Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cendrawasih Pemakan Kenari

13 Februari 2019   23:46 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:10 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menurutku, tidak semua buah jatuh dekat pada pohonnya. Justru dengan terpantul jauh, persebaran pohon itupun dimungkinkan," jelas Lobong mahasiswa baru di Fakultas Biologi, Kupang.

"Bagaimana dengan tanah kelahiranmu pulau Kenari?" sela Ratna gadis Belu yang menjadi primadona kampus.

"Pulau Alor dijuluki Nusa Kenari, karena hampir setiap daerahnya terdapat pohon yang satu ini. Bagaimana persebarannya, asumsi di atas dapat dipakai."

"Seumur hidup, belum pernah buah itu kami lihat dengan mata kepala, bahkan gambarpun," desak teman-teman lain dengan kebingungan yang beragam.

Memang pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukanlah yang awal. Tidak juga akhir. Setiap orang NTT jika bertemu dengan orang Alor, pasti akan bertanya soal kenari. Tak heran jika buah kenari menjadi oleh-oleh khas Alor bagi kerabat diaspora. Melihatnya saja sudah cukup.

Tapi benarkah kenari itu hanya terdapat di Pulau Alor?

"Buah kenari itu berbeda dengan buah-buahan pada  umumnya punya kulit, isi dan biji. Kulit luarnya tipis berwarna hitam pekat, diikuti kulit tebal berwarna kuning cerah. Setelah itu cangkang semacam loga keras coklat. Setelah cangkang ini, terdapat lagi kulit merah tua kemudian barulah isi yang berwarna putih mengkilap."

"Jika teman-teman pernah melihat kain tenunan masyarakat Lawahing di Alor, coraknya sama dengan buah kenari ini. Memang tidak pada motif, namun warnanya. Dari hitam, kuning, coklat, merah tua dan putih. Entah apa maknanya, saya juga tidak tahu persis, ha..ha..ha."

Lobong memang berasal dari Alor, namun dibesarkan di Kupang karena pekerjaan orangtuanya. Yang ia tahu, paling yang dikisahkan oleh orangtua, atau kerabat yang sempat melawat. Namun perawakannya yang mirip orang Papua, sulit memungkiri identitasnya sebagai Alorians.

"Woi, Alor hitam!" teriak Sebas, anak Kupang yang kerap menjahilinya.

Lobong mempercepat langkah seakan tidak mendengar suara orang yang memanggilnya. Ia sadar jelas-jelas itu tertuju padanya.

"Dasar keturunan Papua! Pace, ko mau pi mana?" Sebas memperkeras suaranya.

"Cendrawasih pemakan kenari," ejeknya.

"Sial berita di media masa itu rupanya sudah terdengar oleh lingkungan kampus. Lebih-lebih Kupang sialan ini," gumam Lobong sambil menggerakkan bibirnya.

Seakan tak memedulikan hinaan Sebas yang tertawa sinis terhadapnya, ia langsung bergegas ke rumah dengan beat birunya. Teriakan Sebas: "cendrawasih pemakan kenari" pun terus tergiang di kepalanya.

Sungguhkah nenek moyang kami dari Papua? Namun untuk apa mereka berkelana ke Alor, bukankah Alor hanyalah pulau kecil di tengah serangkaian pulau di Nusa Cendana? Dapatkah pulau ini menjadi Kanaan yang hilang?

"Tidak. Kami bukan dari Papua. Bisa jadi orang Papualah yang berasal dari Alor," kesal Lobong sambil membanting pintu kamar yang bermotif naga itu.

 Perlahan ia mengambil surat kabar yang disembunyikan di bawah bantal dan membaca secara detail. Ia sedikit ragu, karena hasil riset itu hanya termuat komparatif fisik. Dan memang kelihatan mirip.

"Tidak, tidak mungkin. Bagaimana orang Papua dapat sampai ke Alor? Bukankah sewaktu terjadi pembekuan air laut, daerah Nusa Tenggara sajalah yang tidak mengalami peristiwa itu, sehingga dinamakan laut parsial?"

 "Masyarakat Alor sendiri umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Aha, bukan Alor yang dari Papua, namun Papualah yang dari Alor. Tapi Mengapa kami sangat mirip?"   

"Ah parsetan dengan riset itu, toh lambat laun akan hilang. Namun aku benci terus dihina oleh Sebas," katanya.

"Tunggu sebentar. Bukankah guru sejarahku pernah mengatakan bahwa peradaban kulit kayu itu lebih tua. Papuakan hanya mengenakan rombe-rombe, anyaman rumput liar atau apalah. Yang jelas, itu lebih modern dari kulit kayu," yakin Lobong.

Saat tengah asik merenung handphonenya bergetar. Pesan masuk rupanya.

"Dari siapa yah," bisik Lobong.

"Eh Pace, udah baca surat kabar belum. Nenek moyang kalian itu kan Papua. ha...ha...ha.. Cendrawasih nyasar" dari nomor tanpa nama.

"Sepertinya kukenal nomor ini. tapi siapa yah. Ahh, sialan ini pasti Sebas. tak bosan-bosannya ia mengganggu hidupku," kesal Lobong.

"Maumu apa sih?" balas Lobong mengancam.

"Cuma menyadarkanmu saja. Kenapa minder yah. Jangan jadi kacang lupa kulit bung. Kalau dari Papua yah terima saja. Bereskan?" balas Sebas ngeledek.

"Sudah ah, buang-buang waktu saja. Percuma tanggapi. Semakin dilawan, semakin ikutan gila saya." gumam Lobong sambil menon-aktifkan handphone genggamnya.

"Tapi jika berita di media itu benarrr... Ah tak mungkin. Kami berbeda," gumam Lobong meyakinkan diri sendiri.

"Jika itu benar, maka Sebas benar. Kami hanyalah cendrawasih pemakan kenari. Mungkin inilah sialnya tak pernah hidup di Alor. Giliran mau adu argumen, tapi dasarnya ohang (tidak ada). Apa aku ke Alor saja yah. Lumayan buat penelitian. Tapi gimana caranya? Aku tak punya keluarga di sana."

"Aha! Kenapa tidak minta bantuan bapak saja. Kan ia sedang ada waktu cuti."

Perjalanan ke Alor membutuhkan waktu sehari penuh. Setibanya di pelabuhan Kalabahi, Lobong tampak kaget. Ia teringat majalah tempo hari tentang geneologi masyarakat Alor.

"Bapa, kenapa mereka tidak hitam seperti kita? Rambutnya pun lurus. Setidaknya gelombang. Mereka ini Alor mana?"

"Ohhhh! mereka itu pendatang. Yang berjualan itu kebanyakan Makasar, yang lainnya dari Timor dan Flores," terang ayah.

"Lalu masyarakat asli sini di mana?" tanya Lobong penasaran.

"Di gunung besar. Kampung kita pun berada di gunung. Orang gunung memang hitam-hitam. Mirip Papua, ha...ha...ha"  jawab sang ayah sambil tertawa lirih.

"Jadi yang di daerah perkotaan ini semuanya pendatang?"

"Mungkin inilah alasannya. Orang Papua juga mungkin berlayar ke Alor dan akhirnya bermukim. Sial! Pasti Sebas akan besar kepala. Namun, betulkah tak ada yang seasli-aslinya Alor?"  Renung Lobong.

Sepanjang perjalanan Lobong hanya mengamati dan mengamati.

"Benar, kebanyakan adalah pendatang. Bahkan mayoritas. Berarti benar mitos itu. Namun mengapa mereka memilih ke gunung?"

"Apakah sungguh orang Papua datang ke Alor dan membentuk pemukiman? Tidak, pegunungan di Papua jauh lebih indah dan kaya. Lagian mereka lebih suka merantau ke Papua New Guiniea dan Australia. Ke bagian Barat Indonesia pun paling-paling ke tempat yang lebih menjanjikan. Jawa mungkin."

"Sedang orang Alor lebih memiliki kecendrungan untuk bermigrasi ke Barat Indonesia. Ah.. apa peduliku, kalaupun kami dari sana, toh masih Indonesia," gumam Lobong berdebat dengan diri sendiri.

Saat hendak tertidur dalam Bus Biru Angkutan Desa, tiba-tiba saku celananya getar. Ada pesan masuk.

"Ingat oleh-oleh dari Alor!" tanpa nama.

"Sebas... Yah tidak salah lagi" kesal Lobong.

"Brow di sini kenari biasa dijual di mana?" tanya Lobong pada konjak bus.

"Itu di depan," jawab konjak acuh.

"Kalau begitu, sampai di depan tolong berhenti sebentar yah?" pinta Lobong.

Setelah tiba di depan pasar Impres, Lobongpun turun dan langsung mencari para penjual kenari.

"Lumayan. Buat oleh-oleh," gumamnya dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun