Mohon tunggu...
My Journal
My Journal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hukum

Topik Konten akan seputar Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika di Indonesia Perspektif HAM dan Efektivitasnya Dalam Pencegahan Kejahatan

21 Januari 2025   02:56 Diperbarui: 21 Januari 2025   02:56 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah serangkaian hak yang melekat pada setiap individu sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, serta merupakan karunia-Nya dan harus dihormati, dilindungi, dan termasuk dilindungi oleh negara, sistem hukum, pemerintah, serta setiap orang dapat memastikan bahwa martabat dan kehormatannya sebagai manusia terjaga. Kewajiban dasar manusia adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi agar hak-hak asasi dapat dilaksanakan dengan baik. Salah satu hak dasar yang termasuk dalam HAM yaitu hak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya, yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menjaga kelangsungan hidupnya secara bebas dan aman.

Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya menjalankan segala aktivitas dan kebijakan yang ada di dalamnya berdasarkan hukum yang bersumber pada konstitusi negara. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan, baik dari pemerintah, lembaga negara, maupun individu, harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan-undangan lainnya yang berlaku, termasuk tentang tindak pidana narkotika.

Tindak pidana narkotika merupakan salah stau ancaman terbesar bagi keamanan, kesehatan, dan masa depan generasi muda di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa Indonesia menjadi salah satu negara sebagai pasar utama perdagangan narkotika Internasional, dengan jumlah kasus yang meningkat setiap tahunnya. Laporan terbaru menunjukan bahwa lebih drai 4 juta penduduk Indonesia yang bukan hanya dari orang dewasa akan tetapi juga pada usia remaja yang masih sekolah terlibat dalam penyalahgunaan narkotika, baik sebagai pelaku maupun pengedar. Kondisi ini tidak hanya merugikan dalam aspek sosial, tetapi juga dapat mengancam stabilitas negara melalui peningkatan angka kriminalitas yang terkait dengan narkotika, seperti pencurian, kekerasan, dan bahkan tindak pidana terorganisir.

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan yang serius, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sebagai bagian dari respon pemerintah terhadap permasalahan ini, maka Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memberikan aturan khusus terkait Narkotika. Undang-undang tersebut mencakup berbagai hal yang rinci, mulai dari tentang klasifikasi jenis narkotika, upaya pencegahan dan penanggulangan, proses peradilan, sanksi yang diterapkan, hingga rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Dalam Pasal 111 hingga Pasal 148 mengatur tentang pidana yaitu hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika, seperti pengedar ataupun bandar sangat berat, dengan ancaman pidana penjara minimal lima tahun, dan dalam kasus tertentu (contohnya kasus jaringan narkoba yang melibatkan Freddy Budiman) yaitu hukuman mati.

Hukuman mati merupakan bentuk sanksi yang paling berat yang diberikan kepada terpidana, biasanya untuk tindak pidana yang dianggap sangat merusak atau berbahaya bagi masyarakat. Tujuan utama dari penerapan hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan untuk menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindakan serupa. Dengan hukuman mati, diharapkan dapat mencegah tindak pidana berat, seperti peredaran narkoba yang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap masyarakat dan negara.

Penerapan hukuman mati pernah diuji secara materiil (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di satu sisi, hal ini memperkuat legalitas hukuman mati di Indonesia, sementara di sisi lain, keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memicu perdebatan yang tak kunjung selesai terkait pro dan kontra terhadap hukuman mati. Dalam hal ini, terdapat dissenting opinion yang menunjukkan adanya perbedaan pandangan mengenai keberlanjutan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia.

Empat hakim konstitusi memiliki pandangan yang berbeda dalam dissenting opinion, yaitu H. Harjono, H. Achmad Roestandi, H.M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan. Salah satu argumen dari Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan adalah bahwa hak untuk hidup tidak dapat dibatasi dengan cara menghilangkan hak itu sendiri. Meskipun hak hidup diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati, pembatasan hak tersebut harus tetap mempertimbangkan prinsip keadilan, di mana pembatasan hak hidup tidak bisa dilakukan, tetapi pembatasan ruang gerak individu yang melanggar hukum dapat diterapkan melalui penempatan di tempat tertentu serta kewajiban untuk menjalani pembinaan.

Namun kebijakan ini menimbulkan kontroversi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di satu sisi, pihak yang pro terhadap pidana mati berpendapat bahwa hukuman ini merupakan bentuk keadilan yang setimpal (retributive justice) bagi pelaku tindak pidana narkotika yang telah merusak kehidupan banyak orang. Mereka juga percaya bahwa hukuman mati memiliki potensi untuk menekan angka peredaran narkotika melalui efek jera yang Dihasilkan. Di sisi lain, kebijakan ini, termasuk kelompok advokasi HAM dan organisasi internasional seperti Amnesty International, berargumen bahwa pidana mati merupakan bentuk hukuman yang melanggar hak hidup, sebagaimana diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Kritik lainnya menyebutkan bahwa efektivitas pidana mati sebagai alat pencegahan tindak pidana narkotika belum terbukti secara empiris.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia merujuk pada tindakan yang dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja yang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Para pegiat Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dianggap melanggar hak hidup, yang dilindungi oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I Amandemen kedua UUD 1945. Pemahaman yang berkembang adalah bahwa dalam menafsirkan suatu peraturan, tidak cukup hanya dengan menganalisis pasal demi pasal secara terpisah. Pendekatan yang lebih menyeluruh diperlukan, dengan memperhatikan ketentuan secara hirarkis dan komprehensif.

Pasal 28 J Amandemen kedua UUD 1945 berisi pertimbangan tentang kemaslahatan yang lebih besar hak hidup seseorang dengan memiliki pembatasan. Pasal 28 J Ayat (2) menyatakan bahwa: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maskud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".

Selanjutnya, ketentuan Pasal 28 J Amandemen kedua UUD 1945 yang ditegaskan juga dalam Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa: "Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kekusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun