Untuk sodaraku yang hilang dan ditemukan kembali.
Beberapa hari terakhir, aku selalu memikirkan dirimu: bagaimana keadaanmu, keluargamu, juga sajak-sajakmu yang kerap tidak kau beri judul?
Terimakasih banyak untuk tulisan tak berjudulmu yang didoakan di kampung Nangka, Tong Bang.
"Andaikan saja sejuta makhluk yang tak bersuara itu berteriak memberi tanda akan musibah ini, juga bisikan-bisikan manja sang Pencipta terdengar oleh sejatinya penghuni planet ini, maka ratapan tak separah ini."
Aku tidak bermaksud menyanjung, juga tidak mau melankoli: karena setiap sajak yang kamu kirimkan dari Pojok Utara adalah ratapan, bukan tulisan tanpa makna. Bukan untuk para pemikir idealis, tapi kemanusiaan. Aku tidak pernah mendengar cerita kalau ada "Lorang" (tangisan untuk orang mati) yang selalu memikirkan terlebih dahulu kata-kata apa yang harus dipakai, dengan rima yang indah. Tidak.
Ratapan Israel di tepian sungai Babilon tanpa rima, tak teratur, tidak indah, karena alat musik seperti kecapi telah digantung di pohon Gandarusa--- Rahel meratapi anak-anaknya dan tidak ingin dihibur. Inilah yang ingin kusampaikan padamu dalam surat ini. Tentang apa yang pernah terjadi jauh sebelum kita lahir. Tentang sebuah tempat yang pernah kita dengar namun tidak ingin ke sana, Auschwitz.
Auschwitz itu tempat aneh. Penjara di tempat sepi, tersembunyi, terpencil, berlokasi di tengah padang rumput luas, dan dibatasi pagar kawat listrik dan berduri. Kalau kamu masuk ke dalam kompleks penjara, perlahan-lahan rasa sepi berubah menjadi ngeri, saat menyaksikan sisa-sisa kekejaman dan penderitaan anak-anak manusia: sepatu dan pakaian yang kumal dan lusuh, gumpalan rambut wanita yang dipangkas untuk rambut mainan boneka anak-anak Jerman, kumpulan gigi yang dicabut begitu saja untuk menyiksa atau merampas gigi emas, tiang gantungan, ruang penyiksaan, ruang eksekusi mati, dan lain-lain. Maaf aku tidak sempat mengamatinya satu per satu untumu.
Sodaraku, kengerian di Auschwitz menjadikan tempat itu sebagai Pembuangan Babilon II bangsa Israel, yang tidak akan pernah dilupakan oleh seorang Yahudi. Jangan kamu bermimpi ke sana, karena kamu bahkan tidak bisa merokok untuk menghilangkan mualmu.
Tempat itulah yang menjadi pusat dalam La Nuit (Malam) Elie Wiesel: takdir seorang manusia Yahudi yang lepas dari cengkeraman maut dan meratapi jutaan anak-anak yang dibuang ke perapian dan perempuan-perempuan yang mati ditembak tanpa mengenakan pakaian. Orang Yahudi yang pengalaman akan Allah sejarah menamai diri bangsa pilihan, di Jerman, mereka bukan manusia seutuhnya (geginrasse).
Tidak heran usai Auschwitz baik Yahudi maupun non-Yahudi tidak bisa lagi mempercayai Allah sejarah Kitab Suci, "apalagi yang bisa dikatakan seorang Yahudi tentang Allah?" Tidak ada makna sejarah yang dapat diselamatkan, tidak ada kebenaran sejarah yang dapat dipertahankan, dan tidak ada Allah dalam sejarah yang dapat disembah dengan punggung menghadap ke Auschwitz.
Sodaraku, apakah aku kasar dalam bertutur. Sekali saja, tapi jangan kamu berhenti membacanya.
Jika kamu sudah membaca suratku pada akhir Maret kemarin, kamu akan memahami bahwa cerita tentang "Yossel Rakover berbicara kepada Allah" dari Buenos Aires 1945, konteksnya adalah Auschwitz ini:Â "Ich glaub` an die Sonne, auch wenn sie nicht scheint. Ich glaub an die Liebe, auch wenn ich sie nicht fhle. Ich glaub` an Gott, auch wenn er schweigt".
Sayangnya dalam cerita "Yossel Rakover" itu, si pencerita menyajikan kisah yang tidak cukup memuaskan untuk menjawab pertanyaan, "jika Yahudi bangsa pilihan, mengapa Allah membiarkan mereka dibunuh dalam kamar gas kamp Auschwitz?
Bahkan kita tidak bisa menyebut itu sebagai Kiddush Hashem (pengudusan nama Allah), karena orang-orang Yahudi di Auschwitz, yang meninggal, tidak punya pilihan untuk mati atau bertobat sebagai orang Yahudi. Inilah yang menjadi latar belakang Theodor W. Adorno menyebut bahwa berpuisi bagi mereka setelah Auschwitz adalah barbarisme.
Baginya, tidak sopan dan tidak dapat dipercaya berbicara tentang cinta dan Allah yang peduli di hadapan anak-anak yang sekarat dalam api--- melompat dan mengambil anak dari lubang, membersihkan wajahnya dan menyembuhkan tubuhnya adalah satu-satunya hal yang diperhitungkan.
Lalu bagaimanakah kita berdoa bagi mereka di Auschwitz?
Sodaraku, apakah kamu merasa pertanyaan itu mirip dengan pertanyaanmu. Mungkin. Tapi biarlah itu hanya menjadi milik Emmanuel Levinas. Baginya kita dapat berbicara tentang mereka, namun dalam wajah para korban. Wajah mereka menyandra kita dengan kebakaan.
Tidak "ada satu setan dua binatang" pun di dunia yang memiliki hak melarang kita "berdoa" karena para korban sendiri di Auschwitz berdoa. Kita tidak pernah kembali ke belakang Auschwitz. Di luar Auschwitz kita tidak pernah datang sendirian, tetapi hanya dengan para korban Auschwitz".
Jangan kamu terlalu serius membacanya. Ini hanya nostalgia dari pengalaman yang selektif. Jangan juga kamu membacanya kuat-kuat. Biarkanlah anak-anak tertawa agar tidak ada yang mencurigai, karena tawaan mereka dapat mengajarkan kita apa yang harus kita buat setelahnya. Setelah kuceritakan padamu tentang yang satu ini. Tentang beban rasa bersalah ini. Teruslah membaca karena ada persoalan yang lebih serius dari ini.
Setelah Auschwitz, banyak orang mempersalahkan kita sodaraku, karena kematian orang Yahudi yang tidak bersalah itu terjadi di negara-negara berbasis Kristen. Mereka lupa kalau-kalau, nenek moyang kita dulu, juga pernah berbicara tentang penderitaan yang tidak bersalah sama sekali, yaitu Yesus yang mereka bunuh di Golgota.
Oleh karena itu kristologi sebagai soteriologi membungkam teodise: duka tidak mengenal kedaulatan, penderitaan lebih tepatnya ingin diperjuangkan. Oleh karenanya semua klaim idealisme harus diberikan janji akan masa depan. Hanya seruan apokaliptik yang tersisa bagi kita: Tuhan, di manakah Anda?
Sodaraku, aku tidak berani bercerita lebih jauh lagi. Ada ketakutan tak beralasan. Aku hanya ingin mengatakan padamu bersama Auschwitz, jika ada teologi yang terpisah dari masyarakat dan kondisi mereka, maka sebaiknya teologi tersebut berhenti untuk ada. Auschwitz kini bukan lagi nama sebuah tempat, melainkan sebuah termin teknis penderitaan abad XX.
Maka benar bahwa memori akan Auschwitz tidak boleh berhenti. Ia harus selalu dikenang, tidak hanya dalam agama Yahudi atau Kristen, melainkan mencakup semua. Karena Auschwitz juga berarti guncangan yang paling dalam dan penolakan dari kepenuhan teologis apa pun. Tetapi, pada tingkat sejarah penderitaan dunia, apa artinya mengingat sejarah penderitaan Kristus?
Sodaraku dengan penuh ketakutan kukirimkan surat ini, namun jangan tergesa-gesa membacanya. Karena jika kamu tergesa-gesa, kamu bisa menjadi sosok yang dimaksudkan Thomas Aquinas, Timeo hominum unius libri: "I fear a man with a single book".
Aku juga akan selalu menanti suratmu, entah sajak atau apalah.
Warm regard from me and just for you
Petrus Pit Duka Karwayu
17/04/2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI