Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Perempuan dalam Gereja

3 Januari 2020   21:05 Diperbarui: 3 Januari 2020   21:12 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia berubah, tumbuhan bergerak dan manusia tidak lagi dapat memasukan kakinya ke dalam aliran sungai yang sama. Meskipun terkesan lambat, perubahan telah berhasil menyentuh kesadaran manusia; kesadaran akan abilitasnya yang menyeruak menjadi pergeseran teosentrisme menuju antroposentrisme.

Peradaban seolah tak kenal lelah, antroposentrisme yang cenderung antrhopos-nya adalah kaum pria menciptakan gulungan bola salju dari mampatnya kaum wanita dan meledak menjadi gerakan yang kini dikenal dengan sebutan feminism.

Para wanita yang kemudian menyadari bahwa peran ibu rumah tangga saja tidak cukup, lalu memekik menuntut kesetaraan gender.

Awalnya kehadiran ini hanya menjadi parodi, namun berangsur lama pergerakan mereka akhirnya tak dapat dipandang sebelah mata. Patricia Aburdence menyebut bahwa kecendrungan gerakan perempuan menuju milenium adalah menghilangkan pandangan seksis yang terwujud dalam diskriminasi terhadap perempuan.

Alhasil, seluruh ideologi patriarkat mendapat represi untuk bercermin ulang, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu dikaji melalui discerment yang mumpuni.

Berbanding terbalik dengan Gereja Katolik Roma, seruan kelompok feminis radikal untuk menuntut tahbisan kaum wanita bak meludah ke udara, membuang daya percuma.

Pada tahun 1975 di Detroit, sekelompok perempuan katolik menggelar konferensi tahbisan kaum perempuan yang pertama.

Hampir lebih dari dua belas ribu perempuan berkumpul guna meluncurkan seruan untuk tahbisan kaum perempuan menjadi imam. Seorang toko berpengaruh yang turut memberikan sambutan  adalah Sr. Mercy Elizabeth Carroll, seorang biarawati dari serikat Pittburgh. Bahkan seorang teolog Muslim Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa "perempuan direndahkan ketika yang sosiologis dijadikan teologis".

Menanggapi polemik ini, Gereja Katolik kemudian memberikan tiga argumen sebagai alasan mengapa tidak ada tahbisan imam perempuan dalam gereja katolik,

a). Tahbisan imam yang adalah laki-laki merupakan Tradisi Gereja yang sudah sejak lama dipertahankan.

b). merupakan kesaksian Kitab Suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun