FOTO di atas tidak diambil di Bukit Fatuhan tapi bisa bercerita banyak tentang bukit yang masih berada dalam kawasan wisata Pantai Fatuun, Desa Kolbano, NTT  itu. Bukit yang oleh Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan melalui anggaran Dana Desa senilai total ± 1,5 miliar hendak disulap menjadi obyek wisata berkelas dalam kurun waktu tiga tahun.
Saya bukanlah fotografer profesional yang memotret dengan trik-trik fotografi khusus, tapi hanya menjepret berdasarkan insting. Modal saya cuma sebuah kamera HP jadul beresolusi 3,2 MP tanpa filter atau editing apa-apa. Itu pun hasilnya sangat mempesona. Artinya bahwa, bukan teknik fotografi yang sedang berbicara di sini tapi memang pemandangan alamnya lah yang amat eksotis.
Foto favorit itu kerap saya aplikasikan sebagai wallpaper laptop, cover medsos hingga ilustrasi tulisan-tulisan tentang pantai Kolbano. Bahkan, foto inilah yang mengisi ruang unggahan pertama blog saya, pitherpung.blogspot.com.
Saat berdiri di puncak Fatuhan lalu melempar pandangan ke arah timur, kita akan dibuat terpana oleh eloknya teluk Nop-nop beserta menawannya tanjung Oetuke. Ke arah barat ada lekukan anggun tanjung-tanjung kecil mulai dari Oepal hingga Noefefan, ke selatan ada si raksasa Fatuhan (kini lebih tenar dengan nama Fatuun) yang terlihat rendah dilatarbelakangi biru toskanya panorama Laut Timor.
Sejauh memandang garis pantai itu, mata kita bakal dimanjakan hamparan batu-batu warna tiada duanya di muka bumi ini (walaupun kian pudar oleh penambangan massif).
Seandainya tangga di lereng Fatuhan dibuat sederhana, aman dan selaras dengan gersangnya bukit di musim kemarau, maka tangga akan menjadi salah satu daya tarik andalan obyek wisata alam Pantai Kolbano.
Menuju puncak bukit setinggi ± 40 meter itu, pengunjung akan digiring untuk menikmati pengalaman tak biasa sejak menapaki tangga pertama.
Efek gravitasi akibat terjalnya lereng, dipadu desir khas ombak pantai Kolbano, ditemani pepohonan meranggas yang selalu #Tegar menghadapi iklim stepa Pulau Timor, bakal memberi sensasi unik, seolah kita hendak dihela jatuh ke dasar bukit.
Secuil rasa letih yang makin menumpuk saat meniti 200-an anak tangga di lereng Fatuhan bakal terhapus dalam sekejap tatkala kaki menapak puncak bukit bermakna "batu berbunyi" itu. Suguhan panorama paripurna Pantai Kolbano dipadu semilir angin laut selatan bakal menghadirkan nuansa istimewa yang memikat untuk terus berlama-lama atau tak ingin beranjak dari sana.
Bagaimana dengan pemandangan di musim hujan?
Warna hijau bukit di sekeliling bisa sangat instagramable. Keelokan itu bisa dibilang langka karena musim penghujan di Kolbano biasanya lebih singkat dibanding kemarau, bahkan kerap kekeringan sepanjang tahun.
Masih tersisa dua tahapan pembangunan lagi yang entah akan menghasilkan kehancuran seperti apa sesuai "master plan pengrusakan dan bagi-bagi uang negara" yang telah ditetapkan pengguna anggaran dana desa sejak awal. Kecurigaan itu muncul atas dasar adanya indikasi bahwa nilai proyek tersebut  ditentukan lebih dahulu barulah RAB-nya disusun dari belakang (baca: Trigonometri Sederhana Bukit Fatuhan dan Siapa yang Mesti Bertanggung Jawab?).
Indikasi lainnya yakni mulusnya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kades Kolbano tahun 2020 sekalipun hasil pekerjaan di Bukit Fatuhan sangat mengecewakan (baca beritanya di sini, Kolbano tidak termasuk dalam desa yang LPJ-nya tidak diterima).
Mengingat bahwa tahap pertama sudah selesai maka mau tak mau tahapan selanjutnya harus dijalankan. Asalkan dananya habis terserap, pemegang anggaran dan pihak terkait tidak akan peduli baik-buruk maupun besar-kecilnya kerusakan yang ditimbulkan.
Seolah tangga sudah direncanakan untuk tidak terpakai, padahal "tangga seribu" beserta infrastruktur penunjangnya lah yang dibangga-banggakan sejak awal.
Yang jelas, keindahan idaman bukit Fatuhan mustahil kita jumpai lagi, sekalipun tersedia puluhan miliar dana desa maupun dana-dana tak terbatas lainnya. Sekalipun dibarengi ribuan upaya terbaik pemerintah untuk mengembalikan kecantikan aset desa yang tak ternilai harganya itu.
Sedangkan kemolekan sesungguhnya telah pudar bahkan sirna akibat ambisi membangun yang hanya mengutamakan keuntungan pribadi, TANPA SEDIKIT PUN NURANI untuk memperindah atau melestarikan alam karunia istimewa Sang Pencipta itu.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI