Pangan, sandang, papan, tak dapat ditawar merupakan kebutuhan pokok manusia. Yang membedakan antar tiap manusia adalah kualitas yang dikonsumsi atau yang digunakan.
Manusia berduit akan memilih pangan, sandang, dan papannya yang lebih layak, lebih bagus, dan lebih berkualitas. Sedangkan manusia dengan duit terbatas maka akan putar otak bagaimana membagi penghasilan dengan kebutuhan.
Papan atau rumah menjadi kebutuhan pokok yang lebih susah untuk dipenuhi oleh manusia bahkan hingga saat ini. Masalah tempat tinggal alias rumah adalah masalah global di banyak negara. Manusia yang semakin banyak tapi lahan semakin sempit hanya salah satu penyebabnya.Â
Rebutan fungsi lahan untuk pertanian, industri, dan fungsi-fungsi lainnya pun tak bisa terhindari. Belum lagi berbicara tentang ketepatgunaan dan efisiensi penggunaan lahan masih tidak direncanakan dengan baik oleh pembuat kebijakan di berbagai negara.
Indonesia salah satunya di mana kebutuhan rumah selalu meningkat tajam sedangkan pasokan tak pernah bisa cukup. Masih banyak masyarakat yang tidak punya kemampuan untuk memperoleh rumah di era sekarang yang entah dengan perhitungan seperti apa harga rumah di sini sangat tinggi bahkan sudah sangat over price dibanding dengan di luar negeri berdasarkan tingkat pendapatan.
Sebagian mungkin masih ingat dengan pernyataan Sophia Latjuba dalam sebuah wawancara di kanal YouTube TS Media bersama Luna Maya yang sempat ramai di media sosial. Sophia mengatakan, "I don't own a house. I think Jakarta is overpriced property. It's not worth it the price. Kok bisa harganya sama dengan di Beverly Hills?"
Sophia tentu tidak mengada-ada, harga rumah di bilangan Menteng, Pondok Indah, Kebayoran Baru, atau Kemang bisa dibilang tak berbeda dengan di kawasan elit Beverly Hills di Los Angeles Amerika sana. Sophia pernah tinggal di LA bersama (mantan) suaminya dulu sebelum bercerai dan pulang kembali ke Indonesia.
Keputusannya tersebut juga didasari bahwa ia bukan tipe orang yang betah berlama-lama di suatu tempat alias bosanan. Sophia memilih untuk menyewa dan mengisi dengan perabot yang dia suka. Setelah dua tahun lalu pindah ke tempat lain untuk berganti suasana dan perabot.Â
Pernyataan Sophia tentang harga properti di Jakarta disetujui oleh pelaku bisnis properti bahkan jika dibandingkan dengan perhitungan harga rumah berdasarkan World Bank Time to Act 2019, harga rumah di Jakarta lebih mahal dibandingkan di New York, London, Bangkok, Singapura, dan Kuala Lumpur.Â
Di Indonesia, Jakarta adalah pusat segala-galanya yang dilihat daerah. Jakarta akan selalu menjadi tolok ukur. Tak heran harga rumah di daerah pun tak kalah tingginya jika dibandingkan dengan harga dasar.
Entah bagaimana menghitungnya, harga rumah sederhana di pinggiran Jakarta seperti Bogor, Bekasi, atau Tangsel tak beda jauh dengan harga rumah di pinggiran Surabaya atau Jogjakarta.
Silakan cek harga rumah di perumahan baik real estate maupun subsidi untuk ukuran 36 meter persegi di Pulau Jawa bisa dibilang semuanya hampir rata. Harga di bawah 200 juta di perumahan sudah cukup sulit didapat bahkan di pelosok sekalipun.Â
Sebagai masyarakat awam melihat bahwa semua ini bukan hanya bisnis properti tapi juga ada penguasaan tanah yang tersistem dan akhirnya terorganisir dari kalangan berduit. "Penggelembungan" harga tanah dan properti atas nama investasi seakan jadi magnet menarik kalangan kelas menengah atas untuk menyimpan dananya melalui properti.
Sehingga ada banyak properti baik rumah tapak maupun apartemen yang dimiliki oleh orang kaya bukan untuk dipakai tapi untuk investasi. Disewakan atau dibiarkan saja dengan harapan beberapa tahun lagi harga sudah berlipat. Rakyat kebanyakan akan tetap kesulitan mendapatkan rumah. Saat demand sudah tinggi karena kebutuhan ditambah dengan demand karena investasi membuat harga akan terus melonjak.
Sedangkan di sisi lain lahan negara berupa hutan yang harusnya sebagai kekayaan negara yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat malah diberikan hak usaha dan pengelolaan pada pengusaha pemilik bisnis sawit atau tambang dengan harga yang cukup murah.Â
Sehingga masalah perumahan dan cita-cita pemerataan papan pagi seluruh rakyat tidak akan pernah selesai. Supply dan demand akan selalu timpang. Bahkan diperkirakan generasi Z akan makin kesulitan memiliki properti karena sudah dikuasai oleh generasi baby boomers.Â
Generasi baby boomers adalah kelahiran 1946-1964 yang dengan jabatan di swasta atau pun di pemerintahan adalah generasi yang memiliki pengaruh di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik dan sudah menjadi generasi kaya sebagai pemburu properti sebagai investasi.Â
Rakyat hanya bisa pasrah mencari rumah yang sangat jauh dari tempatnya bekerja atau beraktivitas. Generasi milenial dan generasi Z terpaksa ngontrak karena rumah tak lagi terjangkau dengan penghasilan mereka. Energi dan waktu banyak terbuang di jalan yang sebenarnya tidak perlu.Â
Dalam jangka panjang rakyat akan mengalami kelelahan fisik dan psikis karena seberat dan sekuat apa pun bekerja tak akan mampu memperoleh kesejahteraan yang diimpikan karena sumber-sumbernya sudah dikuasai "generasi penumpuk harta" atas nama investasi.Â
Beruntung yang keluarganya masih memiliki tanah lalu membangun rumah sendiri. Dengan bertambahnya penduduk tentu kebutuhan papan juga akan semakin besar tapi jika aturan main tidak lagi bisa mengakomodasi realita dan tantangan yang ada di masa depan krisis lahan akan semakin membesar.Â
Krisis lahan, krisis perumahan, adalah dua hal yang akan terus terjadi dan penambahannya akan berlipat. Perlu keberanian dan kebijakan yang extra ordinary bila negara masih berpihak pada rakyat kebanyakan. Rencana tata kota rumah susun di perkotaan bukan hanya untuk apartemen kelas menengah dan atas, sudah harus dipikirkan bahkan di kota-kota tingkat dua.Â
Perencanaan yang terstruktur dan komprehensif akan selalu menjadi kesulitan dari para pembuat kebijakan jika terbelenggu oleh kontrak politik atau apapun penyebabnya sehingga pembangunan hanya bersifat jangka pendek dan temporer selama masih menjabat.Â
Program Rumah Swadaya yang digagas Kementerian PUPR sedikit memberi angin segar minimal bagi masyarakat yang memerlukan renovasi atau perbaikan rumahnya. Meskipun jumlahnya relatif kecil tapi setidaknya dapat digunakan untuk renovasi yang vital di rumah sebagian masyarakat untuk meningkatkan kebersihan dan kelayakan seperti kamar mandi dan WC yang sehat, dapur yang bersih, atau bagian depan rumah.Â
Program yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat yang membutuhkan layanan ini. Apakah bentuk bantuannya berupa hibah gratis, pinjaman tanpa bunga, atau pinjaman berbunga lunak.Â
Program yang sudah baik dibuat hendaknya dilanjutkan dengan pelaksanaan yang baik pula agar tepat sasaran yang memberi dampak positif bagi masyarakat penerimanya. Untuk itu jajaran Kementerian PUPR harus berkoordinasi dengan bank atau lembaga penyalur dan pihak pelaksana di lapangan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan bagi penerima.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H