settle your hand upon his sparkling eyes --
as for his murmuring tongue,
let the murmuring not spoil his sleep.
("Sulgi N", 12--18)
Sahabatku! Sebuah karya sastra yang hebat sering kali melampaui waktu dan tempatnya sendiri. Juga sebaliknya, memberikan akses istimewa ke beberapa kualitas terdalam budaya asalnya. Karya seni membiaskan budaya penulis daripada sekadar mencerminkannya.Â
Bahkan lukisan atau cerita yang paling "realistis" adalah representasi yang bergaya dan selektif--- banyak hal disampaikan melalui kaleidoskop dan cermin cembung sastra.Â
Inilah yang ingin aku katakan, bahwa sebuah apresiasi terhadap karya bisa sangat meningkat jika manusia belajar lebih banyak. Belajar tentang bagaimana orang Jepang dan Inggris tidak melihat warna yang berbeda, tetapi menyebut secara berbeda, bahkan spektrumnya pun berbeda--- belajar banyak tentang budaya dari seni dan arsitekturnya, sekaligus catatan tertulis.Â
Layaknya puisi Raja Shulgi yang memberi nuansa seolah pembaca dikelilingi oleh jajaran dewa dan dewi yang tidak dikenal, dan sejumlah besar kiasan sejarah dan sastra. Puisi Shulgi memberi seseorang mode akses penting ke budayanya, dan bahwa pengetahuan budaya membantunya menghargai puisi.
Sahabatku! Membaca karya sastra dari waktu atau tempat yang jauh adalah gerakan timbal balik antara yang akrab dan yang tidak terbiasa. Pandangan dunia adalah pandangan dari mana pengamat berdiri.Â
Kita akan memahami apa yang dimaksud Dickens jika mengetahui Defoe, Fielding, Jane Austen, Walter Scott, Trollope, dan George Eliot. Juga pemahaman kita akan semakin diperluas jika dapat melihat Dickens secara komparatif dalam hubungannya dengan Diderot, Hugo, Goethe, Gogol, dan Dostoevsky.Â
Lebih jauh, rasa narasi klasik kita juga dibentuk oleh buku-buku yang sekarang sedang ditulis di sekitar kita, dan karenanya kita membaca Dickens sebagian melalui lensa yang disediakan oleh AS Byatt, Salman Rushdie, Carey, dan sejumlah novelis kontemporer lainnya.