Di Indonesia, Jakarta adalah pusat segala-galanya yang dilihat daerah. Jakarta akan selalu menjadi tolok ukur. Tak heran harga rumah di daerah pun tak kalah tingginya jika dibandingkan dengan harga dasar.
Entah bagaimana menghitungnya, harga rumah sederhana di pinggiran Jakarta seperti Bogor, Bekasi, atau Tangsel tak beda jauh dengan harga rumah di pinggiran Surabaya atau Jogjakarta.
Silakan cek harga rumah di perumahan baik real estate maupun subsidi untuk ukuran 36 meter persegi di Pulau Jawa bisa dibilang semuanya hampir rata. Harga di bawah 200 juta di perumahan sudah cukup sulit didapat bahkan di pelosok sekalipun.Â
Sebagai masyarakat awam melihat bahwa semua ini bukan hanya bisnis properti tapi juga ada penguasaan tanah yang tersistem dan akhirnya terorganisir dari kalangan berduit. "Penggelembungan" harga tanah dan properti atas nama investasi seakan jadi magnet menarik kalangan kelas menengah atas untuk menyimpan dananya melalui properti.
Sehingga ada banyak properti baik rumah tapak maupun apartemen yang dimiliki oleh orang kaya bukan untuk dipakai tapi untuk investasi. Disewakan atau dibiarkan saja dengan harapan beberapa tahun lagi harga sudah berlipat. Rakyat kebanyakan akan tetap kesulitan mendapatkan rumah. Saat demand sudah tinggi karena kebutuhan ditambah dengan demand karena investasi membuat harga akan terus melonjak.
Sedangkan di sisi lain lahan negara berupa hutan yang harusnya sebagai kekayaan negara yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat malah diberikan hak usaha dan pengelolaan pada pengusaha pemilik bisnis sawit atau tambang dengan harga yang cukup murah.Â
Sehingga masalah perumahan dan cita-cita pemerataan papan pagi seluruh rakyat tidak akan pernah selesai. Supply dan demand akan selalu timpang. Bahkan diperkirakan generasi Z akan makin kesulitan memiliki properti karena sudah dikuasai oleh generasi baby boomers.Â
Generasi baby boomers adalah kelahiran 1946-1964 yang dengan jabatan di swasta atau pun di pemerintahan adalah generasi yang memiliki pengaruh di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik dan sudah menjadi generasi kaya sebagai pemburu properti sebagai investasi.Â
Rakyat hanya bisa pasrah mencari rumah yang sangat jauh dari tempatnya bekerja atau beraktivitas. Generasi milenial dan generasi Z terpaksa ngontrak karena rumah tak lagi terjangkau dengan penghasilan mereka. Energi dan waktu banyak terbuang di jalan yang sebenarnya tidak perlu.Â
Dalam jangka panjang rakyat akan mengalami kelelahan fisik dan psikis karena seberat dan sekuat apa pun bekerja tak akan mampu memperoleh kesejahteraan yang diimpikan karena sumber-sumbernya sudah dikuasai "generasi penumpuk harta" atas nama investasi.Â
Beruntung yang keluarganya masih memiliki tanah lalu membangun rumah sendiri. Dengan bertambahnya penduduk tentu kebutuhan papan juga akan semakin besar tapi jika aturan main tidak lagi bisa mengakomodasi realita dan tantangan yang ada di masa depan krisis lahan akan semakin membesar.Â