Dalam praktiknya, data menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana mati di Indonesia belum memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan angka peredaran narkotika. Misalnya, meskipun eksekusi mati terhadap terpidana narkotika telah dilakukan dalam beberapa kasus besar, seperti kasus Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Bali Nine), peredaran narkotika tetap meningkat di Indonesia. Studi lain juga menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana narkotika sering kali merupakan bagian dari jaringan terorganisasi yang sulit dihentikan hanya melalui eksekusi pelaku individu. Dengan demikian, penerapan pidana mati menjadi bahan diskusi yang kompleks, terutama ketika dikaitkan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan efektivitasnya sebagai instrumen pencegahan kejahatan.
Alasan lain yang muncul adalah adanya potensi ketidakadilan dalam proses peradilan. Laporan dari Amnesty International menunjukkan bahwa beberapa terpidana mati di Indonesia tidak mendapatkan proses peradilan yang transparan dan adil, seperti tidak adanya penerjemah yang mampu bagi pelaku asing atau tidak terpenuhinya hak pembelaan yang layak bagi tersangka. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan etis mengenai keadilan dalam penerapan pidana. mati di Indonesia, terlebih jika diterapkan dalam kasus narkotika.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menuliskan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
- Bagaimana ketentuan pidana mati dalam tindak pidana narkotika di Indonesia ditinjau dari perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia?
- Apakah pidana mati efektif dalam mencegah tindak pidana narkotika di Indonesia?
- Kebijakan alternatif apa yang dapat diterapkan untuk menanggulangi peredaran narkotika secara lebih efektif dan humanis?
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan yuridis normatif. Metode ini berfokus pada analisis terhadap sumber data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, dokumen hukum internasional, laporan lembaga resmi, artikel jurnal, dan buku yang relevan. Sumber primer meliputi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Sumber sekunder mencakup publikasi dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Amnesty International, serta data statistik kasus narkotika di Indonesia.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Proses analisis meliputi identifikasi dan klasifikasi data terkait penerapan pidana mati, tinjauan hukum nasional dan internasional, serta evaluasi efektivitas kebijakan ini dalam mencegah tindak pidana narkotika. Pendekatan penelitian melibatkan analisis yuridis normatif untuk mengkaji dasar hukum pidana mati, pendekatan HAM untuk menilai kesesuaiannya dengan prinsip hak hidup, serta kajian empiris tidak langsung melalui laporan dan data pustaka guna mengevaluasi dampaknya terhadap peredaran narkotika.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
- Penerapan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Narkotika di Indonesia dari Perspektif Hukum dan HAM
- Pidana mati dalam kasus tindak pidana narkotika di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 114 ayat (2) menyatakan, "Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap narkotika golongan I yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau lebih dari 5.000 (lima ribu) butir, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun". Penerapan hukuman ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan narkotika yang dianggap merusak tatanan sosial dan generasi penerus bangsa.
- Dari perspektif HAM, pidana mati merupakan isu yang kontroversial. Prinsip hak hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Namun, hak ini tidak bersifat absolut, karena Indonesia juga memberikan ruang pada pidana mati dalam kasus-kasus tertentu, seperti narkotika, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal ini sejalan dengan prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana, yang menekankan bahwa beratnya hukuman harus sebanding dengan dampak kejahatan yang dilakukan.
- Kritik terhadap penerapan pidana mati dalam perspektif HAM sering mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang mendorong penghapusan hukuman mati. Namun, Pasal 6 ICCPR memberikan kelonggaran bahwa hukuman mati dapat diberlakukan dalam kasus kejahatan yang sangat serius, selama proses peradilannya sesuai dengan standar internasional. Dalam hal ini, Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa kejahatan narkotika, terutama yang melibatkan jaringan besar, termasuk kategori kejahatan berat yang membahayakan keamanan negara dan generasi bangsa.
- Prinsip utilitarianisme dalam hukum pidana juga mendukung penerapan pidana mati sebagai sarana untuk melindungi masyarakat luas dari dampak negatif kejahatan narkotika. Teori ini menekankan bahwa hukuman harus membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, termasuk pencegahan kejahatan serupa di masa mendatang. Dengan mempertimbangkan dampak luas kejahatan narkotika, pidana mati dipandang sebagai kebijakan yang sah dalam konteks perlindungan masyarakat Indonesia.
- Dengan demikian, meskipun ada pandangan yang menentang hukuman mati, Indonesia tetap berpegang pada prinsip kedaulatan hukum nasional yang memberikan ruang untuk pidana mati dalam kasus tertentu. Dalam konteks narkotika, hukuman ini bertujuan tidak hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan yang meluas dan sistemik.
- Efektivitas Pidana Mati dalam Mencegah Tindak Pidana Narkotika di Indonesia
- Efektivitas pidana mati dalam mencegah tindak pidana narkotika tetap menjadi perdebatan, tetapi dapat dilihat bahwa hukuman ini memiliki peran penting sebagai alat perlindungan masyarakat. Dalam banyak kasus, pelaku tindak pidana narkotika yang dihukum mati adalah pengedar besar atau anggota jaringan internasional yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori deterrence, yang menyatakan bahwa hukuman berat dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.
- Namun, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa meskipun pidana mati diterapkan, peredaran narkotika masih tinggi. Sebagai contoh, eksekusi terhadap Freddy Budiman pada 2016 tidak menghentikan jaringan yang dia operasikan. Fakta ini mengindikasikan bahwa pemberantasan narkotika membutuhkan pendekatan yang lebih luas dan tidak hanya mengandalkan hukuman mati.
- Efektivitas pidana mati juga dapat dipertanyakan karena sebagian besar pelaku hanya merupakan "operator lapangan", sedangkan aktor intelektual dan pemimpin jaringan internasional sering kali tidak tersentuh. Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam pelaksanaan kebijakan hukuman mati. Oleh karena itu, diperlukan strategi tambahan untuk menargetkan aktor utama jaringan narkotika, termasuk penguatan kerja sama internasional.
- Sebagai bagian dari evaluasi efektivitas, pidana mati juga harus dilihat dalam kerangka penegakan hukum yang konsisten dan adil. Penerapan hukuman ini harus memastikan bahwa proses peradilan berjalan tanpa diskriminasi dan kesalahan prosedur. Dengan demikian, pidana mati tetap relevan jika diterapkan secara selektif dan dengan standar hukum yang tinggi.
- Melihat fakta ini, pidana mati masih dapat dipertahankan sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat, tetapi harus disertai kebijakan pelengkap yang lebih terarah, seperti penguatan rehabilitasi untuk pengguna narkotika dan peningkatan kerja sama internasional untuk menghancurkan jaringan besar narkotika.Â
- Alternatif Kebijakan: Penguatan Rehabilitasi dan Kerja Sama Internasional
- Sebagai alternatif yang melengkapi pidana mati, penguatan rehabilitasi bagi pengguna narkotika menjadi langkah strategis. Kebijakan ini dapat mengurangi jumlah pengguna narkotika melalui pendekatan kesehatan publik dan reintegrasi sosial. Rehabilitasi harus melibatkan program terapi, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi agar mantan pengguna tidak kembali ke lingkaran penyalahgunaan narkotika.
- Selain rehabilitasi, kerja sama internasional sangat diperlukan dalam pemberantasan jaringan narkotika yang bersifat transnasional. Indonesia dapat meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain melalui pertukaran data intelijen, pelatihan aparat, dan pelacakan aliran keuangan dari perdagangan narkotika. Contoh kerja sama sukses adalah Operasi Lionfish yang dilakukan di bawah koordinasi Interpol, yang berhasil menghentikan beberapa jaringan narkotika internasional.
- Pendekatan ini juga selaras dengan prinsip restorative justice, yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial melalui pemulihan, bukan hanya penghukuman. Dengan mengedepankan pendekatan yang holistik, Indonesia dapat memperkuat kebijakan yang lebih manusiawi tanpa mengesampingkan perlindungan masyarakat dari kejahatan berat.
- Melalui kombinasi pidana mati untuk pelaku utama dan rehabilitasi bagi pengguna, serta kerja sama internasional untuk memberantas jaringan, kebijakan pemberantasan narkotika dapat lebih efektif. Pendekatan ini juga mencerminkan upaya Indonesia untuk menyeimbangkan prinsip keadilan dengan perlindungan HAM.Â
Berdasarkan analisis di atas, pidana mati tetap relevan untuk diterapkan dalam tindak pidana narkotika sebagai bentuk perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan berat. Namun, efektivitasnya perlu diperkuat dengan kebijakan tambahan, seperti rehabilitasi bagi pengguna dan kerja sama internasional untuk menargetkan jaringan besar. Pendekatan ini tidak hanya lebih komprehensif, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan perlindungan masyarakat dan penghormatan terhadap HAM. Penulis berpendapat bahwa dengan kombinasi kebijakan yang tepat, Indonesia dapat lebih efektif dalam menangani kejahatan narkotika tanpa harus menghapus pidana mati sepenuhnya.Â
Simpulan
Pidana mati merupakan instrumen hukum yang sah di Indonesia untuk menangani tindak pidana narkotika, namun efektivitasnya dalam mencegah kejahatan ini masih berlaku. Data menunjukkan bahwa meskipun hukuman mati diterapkan, peredaran narkotika tetap tinggi, mengindikasikan perlunya kebijakan tambahan. Kritik terhadap pidana mati banyak merujuk pada isu pelanggaran HAM, khususnya hak hidup. Namun, Indonesia tetap mempertahankan hukuman ini untuk melindungi masyarakat dari dampak luas kejahatan narkotika. Untuk meningkatkan efektivitas, pidana mati harus disertai strategi lain, seperti rehabilitasi pengguna, kerja sama internasional, dan penargetan aktor utama dalam jaringan narkotika. Dengan kombinasi kebijakan ini, Indonesia dapat menciptakan pendekatan yang lebih manusiawi, efektif, dan sejalan dengan prinsip HAM dalam memberantas kejahatan narkotika.
Daftar Pustaka