1. Kebijakan akomodasi atau adaptasi dengan budaya Tiongkok. Valignano yang kecewa dengan terbatasnya adaptasi Jesuit terhadap budaya Jepang, pertama-tama menekankan pengetahuan tentang bahasa Cina.
Ia memanggil beberapa Jesuit ke Makau pada 1579 dan memerintahkan mereka memusatkan perhatian pada studi bahasa.
Dua tahun kemudian Michele Ruggieri (1543-1607) memasuki Cina melalui selatan, dan Matteo Ricci satu tahun kemudian. Mungkin terinspirasi oleh situasi Jepang, mereka berpakaian seperti biksu Buddha. Pada 1595, mereka mengubah kebijakan ini dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan etiket elit sastra dan pejabat Konfusianisme.
2. Propaganda dan Evangelisasi 'top-down'. Jesuit menyebut diri mereka kalangan elit terpelajar. Jika kaum elit ini, lebih disukai dan Kaisar serta istananya bertobat, maka seluruh negara dimenangkan agama Kristen. Elit tersebut terutama terdiri atas para sastrawan yang bertahun-tahun dalam hidupnya mempersiapkan ujian yang harus dilewati untuk menjadi pejabat.
Untuk ujian ini, mereka harus mempelajari Konfusianisme klasik. Setelah lulus ujian Metropolitan, mereka memasuki birokrasi resmi dan menerima penunjukan sebagai hakim distrik atau posisi di kementerian. Matteo Ricci sendiri mempelajari Konfusianisme klasik, dan dengan bakat ingatannya yang luar biasa, ia menjadi tamu sambutan dalam kelompok diskusi filosofis.
3. Penyebaran iman melalui sains dan teknologi Eropa. Ricci menawarkan jam Eropa kepada Kaisar, memperkenalkan lukisan-lukisan yang mengesankan Cina dengan perspektif mereka, menerjemahkan tulisan-tulisan matematika Euclid dengan komentar-komentar dari ahli matematika Jesuit Christophorus Clavius (1538-1612), dan mencetak peta global yang mengintegrasikan hasil eksplorasi dunia terbaru.
Dengan kegiatan-kegiatan ini Ricci menjalin hubungan persahabatan yang berujung pada 'pembaptisan' Xu Guangqi menjadi Paulus pada 1603 dan Li Zhizao menjadi Leo pada 1610.
4. Keterbukaan dan toleransi terhadap nilai-nilai Tiongkok. Di Cina, Matteo Ricci mengungkapkan kekagumannya terhadap nilai-nilai moral masyarakat yang tinggi. Dididik dalam tradisi humanistik Jesuit, ia membandingkan Konfusius (552-479 SM) dengan 'Seneca lain' dan Konfusius dengan 'sekte Epicurians, bukan dalam nama, tetapi dalam hukum dan argumentasi'.
Ricci berpendapat, doktrin etika dan sosial Konfusianisme harus dilengkapi dengan ide-ide metafisik Kekristenan. Ia menolak agama Buddha, Taoisme, dan Neo-Konfusianisme. Sebaliknya, ia ingin kembali ke Konfusianisme asli, sebagai filsafat berdasarkan hukum kodrat, berisi gagasan tentang Tuhan, dan menamakan ritus-ritus Konfusian sebagai 'ritus sipil'.
Pertanyaan metodologis
Ada beberapa alasan mengapa keempat karakteristik di atas dapat diidentifikasi sebagai tipikal Ricci dan sesama Jesuit dalam arti yang lebih luas.