Jika kamu sudah membaca suratku pada akhir Maret kemarin, kamu akan memahami bahwa cerita tentang "Yossel Rakover berbicara kepada Allah" dari Buenos Aires 1945, konteksnya adalah Auschwitz ini:Â "Ich glaub` an die Sonne, auch wenn sie nicht scheint. Ich glaub an die Liebe, auch wenn ich sie nicht fhle. Ich glaub` an Gott, auch wenn er schweigt".
Sayangnya dalam cerita "Yossel Rakover" itu, si pencerita menyajikan kisah yang tidak cukup memuaskan untuk menjawab pertanyaan, "jika Yahudi bangsa pilihan, mengapa Allah membiarkan mereka dibunuh dalam kamar gas kamp Auschwitz?
Bahkan kita tidak bisa menyebut itu sebagai Kiddush Hashem (pengudusan nama Allah), karena orang-orang Yahudi di Auschwitz, yang meninggal, tidak punya pilihan untuk mati atau bertobat sebagai orang Yahudi. Inilah yang menjadi latar belakang Theodor W. Adorno menyebut bahwa berpuisi bagi mereka setelah Auschwitz adalah barbarisme.
Baginya, tidak sopan dan tidak dapat dipercaya berbicara tentang cinta dan Allah yang peduli di hadapan anak-anak yang sekarat dalam api--- melompat dan mengambil anak dari lubang, membersihkan wajahnya dan menyembuhkan tubuhnya adalah satu-satunya hal yang diperhitungkan.
Lalu bagaimanakah kita berdoa bagi mereka di Auschwitz?
Sodaraku, apakah kamu merasa pertanyaan itu mirip dengan pertanyaanmu. Mungkin. Tapi biarlah itu hanya menjadi milik Emmanuel Levinas. Baginya kita dapat berbicara tentang mereka, namun dalam wajah para korban. Wajah mereka menyandra kita dengan kebakaan.
Tidak "ada satu setan dua binatang" pun di dunia yang memiliki hak melarang kita "berdoa" karena para korban sendiri di Auschwitz berdoa. Kita tidak pernah kembali ke belakang Auschwitz. Di luar Auschwitz kita tidak pernah datang sendirian, tetapi hanya dengan para korban Auschwitz".
Jangan kamu terlalu serius membacanya. Ini hanya nostalgia dari pengalaman yang selektif. Jangan juga kamu membacanya kuat-kuat. Biarkanlah anak-anak tertawa agar tidak ada yang mencurigai, karena tawaan mereka dapat mengajarkan kita apa yang harus kita buat setelahnya. Setelah kuceritakan padamu tentang yang satu ini. Tentang beban rasa bersalah ini. Teruslah membaca karena ada persoalan yang lebih serius dari ini.
Setelah Auschwitz, banyak orang mempersalahkan kita sodaraku, karena kematian orang Yahudi yang tidak bersalah itu terjadi di negara-negara berbasis Kristen. Mereka lupa kalau-kalau, nenek moyang kita dulu, juga pernah berbicara tentang penderitaan yang tidak bersalah sama sekali, yaitu Yesus yang mereka bunuh di Golgota.
Oleh karena itu kristologi sebagai soteriologi membungkam teodise: duka tidak mengenal kedaulatan, penderitaan lebih tepatnya ingin diperjuangkan. Oleh karenanya semua klaim idealisme harus diberikan janji akan masa depan. Hanya seruan apokaliptik yang tersisa bagi kita: Tuhan, di manakah Anda?
Sodaraku, aku tidak berani bercerita lebih jauh lagi. Ada ketakutan tak beralasan. Aku hanya ingin mengatakan padamu bersama Auschwitz, jika ada teologi yang terpisah dari masyarakat dan kondisi mereka, maka sebaiknya teologi tersebut berhenti untuk ada. Auschwitz kini bukan lagi nama sebuah tempat, melainkan sebuah termin teknis penderitaan abad XX.