"Bapa, kenapa mereka tidak hitam seperti kita? Rambutnya pun lurus. Setidaknya gelombang. Mereka ini Alor mana?"
"Ohhhh! mereka itu pendatang. Yang berjualan itu kebanyakan Makasar, yang lainnya dari Timor dan Flores," terang ayah.
"Lalu masyarakat asli sini di mana?" tanya Lobong penasaran.
"Di gunung besar. Kampung kita pun berada di gunung. Orang gunung memang hitam-hitam. Mirip Papua, ha...ha...ha" Â jawab sang ayah sambil tertawa lirih.
"Jadi yang di daerah perkotaan ini semuanya pendatang?"
"Mungkin inilah alasannya. Orang Papua juga mungkin berlayar ke Alor dan akhirnya bermukim. Sial! Pasti Sebas akan besar kepala. Namun, betulkah tak ada yang seasli-aslinya Alor?" Â Renung Lobong.
Sepanjang perjalanan Lobong hanya mengamati dan mengamati.
"Benar, kebanyakan adalah pendatang. Bahkan mayoritas. Berarti benar mitos itu. Namun mengapa mereka memilih ke gunung?"
"Apakah sungguh orang Papua datang ke Alor dan membentuk pemukiman? Tidak, pegunungan di Papua jauh lebih indah dan kaya. Lagian mereka lebih suka merantau ke Papua New Guiniea dan Australia. Ke bagian Barat Indonesia pun paling-paling ke tempat yang lebih menjanjikan. Jawa mungkin."
"Sedang orang Alor lebih memiliki kecendrungan untuk bermigrasi ke Barat Indonesia. Ah.. apa peduliku, kalaupun kami dari sana, toh masih Indonesia," gumam Lobong berdebat dengan diri sendiri.
Saat hendak tertidur dalam Bus Biru Angkutan Desa, tiba-tiba saku celananya getar. Ada pesan masuk.