Bagaimana dengan pemandangan di musim hujan?
Warna hijau bukit di sekeliling bisa sangat instagramable. Keelokan itu bisa dibilang langka karena musim penghujan di Kolbano biasanya lebih singkat dibanding kemarau, bahkan kerap kekeringan sepanjang tahun.
Masih tersisa dua tahapan pembangunan lagi yang entah akan menghasilkan kehancuran seperti apa sesuai "master plan pengrusakan dan bagi-bagi uang negara" yang telah ditetapkan pengguna anggaran dana desa sejak awal. Kecurigaan itu muncul atas dasar adanya indikasi bahwa nilai proyek tersebut  ditentukan lebih dahulu barulah RAB-nya disusun dari belakang (baca: Trigonometri Sederhana Bukit Fatuhan dan Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab?).
Indikasi lainnya yakni mulusnya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kades Kolbano tahun 2020 sekalipun hasil pekerjaan di Bukit Fatuhan sangat mengecewakan (baca beritanya di sini, Kolbano tidak termasuk dalam desa yang LPJ-nya tidak diterima).
Mengingat bahwa tahap pertama sudah selesai maka mau tak mau tahapan selanjutnya harus dijalankan. Asalkan dananya habis terserap, pemegang anggaran dan pihak terkait tidak akan peduli baik-buruk maupun besar-kecilnya kerusakan yang ditimbulkan.
Seolah tangga sudah direncanakan untuk tidak terpakai, padahal "tangga seribu" beserta infrastruktur penunjangnya lah yang dibangga-banggakan sejak awal.
Yang jelas, keindahan idaman bukit Fatuhan mustahil kita jumpai lagi, sekalipun tersedia puluhan miliar dana desa maupun dana-dana tak terbatas lainnya. Sekalipun dibarengi ribuan upaya terbaik pemerintah untuk mengembalikan kecantikan aset desa yang tak ternilai harganya itu.
Sedangkan kemolekan sesungguhnya telah pudar bahkan sirna akibat ambisi membangun yang hanya mengutamakan keuntungan pribadi, TANPA SEDIKIT PUN NURANI untuk memperindah atau melestarikan alam karunia istimewa Sang Pencipta itu.*