Sementara sumber daya alam yang dibutuhkan oleh teknologi tidak tak terbatas, masalah utamanya adalah ideologi obsesi untuk meningkatkan kekuatan manusia di luar batas, membuat alam menjadi semata-mata sumber daya. Paus menilai bahwa teknokrasi memberi kekuasaan yang besar kepada sebagian kecil manusia, yang dapat mengancam seluruh umat manusia dan dunia.
Paus Fransiskus mengajak untuk me-rethink penggunaan kekuatan manusia, menyadari bahwa peningkatan kekuatan tersebut tidak selalu berarti kemajuan bagi umat manusia. Ia mencatat bahwa keberhasilan teknologi seringkali disertai dengan risiko serius, seperti penggunaan teknologi untuk memusnahkan populasi dan merusak etnis.
Paus menekankan perlunya memahami bahwa dunia bukanlah objek eksploitasi atau ambisi tak terbatas. Sebaliknya, manusia harus diakui sebagai bagian dari alam, berinteraksi dengan lingkungan, dan memiliki tanggung jawab terhadapnya. Ia mengingatkan bahwa paradigma teknokratis telah merusak hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan, dan bahwa perlu melampaui paradigma tersebut.
Pesan utama untuk kaum muda adalah agar mereka menyadari bahwa kekuatan dan kemajuan teknologi yang mereka hasilkan juga dapat mengancam keberlangsungan hidup mereka sendiri. Paus mengajak generasi muda untuk memiliki kejernihan dan kejujuran dalam mengenali bahwa kekuatan dan kemajuan yang dihasilkan bisa menjadi ancaman bagi manusia.
Komitmen berkelanjutan yang disarankan bagi kaum muda adalah untuk merenungkan kembali makna kekuatan manusia, memahami batasannya, dan menghindari terjebak dalam paradigma teknokratis yang merugikan. Paus juga menyoroti perlunya memiliki etika, budaya, dan spiritualitas yang mampu menetapkan batas dan mengajarkan kendali diri yang jelas.
Selain itu, Paus mengajak kaum muda untuk tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tetapi juga merenungkan makna hidup mereka, kontribusi terhadap lingkungan, dan warisan yang akan mereka tinggalkan bagi anak cucu mereka.
4. Politik Dunia Lagi Lemah, Paus Bilang Kita Harus Bangkit! Fratelli Tutti Jadi Kunci!Â
Paus Fransiskus menyoroti kelemahan politik internasional dan mengusulkan rekonfigurasi multilateralisme sebagai solusi. Ia menekankan bahwa kemajuan yang kokoh dan berkelanjutan memerlukan preferensi terhadap perjanjian multilateral antar negara. Paus juga mengingatkan bahwa krisis global, seperti krisis keuangan 2007-2008 dan pandemi Covid-19, kerap disia-siakan dan malah memperkuat individualisme serta memberikan keleluasaan kepada pihak berkuasa.
Paus Fransiskus mengajak untuk merekonfigurasi multilateralisme, mempertimbangkan situasi dunia yang baru. Ia mencatat bahwa kelompok dan organisasi dalam masyarakat sipil dapat membantu mengatasi kelemahan komunitas internasional. Selain itu, Paus Fransiskus menyoroti bahwa globalisasi dapat mendukung pertukaran budaya spontan dan integrasi antar bangsa, mendorong munculnya multilateralisme "dari bawah".
Dalam konteks ini, Paus mengaitkannya dengan sensitivitas baru terhadap yang lebih rentan dan lemah, menekankan pentingnya melindungi martabat manusia di segala kondisi. Ia melihat bahwa multilateralisme harus digunakan untuk menyelesaikan masalah nyata umat manusia, dengan menempatkan etika di atas kepentingan lokal atau kontingensi.
Paus Fransiskus menggarisbawahi pentingnya Encyclical Letter Fratelli Tutti, yang menekankan primasi manusia dan pembelaan terhadap martabatnya. Ia mengajak kaum muda untuk mengakui bahwa kekuatan baru semakin relevan dan mampu memberikan hasil signifikan dalam menyelesaikan masalah konkret, seperti yang terlihat selama pandemi.
Pesan utama untuk kaum muda adalah untuk mendukung multilateralisme yang dapat mengatasi tantangan global dengan memprioritaskan etika dan hak asasi manusia. Paus Fransiskus melihat bahwa kekuatan dan solusi dapat muncul dari berbagai negara, dan bahwa multilateralisme merupakan proses yang tidak dapat dihindari.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya