/makhluk berbahaya bagi kita atau tidak. Persepsi kita tidak bisa menentukan esensi semua itu.
Descartes menyimpulkan semua itu dengan mengatakan bahwa kita tidak boleh ragu akan adanya "kebenaran tertentu" dalam persepsi kita. Selain itu, Tuhan pasti akan memberikan kita suatu cara yang memampukan kita memperbaiki kesalahan persepsi sejauh Ia tidak mungkin menipu kita dengan opini-opini yang salah.
 Pada bagian akhir bab 2, BonJour meringkaskan prinsip-prinsip epistemologi Descartes: