PENERAPAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA PERSPEKTIF HAM DAN EFEKTIVITASNYA DALAM PENCEGAHAN KEJAHATAN
Oleh : Ida Muidah, S.H
Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Mathla'ul Anwar Banten
Abstrak
Penelitian ini membahas penerapan pidana mati dalam tindak pidana narkotika di Indonesia dari perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pidana mati, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bertujuan memberikan efek jera dan melindungi masyarakat dari ancaman narkotika. Namun, pendekatan ini memicu perdebatan terkait hak hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 28A UUD 1945, dan efektivitasnya dalam menekan peredaran narkotika. Studi ini menggunakan metode yuridis normatif dan analisis data sekunder untuk mengevaluasi kebijakan pidana mati, relevansinya dengan prinsip HAM, serta dampaknya terhadap pencegahan kejahatan narkotika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pidana mati tetap relevan dalam kasus tertentu, kebijakan ini harus dilengkapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif, seperti penguatan rehabilitasi bagi pengguna dan kerja sama internasional untuk memberantas jaringan narkotika. Dengan demikian, kebijakan yang lebih holistik dapat meningkatkan efektivitas pemberantasan narkotika sekaligus menyeimbangkan perlindungan masyarakat dengan penghormatan terhadap HAM.Â
Kata kunci: pidana mati, narkotika, hak asasi manusia, rehabilitasi, efektivitas, kerja sama internasional.
Â
Â
Abstract
This research discusses the application of death penalty in narcotics crime in Indonesia from the perspective of law and human rights. The death penalty, which is regulated in Law Number 35/2009 on Narcotics, aims to provide a deterrent effect and protect the public from the threat of narcotics. However, this approach triggers debates regarding the right to life, as stipulated in Article 28A of the 1945 Constitution, and its effectiveness in suppressing narcotics trafficking. This study uses normative juridical methods and secondary data analysis to evaluate the death penalty policy, its relevance to human rights principles, and its impact on the prevention of narcotics crimes. The results show that although the death penalty remains relevant in certain cases, this policy must be complemented with a more comprehensive approach, such as strengthening rehabilitation for users and international cooperation to eradicate narcotics networks. Thus, a more holistic policy can increase the effectiveness of drug eradication while balancing community protection with respect for human rights.Â
Keywords: death penalty, narcotics, human rights, rehabilitation, effectiveness, international cooperation.
Â
Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah serangkaian hak yang melekat pada setiap individu sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, serta merupakan karunia-Nya dan harus dihormati, dilindungi, dan termasuk dilindungi oleh negara, sistem hukum, pemerintah, serta setiap orang dapat memastikan bahwa martabat dan kehormatannya sebagai manusia terjaga. Kewajiban dasar manusia adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi agar hak-hak asasi dapat dilaksanakan dengan baik. Salah satu hak dasar yang termasuk dalam HAM yaitu hak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya, yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menjaga kelangsungan hidupnya secara bebas dan aman.
Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya menjalankan segala aktivitas dan kebijakan yang ada di dalamnya berdasarkan hukum yang bersumber pada konstitusi negara. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan, baik dari pemerintah, lembaga negara, maupun individu, harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan-undangan lainnya yang berlaku, termasuk tentang tindak pidana narkotika.
Tindak pidana narkotika merupakan salah stau ancaman terbesar bagi keamanan, kesehatan, dan masa depan generasi muda di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa Indonesia menjadi salah satu negara sebagai pasar utama perdagangan narkotika Internasional, dengan jumlah kasus yang meningkat setiap tahunnya. Laporan terbaru menunjukan bahwa lebih drai 4 juta penduduk Indonesia yang bukan hanya dari orang dewasa akan tetapi juga pada usia remaja yang masih sekolah terlibat dalam penyalahgunaan narkotika, baik sebagai pelaku maupun pengedar. Kondisi ini tidak hanya merugikan dalam aspek sosial, tetapi juga dapat mengancam stabilitas negara melalui peningkatan angka kriminalitas yang terkait dengan narkotika, seperti pencurian, kekerasan, dan bahkan tindak pidana terorganisir.
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan yang serius, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sebagai bagian dari respon pemerintah terhadap permasalahan ini, maka Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memberikan aturan khusus terkait Narkotika. Undang-undang tersebut mencakup berbagai hal yang rinci, mulai dari tentang klasifikasi jenis narkotika, upaya pencegahan dan penanggulangan, proses peradilan, sanksi yang diterapkan, hingga rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Dalam Pasal 111 hingga Pasal 148 mengatur tentang pidana yaitu hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika, seperti pengedar ataupun bandar sangat berat, dengan ancaman pidana penjara minimal lima tahun, dan dalam kasus tertentu (contohnya kasus jaringan narkoba yang melibatkan Freddy Budiman) yaitu hukuman mati.
Hukuman mati merupakan bentuk sanksi yang paling berat yang diberikan kepada terpidana, biasanya untuk tindak pidana yang dianggap sangat merusak atau berbahaya bagi masyarakat. Tujuan utama dari penerapan hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan untuk menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindakan serupa. Dengan hukuman mati, diharapkan dapat mencegah tindak pidana berat, seperti peredaran narkoba yang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap masyarakat dan negara.
Penerapan hukuman mati pernah diuji secara materiil (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di satu sisi, hal ini memperkuat legalitas hukuman mati di Indonesia, sementara di sisi lain, keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memicu perdebatan yang tak kunjung selesai terkait pro dan kontra terhadap hukuman mati. Dalam hal ini, terdapat dissenting opinion yang menunjukkan adanya perbedaan pandangan mengenai keberlanjutan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia.
Empat hakim konstitusi memiliki pandangan yang berbeda dalam dissenting opinion, yaitu H. Harjono, H. Achmad Roestandi, H.M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan. Salah satu argumen dari Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan adalah bahwa hak untuk hidup tidak dapat dibatasi dengan cara menghilangkan hak itu sendiri. Meskipun hak hidup diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati, pembatasan hak tersebut harus tetap mempertimbangkan prinsip keadilan, di mana pembatasan hak hidup tidak bisa dilakukan, tetapi pembatasan ruang gerak individu yang melanggar hukum dapat diterapkan melalui penempatan di tempat tertentu serta kewajiban untuk menjalani pembinaan.
Namun kebijakan ini menimbulkan kontroversi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di satu sisi, pihak yang pro terhadap pidana mati berpendapat bahwa hukuman ini merupakan bentuk keadilan yang setimpal (retributive justice) bagi pelaku tindak pidana narkotika yang telah merusak kehidupan banyak orang. Mereka juga percaya bahwa hukuman mati memiliki potensi untuk menekan angka peredaran narkotika melalui efek jera yang Dihasilkan. Di sisi lain, kebijakan ini, termasuk kelompok advokasi HAM dan organisasi internasional seperti Amnesty International, berargumen bahwa pidana mati merupakan bentuk hukuman yang melanggar hak hidup, sebagaimana diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Kritik lainnya menyebutkan bahwa efektivitas pidana mati sebagai alat pencegahan tindak pidana narkotika belum terbukti secara empiris.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia merujuk pada tindakan yang dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja yang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Para pegiat Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dianggap melanggar hak hidup, yang dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I Amandemen kedua UUD 1945. Pemahaman yang berkembang adalah bahwa dalam menafsirkan suatu peraturan, tidak cukup hanya dengan menganalisis pasal demi pasal secara terpisah. Pendekatan yang lebih menyeluruh diperlukan, dengan memperhatikan ketentuan secara hirarkis dan komprehensif.
Pasal 28 J Amandemen kedua UUD 1945 berisi pertimbangan tentang kemaslahatan yang lebih besar hak hidup seseorang dengan memiliki pembatasan. Pasal 28 J Ayat (2) menyatakan bahwa: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maskud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Selanjutnya, ketentuan Pasal 28 J Amandemen kedua UUD 1945 yang ditegaskan juga dalam Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa: "Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kekusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa".
Dalam praktiknya, data menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana mati di Indonesia belum memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan angka peredaran narkotika. Misalnya, meskipun eksekusi mati terhadap terpidana narkotika telah dilakukan dalam beberapa kasus besar, seperti kasus Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Bali Nine), peredaran narkotika tetap meningkat di Indonesia. Studi lain juga menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana narkotika sering kali merupakan bagian dari jaringan terorganisasi yang sulit dihentikan hanya melalui eksekusi pelaku individu. Dengan demikian, penerapan pidana mati menjadi bahan diskusi yang kompleks, terutama ketika dikaitkan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan efektivitasnya sebagai instrumen pencegahan kejahatan.
Alasan lain yang muncul adalah adanya potensi ketidakadilan dalam proses peradilan. Laporan dari Amnesty International menunjukkan bahwa beberapa terpidana mati di Indonesia tidak mendapatkan proses peradilan yang transparan dan adil, seperti tidak adanya penerjemah yang mampu bagi pelaku asing atau tidak terpenuhinya hak pembelaan yang layak bagi tersangka. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan etis mengenai keadilan dalam penerapan pidana. mati di Indonesia, terlebih jika diterapkan dalam kasus narkotika.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menuliskan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
- Bagaimana ketentuan pidana mati dalam tindak pidana narkotika di Indonesia ditinjau dari perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia?
- Apakah pidana mati efektif dalam mencegah tindak pidana narkotika di Indonesia?
- Kebijakan alternatif apa yang dapat diterapkan untuk menanggulangi peredaran narkotika secara lebih efektif dan humanis?
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan yuridis normatif. Metode ini berfokus pada analisis terhadap sumber data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, dokumen hukum internasional, laporan lembaga resmi, artikel jurnal, dan buku yang relevan. Sumber primer meliputi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Sumber sekunder mencakup publikasi dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Amnesty International, serta data statistik kasus narkotika di Indonesia.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Proses analisis meliputi identifikasi dan klasifikasi data terkait penerapan pidana mati, tinjauan hukum nasional dan internasional, serta evaluasi efektivitas kebijakan ini dalam mencegah tindak pidana narkotika. Pendekatan penelitian melibatkan analisis yuridis normatif untuk mengkaji dasar hukum pidana mati, pendekatan HAM untuk menilai kesesuaiannya dengan prinsip hak hidup, serta kajian empiris tidak langsung melalui laporan dan data pustaka guna mengevaluasi dampaknya terhadap peredaran narkotika.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
- Penerapan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Narkotika di Indonesia dari Perspektif Hukum dan HAM
- Pidana mati dalam kasus tindak pidana narkotika di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 114 ayat (2) menyatakan, "Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap narkotika golongan I yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau lebih dari 5.000 (lima ribu) butir, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun". Penerapan hukuman ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan narkotika yang dianggap merusak tatanan sosial dan generasi penerus bangsa.
- Dari perspektif HAM, pidana mati merupakan isu yang kontroversial. Prinsip hak hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Namun, hak ini tidak bersifat absolut, karena Indonesia juga memberikan ruang pada pidana mati dalam kasus-kasus tertentu, seperti narkotika, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal ini sejalan dengan prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana, yang menekankan bahwa beratnya hukuman harus sebanding dengan dampak kejahatan yang dilakukan.
- Kritik terhadap penerapan pidana mati dalam perspektif HAM sering mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang mendorong penghapusan hukuman mati. Namun, Pasal 6 ICCPR memberikan kelonggaran bahwa hukuman mati dapat diberlakukan dalam kasus kejahatan yang sangat serius, selama proses peradilannya sesuai dengan standar internasional. Dalam hal ini, Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa kejahatan narkotika, terutama yang melibatkan jaringan besar, termasuk kategori kejahatan berat yang membahayakan keamanan negara dan generasi bangsa.
- Prinsip utilitarianisme dalam hukum pidana juga mendukung penerapan pidana mati sebagai sarana untuk melindungi masyarakat luas dari dampak negatif kejahatan narkotika. Teori ini menekankan bahwa hukuman harus membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, termasuk pencegahan kejahatan serupa di masa mendatang. Dengan mempertimbangkan dampak luas kejahatan narkotika, pidana mati dipandang sebagai kebijakan yang sah dalam konteks perlindungan masyarakat Indonesia.
- Dengan demikian, meskipun ada pandangan yang menentang hukuman mati, Indonesia tetap berpegang pada prinsip kedaulatan hukum nasional yang memberikan ruang untuk pidana mati dalam kasus tertentu. Dalam konteks narkotika, hukuman ini bertujuan tidak hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan yang meluas dan sistemik.
- Efektivitas Pidana Mati dalam Mencegah Tindak Pidana Narkotika di Indonesia
- Efektivitas pidana mati dalam mencegah tindak pidana narkotika tetap menjadi perdebatan, tetapi dapat dilihat bahwa hukuman ini memiliki peran penting sebagai alat perlindungan masyarakat. Dalam banyak kasus, pelaku tindak pidana narkotika yang dihukum mati adalah pengedar besar atau anggota jaringan internasional yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori deterrence, yang menyatakan bahwa hukuman berat dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.
- Namun, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa meskipun pidana mati diterapkan, peredaran narkotika masih tinggi. Sebagai contoh, eksekusi terhadap Freddy Budiman pada 2016 tidak menghentikan jaringan yang dia operasikan. Fakta ini mengindikasikan bahwa pemberantasan narkotika membutuhkan pendekatan yang lebih luas dan tidak hanya mengandalkan hukuman mati.
- Efektivitas pidana mati juga dapat dipertanyakan karena sebagian besar pelaku hanya merupakan "operator lapangan", sedangkan aktor intelektual dan pemimpin jaringan internasional sering kali tidak tersentuh. Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam pelaksanaan kebijakan hukuman mati. Oleh karena itu, diperlukan strategi tambahan untuk menargetkan aktor utama jaringan narkotika, termasuk penguatan kerja sama internasional.
- Sebagai bagian dari evaluasi efektivitas, pidana mati juga harus dilihat dalam kerangka penegakan hukum yang konsisten dan adil. Penerapan hukuman ini harus memastikan bahwa proses peradilan berjalan tanpa diskriminasi dan kesalahan prosedur. Dengan demikian, pidana mati tetap relevan jika diterapkan secara selektif dan dengan standar hukum yang tinggi.
- Melihat fakta ini, pidana mati masih dapat dipertahankan sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat, tetapi harus disertai kebijakan pelengkap yang lebih terarah, seperti penguatan rehabilitasi untuk pengguna narkotika dan peningkatan kerja sama internasional untuk menghancurkan jaringan besar narkotika.Â
- Alternatif Kebijakan: Penguatan Rehabilitasi dan Kerja Sama Internasional
- Sebagai alternatif yang melengkapi pidana mati, penguatan rehabilitasi bagi pengguna narkotika menjadi langkah strategis. Kebijakan ini dapat mengurangi jumlah pengguna narkotika melalui pendekatan kesehatan publik dan reintegrasi sosial. Rehabilitasi harus melibatkan program terapi, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi agar mantan pengguna tidak kembali ke lingkaran penyalahgunaan narkotika.
- Selain rehabilitasi, kerja sama internasional sangat diperlukan dalam pemberantasan jaringan narkotika yang bersifat transnasional. Indonesia dapat meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain melalui pertukaran data intelijen, pelatihan aparat, dan pelacakan aliran keuangan dari perdagangan narkotika. Contoh kerja sama sukses adalah Operasi Lionfish yang dilakukan di bawah koordinasi Interpol, yang berhasil menghentikan beberapa jaringan narkotika internasional.
- Pendekatan ini juga selaras dengan prinsip restorative justice, yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial melalui pemulihan, bukan hanya penghukuman. Dengan mengedepankan pendekatan yang holistik, Indonesia dapat memperkuat kebijakan yang lebih manusiawi tanpa mengesampingkan perlindungan masyarakat dari kejahatan berat.
- Melalui kombinasi pidana mati untuk pelaku utama dan rehabilitasi bagi pengguna, serta kerja sama internasional untuk memberantas jaringan, kebijakan pemberantasan narkotika dapat lebih efektif. Pendekatan ini juga mencerminkan upaya Indonesia untuk menyeimbangkan prinsip keadilan dengan perlindungan HAM.Â
Berdasarkan analisis di atas, pidana mati tetap relevan untuk diterapkan dalam tindak pidana narkotika sebagai bentuk perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan berat. Namun, efektivitasnya perlu diperkuat dengan kebijakan tambahan, seperti rehabilitasi bagi pengguna dan kerja sama internasional untuk menargetkan jaringan besar. Pendekatan ini tidak hanya lebih komprehensif, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan perlindungan masyarakat dan penghormatan terhadap HAM. Penulis berpendapat bahwa dengan kombinasi kebijakan yang tepat, Indonesia dapat lebih efektif dalam menangani kejahatan narkotika tanpa harus menghapus pidana mati sepenuhnya.Â
Simpulan
Pidana mati merupakan instrumen hukum yang sah di Indonesia untuk menangani tindak pidana narkotika, namun efektivitasnya dalam mencegah kejahatan ini masih berlaku. Data menunjukkan bahwa meskipun hukuman mati diterapkan, peredaran narkotika tetap tinggi, mengindikasikan perlunya kebijakan tambahan. Kritik terhadap pidana mati banyak merujuk pada isu pelanggaran HAM, khususnya hak hidup. Namun, Indonesia tetap mempertahankan hukuman ini untuk melindungi masyarakat dari dampak luas kejahatan narkotika. Untuk meningkatkan efektivitas, pidana mati harus disertai strategi lain, seperti rehabilitasi pengguna, kerja sama internasional, dan penargetan aktor utama dalam jaringan narkotika. Dengan kombinasi kebijakan ini, Indonesia dapat menciptakan pendekatan yang lebih manusiawi, efektif, dan sejalan dengan prinsip HAM dalam memberantas kejahatan narkotika.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Â
Simanjuntak, D. (2021). "Teori Deterrence dalam Penegakan Hukum Pidana". Jurnal Hukum dan Keadilan.
Candra, Firman Adi. 2023. OPTIMALISASI PIDANA MATI PADA SISTEM PIDANA NASIONAL. Â Jurnal Ilmiah Cahaya Hukum : Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3. Nomor 1.
Khairunisa, Kania dan Dey Ravena. 2021. Analisis Hambatan Pelaksanaan Eksekusi Pidana Mati pada Pelaku Tindak Pidana Peredaran Narkotika di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Dihubungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015. Jurnal Riset Ilmu Hukum. Vol. 1. Nomor 1.
Nasoha, R. Ahmad Muhamad Mustain. 2016. Eksistensi Penerapan Hukuman Mati Di Indonesia. Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum. Vol. 1. Nomor 1.
Badan Narkotika Nasional (BNN). https://bnn.go.id/rehabilitasi-penting-bagi-korban-penyalahgunaan-narkoba/. Diakses pada 19 Januari 2025, Pukul 01.00 WIB.
Interpol, Global Narcotics Report, 2023. Â https://interpol.go.id/berita41.php. Diakses Pada 19 Januari 2025, Pukul 21.00 WIB.
Institute For Criminal Justice Reform. 2012. https://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-dan-politik. Diakses Pada 20 Januari 2025, Pukul 06.00 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H