Dimensi visibilis tersebut timbul kala gereja mulai belajar untuk berdialog dengan dunia modern. Sebut saja Teresia dari Kalkuta rupanya menjadi gambaran paling ideal untuk menunjukan peran perempuan dalam masyarakat sosial yang menggemah sejauh, entalah. Hal inilah yang ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik. 211, " Semua orang beriman kristiani mempunyai kewajiban dan hak agar warta ilahi keselamatan semakin menjangkau semua orang dari segala zaman dan di seluruh dunia".
Aku sebagai Hidup Bhakti
Tidak bermaksud memisahkan antara golongan awam dan para religius, namun jika menelisik soal peran di antara keduanya, rasanya perlu kita membedakan dua komunitas ini. Adapun disebut dalam Kitab Hukum Kanonik kanon 588#1 bahwasannya "status hidup bhakti, dari hakikatnya sendiri, bukanlah klerikal atau laikal".
Para religius adalah mereka yang dipanggil Allah, agar dalam kehidupan Gereja itu mereka menikmati anugerah khusus dan seturut tujuan serta semangat tarekat, berguna bagi perutusannya yang menyelamatkan (Kanon. 574#2). Bahkan melalui karisma mereka, para religius memberikan warna dalam gereja.
Mereka memperhias wajah gereja layaknya mempelai wanita yang berdandan bagi suaminya (PC. 1). Singkatnya para religius entah laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk memperkaya gereja lewat karisma-karisma yang dihidupi dalam kongregasi. Sebut saja suster-suster CB yang bergerak dalam karya kesehatan, dan lain sebagainya.
 Selama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II telah menulis banyak dokumen gerejani yang menegaskan martabat, kesetaraan serta talenta kaum perempuan. Akan tetapi, apa yang kurang dari dokumen-dokumen ini adalah usul saran spesifik untuk menciptakan peran-peran gerejani yang baru bagi kaum perempuan, sehingga memantulkan apa yang disiratkan di dalam kata-katanya mengenai kesetaraan di antara kaum laki-laki dan perempuan. Peran-peran yang dipuja-puji oleh Paus Yohanes Paulus II bagi kaum perempuan adalah keibuan dan keperawanan yang ditakdiskan (diikrarkan secara publik). Â
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan ini penulis ingin merumuskannya dalam puisi karya Gabriele Dietrich 'The blood of a Woman' sebagai refleksi guna mempertajam rangkaian ajaran Gereja atas peran perempuan,
Aku perempuan dan darah pengurbananku berseru ke langit yang kamu sebut surga.
Aku muak terhadapmu, para imam, yang tidak pernah mengeluarkan darah tetapi dapat berkata:
Inilah tubuhku yang diserahkan untukmu dan darahku yang dicurahkan untukmu minumlah,