Mohon tunggu...
Nindia Pitaloka
Nindia Pitaloka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membudayakan Pola Hidup Sederhana dan Menyantuni Kaum Dhuafa

3 Desember 2023   22:18 Diperbarui: 3 Desember 2023   23:16 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Membudayakan pola hidup sederhana merupakan cara berpikir atau sesuatu kebiasaan yang dilakukan sehari-hari secara terus menerus berdasarkan kebutuhan dengan pendapatan yang dihasilkan dapat berjalan dengan seimbang.

Seperti contohnya dalam kehidupan sehari-hari yaitu selalu bersyukur akan setiap pencapaian dan penghasilan, bergaya sesuai kemampuan dan kebutuhan. Karena banyak orang yang bergaya tidak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Berhemat dalam finansial, melihat fenomena banyaknya orang yang selalu mendahulukan keinginannya, akhirnya mereka pun menjadi boros, sulit menabung dan investasi, sehingga kesulitan mencapai tujuan masa depan.       

Cara berhemat dalam finansial pun sebenarnya cukup mudah. Misalnya dengan menggunakan amplop-amplop keuangan, kita sudah tahu berapa saja pos-pos keuangan tersebut. Tidak hanya itu, kita bias mulai dengan menabung dan berinvestasi di hari pertama gajian. Meski terkesan sepele, hal ini ternyata cukup membantu agar kondisi keuangan kita tetap terjaga.

Dan dengan memulai kehidupan sederhana, kamu akan dihindarkan dari sikap impulsif sehingga kondisi keuangan bias lebih stabil.

LANDASAN TEORI / METODOLOGI

Kaum Dhuafa

Secara bahasa, dhuafa bermakna lemah. Sementara menurut istilah, dhuafa dapat disebut sebagaigolongan orang yang hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan, ketidak berdayaan, penderitaan, dan bentuk ketidak beruntungan lainnya. Dhuafa ini juga dapat dilihat dari kelemahan finansial, fisik, hingga psikis. Ada dua faktor yang menyebabkan orang menjadi dhuafa

Pertama, faktor internal yakni individu itu sendiri yang tidak memiliki sikap produktif sehingga menyebabkan kedhuafaan.

Kedua, faktor eksternal yaitu seseorang menjadi dhuafa karena keadaan diluar individu, seperti struktur social dalam kehidupan masyarakat yang tidak memihak, tidak adanya sikap kepedulian terhadap sesama, penindasan dan lain-lain.

Kaum Dhuafa adalah golongan manusia yang hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan ketidakberdayaan, ketertindasan, dan penderitaan yang tiada putus. Hidup mereka yang seperti itu bukan terjadi dengan sendirinya tanpa ada faktor yang menjadi penyebab. Adanya kaum dhuafa telah menjadi realitas dalam sejarah kemanusiaan. Sama halnya dengan keberadaan aghniya yang memiliki kelebihan dan kelapangan.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata dhuafa adalah “orang-orang lemah (ekonominya dan sebagainya)”.


Macam-macam dhuafa yaitu:

  • Orang fakir

Yaitu orang yang sama sekali tidak memiliki harta dan pekerjaan, atau memiliki harta namun hanya ada separuh kebutuhannya dan keluarganya yang wajib diketahui. Seperti tempat tinggal, pakaian, dan makanan.

  • Orang Miskin

Orang miskin adalah Sekelompok orang yang sedikit lebih baik keadaannya dari fakir. Dimana menurut imam syafi’i bahwa orang miskin itu Memiliki harta atau usaha namun tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kesederhanaan. QS al-Furqan (25): 67

 وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا  

Artinya : Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.

Pada ayat di atas dengan jelas menyebutkan, apabila manusia atau orang yang beriman yang ingin membelanjakan hartanya, maka ketika membelanjakan tersebut dia tidak boleh terlalu boros, dan juga tidak boleh terlalu kikir, melainkan berada di tengah-tengah (moderat). Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan keperluan. Kalau bersedekah, jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak. Hanya karena bangga dengan pahala bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu banyak, sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita sendiri. Tetapi jangan pula karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir sebenarnya. Dalam hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir dan tidak juga boros, namun berada di antara keduanya (moderat).

