Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekeping Surga untuk Bumi

16 Agustus 2020   09:36 Diperbarui: 16 Agustus 2020   09:33 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: pinterest/Matthew Wilson

Belakangan Bumi memilih diam daripada berkonfrontasi dengan Mentari. Sering kali mereka berdebat dan ujungnya berakhir dengan dirinya yang merasa bersalah karena telah menyakiti Mentari. Mengalah terus menerus ternyata melelahkan. Menjalani hubungan yang jomplang ternyata berat. Mempunyai pasangan tapi berjuang sendirian itu menyedihkan.

Bumi bertekad untuk menyelesaikan semuanya. Penyangkalan bahwa hubungannya dengan Mentari baik-baik saja harus segera diakhiri. Hidupnya masih panjang. Ia ingin merasakan berjuta pengalaman yang akan memperkaya jiwanya. Ia ingin melihat sebanyak mungkin tempat. Indonesia sesungguhnya sangat luas. Ia ingin mengenalnya. Saudara-saudaranya di berbagai pulau. Menyesap airnya, menghirup udaranya, menapaki tanahnya. 

***

Bumi teringat selembar foto dari ibunya. Foto lama yang sudah lusuh itu, ada digenggamannya. Foto yang mengingatkan kembali akan mimpi, cita-cita, harapan, doa-doanya dulu. Foto saat dirinya dipeluk ayahnya saat pertama kali masuk sekolah. Ibu yang diam-diam memotretnya. Bumi terdiam dalam. Merenungi lagi kisah hidupnya. Ia ingin Mentari seperti ibunya. Ia ingin perempuan yang mendampinginya seperti ibunya. Ibu yang selalu mendukung ayah. Ibu yang berjuang bersama ayah dalam suka dan duka. Bumi kembali terkenang masa kecilnya. 

Selama lima tahun pertama ibu sering ditinggal ayah bertugas ke berbagai daerah di Indonesia. Sudah menjadi risiko ibu debagai istri seorang tentara. Bertemu tiga bulan sekali bahkan tak jarang enam bulan sekali sampai Bumi berumur lima tahun. Bahkan saat Bumi lahir, ayahnya tidak ada di sampingnya. Ayah baru bisa menemui Bumi saat berusia empat bulan lalu pergi bertugas lagi. Begitu seterusnya.

Suatu hari saat ayah Bumi sudah ditugaskan di Jakarta dan mereka tidak tinggal lagi di rumah kakek di kampung tapi di rumah sendiri di pinggiran Jakarta. Bumi baru masuk sekolah kala itu. Ayah berjongkok merapikan seragam putih merah baru yang dikenakan Bumi. Ayah menatap Bumi dalam-dalam, penuh keharuan juga kebanggaan. Ayah lalu menepuk-nepuk pundak Bumi pelan.

"Kamu boleh jadi apa saja kalau besar nanti, Nak. Gantung cita-citamu setinggi langit. Lihatlah dunia. Bepergianlah. Tapi jangan pernah lupakan tanah airmu. Ayah dan ibu akan selalu mendoakan dan mendukungmu."

Saat itu Bumi kecil tak terlalu paham apa yang dipesankan ayahnya. Bumi hanya mengangguk mantap seakan ingin patuh dan membahagiakan ayahnya. Pesan itu kembali diberikan ayahnya akan pergi bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian di Lebanon saat Bumi sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di pinggir lapangan udara Halim Perdana Kusuma, Bumi memeluk ayahnya dengan erat setelah ayahnya menambahkan pesan.

"Jaga ibu baik-baik..."

Hari itu menjadi hari terakhir Bumi melihat ayahnya. Enam bulan kemudian, ayahnya pulang dalam keadaan gugur dalam bertugas.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun