"Ibu", anak itu memanggil. "I will not leave you. Mungkin takdir kita untuk tidak bahagia di sini."
Sayangnya. Janji anak itu hanya isapan jempol semata. Sewaktu dia menamatkan studinya di bangku sekolah, ia pun memutuskan untuk merantau ke tempat yang tidak pasti, mengejar cita-cita yang setinggi langit. Kepergiaan itu dirayakan dengan gembira oleh ibu kandung dan saudara-saudaranya....
 Namun di tengah kemeriahan pesta, Rosa tidak hadir. Ia menarik diri dari keramaian.... kembali ke rumah menjahit sehelai sapu tangan untuk menghapus air matanya yang jatuh entah kapan berhenti. Dan tiba-tiba anak sial itu sudah tertidur dipangkuannya, mencium kakinya, meminta maaf dan sekaligus restu.
"Jangan memaksa ibu untuk belajar hidup sendiri?"
"maafkan aku bu?"
"Sudah jangan menangis."
"Mengapa tidak hadir di sana." Seru anak itu dengan tangisan yang semakin besar.
"Ibu malu. Sudah jangan menangis. Nanti ibu tidak akan memberi restu. Ini air mata kebahagiaan, bahwa tugas ibu sudah selesai."
"Tidak bu. Jangan bilang begitu."
"Sudah. Kemasi barang-barangmu. Satu pesan ibu, kalau kamu berhasil menjadi orang, jangan sakiti hati perempuan. Karena menjadi kuat sekaligus lemah dalam waktu bersamaan, itu melelahkan." Ibu itu lalu bangun memegang tangan anaknya dan membawanya ke kamarnya.
"Ibu bangga meski tidak melahirkanmu."