Beberapa sifat yang dimiliki iIbâd al-Rahmân, para hamba Dzat Yang Maha Penyayang memang benar-benar terpuji :

  • Tidak Isrâf, Secara etimologi, kata al-isrâf berasal dari kata al-saraf. Dijelaskan oleh alAsfahani, kata al-isrâf berarti tajâwaz al-hadd fî kulli fi‟l yaf‟aluhu al-insân (tindakan melampaui batas pada semua perbuatan yang dikerjakan manusia), meskipun yang lebih populer digunakan dalam hal infak (membelanjakan harta).

Tidak Kikir, larangan ini disebutkan dalam nas lain, seperti firman Allah swt.: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat (QS Al Imran [3]: 180).

Kesederhanaan dalam Hidup. QS al-Isra’ (17): 26–30

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا مَيْسُورًا

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

Ayat-ayat tersebut mengandung pesan untuk bersikap sederhana dalam hidup. Sikap tersebut adalah tidak berlebihan sekalipun dalam berinfak. Demikian juga dilarang untuk kikir dalam membelajakan harta. Sifat boros adalah perilaku setan yang ingkar kepada Tuhannya. Larangan kikir digambarkan dengan tangan yang terbelenggu di leher.

Kisah Qarun dalam QS al-Qashash (28): 79–82

فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ فِيْ زِيْنَتِهٖ ۗقَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا يٰلَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ قَارُوْنُۙ اِنَّهٗ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ،

وَقَالَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللّٰهِ خَيْرٌ لِّمَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ۚوَلَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا الصّٰبِرُوْنَ،

فَخَسَفْنَا بِهٖ وَبِدَارِهِ الْاَرْضَ ۗفَمَا كَانَ لَهٗ مِنْ فِئَةٍ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖوَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ،

وَاَصْبَحَ الَّذِيْنَ تَمَنَّوْا مَكَانَهٗ بِالْاَمْسِ يَقُوْلُوْنَ وَيْكَاَنَّ اللّٰهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُۚ لَوْلَآ اَنْ مَّنَّ اللّٰهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا ۗوَيْكَاَنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الْكٰفِرُوْنَ.

Ayat ini Menyampaikan kisah Qarun untuk diambil pelajaran. Qarun dengan segala kemegahannya memukau sebagian manusia. Saat melihat kebesaran Qarun sebagian manusia berangan-angan memliki keberuntungan laksana Qarun. Merekalah yang terpedaya dengan kemewahan dunia.

Pada saat Allah menenggelamkan Qarun beserta semua hartanya, dan tidak ada orang yang menolongnya, maka sebagian manusia menjadi tersadar akan kebesaran Allah swt. Bahwa Allahlah yang memberi rejeki. Manusia tidak diperbolehkan sombong, karena harta hanya titipan sang pemilik, Allah swt.

Macam-macam Kebajikan. QS al-Baqarah (2): 177

لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

Dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sebuah pertanyaan seorang laki laki tentang al–bir (kebajikan). Setelah turun ayat ini kemudian Rasulullah saw. memanggil kembali laki laki itu dan membacakan ayat tersebut. Ayat ini turun sebelum diwajibkannya salat fardu. Kala itu, bagi seseorang yang sudah bersyahadatain kemudian meninggal dalam keadaan beriman, maka harapannya dia mendapatkan kebaikan. Namun orang Yahudi beranggapan bahwa kebajikan itu jika salat menghadap ke Barat, sedang orang Nasrani menghadap ke Timur.

Adapun tanda-tanda orang yang benar-benar beriman dan bertakwa adalah sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini, sebagai berikut :

  • Iman (keyakinan) terhadap adanya Allah swt. hari pembalasan malaikat-malaikat, kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah swt. melalui para utusan-Nya.
  • Mendirikan salat, artinya melaksanakan pada waktunya dengan khusyu‟ lengkap dengan rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya.
  • Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya. Di dalam al-Qur‟an apabila disebutkan perintah mendirikan salat selalu pula diiringi dengan perintah menunaikan zakat, karena antara shalat dan zakat terjalin hubungan yang sangat erat dalam melaksanakan kebaktian dan kebajikan, salat adalah pembersih jiwa, sedangkan zakat adalah pembersih harta.

Bermegah-megahan di Dunia. QS al-Ma'un (107): 1–7

       أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ, فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ, وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ

ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ, ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ, وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ

Kata al-Maun secara bahasa berarti bantuan atau pertolongan. Surat ini berisi kalimat tanya retoris kepada manusia (umat Islam) tentang kriteria orang yang mendustakan agama. Surat ini menunjukkan perintah untuk saling memberi. Bahkan sekecil apapun bantuan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan sangat berpengaruh pada keimanan seseorang. Dan Termasuk pendusta agama adalah mereka yang berat dan enggan menolong orang-orang yang membutuhkan seperti fakir miskin.

Hadis-hadis tentang larangan berlebih-lebihan dan menyantuni dhuafa

       عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ مَا هَذَا السَّرَفُ فَقَالَ أَفِي الْوُضُوءِ إِسْرَافٌ قَالَ نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ

Hadis ini menunjukkan keharusan menghindari sikap boros. Dalam hadis tersebut dimisalkan dalam wudhu. Dalam berwudhu saja, kita tidak dibolehkan boros menggunakan air, apalagi dalam hal-hal yang hukumnya boleh.

Hadis tentang Keutamaan Memberi daripada Menerima

  عنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Allah swt. membuat keadaan manusia berbeda-beda. ada yang berkecukupan dan ada yang kekurangan. Hadis ini berisi perintah untuk menyantuni orang-orang yang tidak seberuntung kita. Perumpamaan yang dipakai adalah tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, maksudnya orang yang memberi lebih baik dari pada orang meminta. Begitulah Allah swt. membuat manusia untuk saling memberi kebaikan kepada orang lain.

KESIMPULAN

Allah melarang umat Islam bersikap berlebih-lebihan dan melampaui batas, bahkan dalam urusan ibadah.

Membelanjakan harta secara berlebihan (boros) adalah bentuk bentuk dari kesombongan dan keangkuhan.

Kerabat dan keluarga terdekat perlu mendapat perhatian lebih dahulu dalam bersedekah.

Islam menyelaraskan umat manusia untuk baik kepada Allah dan baik kepada sesama.

Termasuk orang mendustakan hari akhir, adalah mereka yang tidak memperhatikan para dhuafa dan fakir miskin.

Islam mendorong umatnya saling gemar memberi, dan mencela orang orang yang hanya meminta-minta.

SARAN (Optional)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashfahani, Al-Raghib. Mufradat Alfadh Al­Qur‟an. Damaskus: Dar Al-Qalam, 1992

Al-Asqalany, Ibnu Hajar. 1986. Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhary. Kairo: Dar alRayyan Turats.

Harun, Salman, Mutiara Al-Qur‟an. Jakarta: Logos, 1999.

Al-Jaza`iry, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, Madina, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1419 Al-Maraghy,

Ahmad Mushthafa. Tafsir al-Maraghy. Mesir: Maktabah Mushthafa al-Baby Al-Halaby, 1364 H Al-Nawawi,

Abu Zakaria bin Syaraf. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-`Araby, 1392 Al-Razi, Fakhr Al-Din.

 Al-Tafsir Al-Kabir aw Mafatih Al-Ghayb. Beirut: Dar Al-Kutub Al- `Ilmiyyah, 1990 Al-Sa`dy,

Abdur Rahman Nashir, Taysir Al-Karim al-Rahman fî Tafsir Kalam al-Mannan. Riyadl: Idarat Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta` wa al-Dakwah wa al-Irsyâd, 1410 H Al-Zuhaily,

Wahbah. Al-Tafsir al-Munir fi al-Syari`ah wa al-`Aqidah wa al-Manhaj. Damaskus: Dar Al-Fikr al-Mu`ashir, 1418.

Ibn Katsir, Isma`il Abu Al-Fida. Tafsir Al-Qur`an al-`Adhim. Kairo: Dar Al-Hadis, 1988. Ibn Mandzur, Jamaluddin Muhammad,

Lisan al-`Arab. Beirut: Dar Al-Fikr, 1994. Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012 Qal`aji,

Muhammad Rawwas dan Qunaybi, Hamid Shadiq. Mu`jam Lughat Al­Fuqahâ‟. Beirut: Dar Al-Nafa‟is, 1985 Shihab, M. Quraisy. Wawasan Al-Qur`an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun