Minto itu sama sepertiku, orang Maumere namun lebih merasa Alor. Dari lahir kami di sana, dan jarang kembali ke kampung Bapak. Suatu hari Minto yang masih berusia remaja ditinggal oleh bapaknya ke negri Jiran, karena kampung halaman terasa belum menjanjikan apa-apa.Â
Minto yang saat itu melihat adik-adiknya masih kecil dan kondisi ibu yang hanya berjualan kue, kemudian memutuskan menjadi supir truk. Tidak ada yang tahu, sudah berapa lama dia menjadi supir. Yang kutahu, menurut cerita, semenjak bapak pergi.
Sahabatku! Minto ini tidak banyak bicara. Lebih banyak bertindak. Suatu hari ia pernah mengeluh, "Coba dulu saya sekolah". Jadi demi kami adik-adiknya, dia putus sekolah agar kami dapat menyambung pendidikan, minimal SMA.Â
Kami adik-adik bangga padanya, karena meskipun dia hanyalah supir, namun kami semua dapat merengguk sumur pengetahuan di sekolah Swasta, Yayasan Swastisari, yang kompleksnya berhadapan dengan Paroki Yesus Gembala Yang Baik-Kalabahi, Alor.
Kalau dia dapat proyek, maka setiap Desember, kami adik-adiknya mendapat jata. Minimal bisa membeli pakaian atau sepatu baru di hari Natal. Dia tidak pernah bercerita tentang sebetapa lelahnya dia membawa muatan di tempat proyek.Â
Tidak pernah dia bercerita seberapa banyak kali dia dimarahi oleh Bos Cinanya. Dan tidak pernah pula ia bercerita tentang mimpi dan kecemasannya, bahwa suatu hari nanti adik-adiknya akan menamatkan sekolah, memperoleh pekerjaan atau berkeluarga, dan melupakannya.Â
Di atas segalanya, dia adalah Bapak bagi adik-adiknya. Sejak dulu kalau ditanya kapan menikah, dia selalu menjawab: "Saya masih menjaga mama dan adik-adik". Baru saat di antara kami ada yang PNS, berkeluarga, dan dua adiknya lanjut di perguruan tinggi, Minto lalu memutuskan menikah di tanggal 24 Oktober 2014.
Sahabatku! Aku rasa Minto tidak pernah sadar, bahwa tanggal pernikahannya adalah tanggal di mana Claret berada di batas mimpinya sebagai misionaris. Dan aku juga merasa bahwa, Claret tidak pernah membayangkan di balik hamparan gunung yang ia saksikan dari Fonfroide-Perancis, ada sebuah kampung di Indonesia, "Tombang", seorang pemuda yang kelak akan merelakan seorang adiknya bergabung ke dalam kongregasi yang Claret dirikan. Minto dan Claret adalah pecinta tanpa kata, banyak tindak, perantau yang lelah namun telah memenangkan banyak jiwa.
Sahabatku! Kuakhiri surat ini dalam doa dan kerinduan untuk kalian para sahabat di ketepian Babilon.
Selamat pesta 150 tahun St. Antonius Maria Claret dan selamat hari pernikahan yang ke-6 untuk Kakak Darmintosius Karwayu sekeluarga di Tombang-Alor. Titip mama untukku. Dan semoga Bapak Arnoldus Karwayu mendoakanmu dari surga yang sampai saat ini belum kita lihat.
Warm Regard