c). merupakan simbol religius menyangkut in persona Christi.
Kitab Hukum Kanonik yang direvisi pada 1983 memberikan sebuah pernyataan yang lebih tegas lagi, yakni bahwa sakramen tahbisan merupakan sebuah ketetapan ilahi (Kanon. 1008), dan hanya laki-laki yang telah dibabtis dapat menerima penahbisan suci secara sah (Kanon. 1024).
Dengan demikian meminjam pernyataan Paus Fransiskus "Gereja tutup buku dalam membahas diskusi tentang tahbisan imam perempuan". Pertanyaannya adalah, lantas apakah masih ada ruang dalam gereja dalam menunjukan peran perempuan?
Dalam tulisan ini, penulis akan lebih memfokuskan diri pada apa kata Hukum Gereja (KHK 1983) tentang peran perempuan dalam gereja, dan pada realisasi konkret yang tampak dalam eksistensi prodiakon, para biarawati, dan bahkan ibu rumah tangga yang turut memberikan sumbangsihnya dalam gereja domestik.
Dengan demikian penulis menemukan sebuah korelasi eksplisit dari legitimasi Hukum Gereja. Lebih dari itu, penulis pun dapat menunjukan peran wanita dalam gereja dengan memiliki alasan iuridisial. Oleh karena itu, dalam penulisan ini penulis sangat membatasi diri pada buku atau pandangan dari tokoh-tokoh tertentu. Sumber yang nantinya digunakan lebih pada penguraian isi kanon, agar lebih ditangkap dan dipahami.
Aku sebagai awam
Boleh jadi polemik mengenai peran perempuan dalam gereja bersumber pada fenomena sebelum Konsili Vatikan II yang masih merekat dalam pemahaman umat Allah.
Orang katolik masa kini masih membayangkan gereja seperti "monolithic institution"; gereja dipahami seperti mata rantai yang diurai secara vertikal, dari awam sampai pada paus, ecclesiastical pyramid. Bukan hanya itu, golongan klerikal sendiripun dianggap sebagai yang memiliki otoritas. Kendati KHK 1983 telah menyebut klerus sebagai pelayan (Kanon. 207), nyatanya pemahaman itu belum mengakar rumput.
Singkatnya ada pandangan yang keliru dalam gambaran gereja sebagai Comunion of Comunions; orang jatuh pada status jabatan (atau bila ingin ekstrem wibawa), dan gagal memahami dengan sungguh peran mereka dalam gereja.
Ada alasan tersendiri mengapa gambaran perempuan sebagai kaum awam ditempatkan di bagian awal tulisan ini, pertama hampir sebagian besar warga gereja perempuan adalah awam. Kedua, sebagian besar warga gereja katolik belum memahami sepenuhnya peran status awam dalam kesatuannya dengan tubuh mistik Kristus (bdk. Kanon 208).
Dalam konstitusi dogmatik Lumen Gentium dijelaskan bahwa "kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, artinya menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial".