Lain dulu, lain sekarang. Waktu bergulir semakin cepat berlalu. Hari demi hari dilalui tanpa terasa. Tetapi, sesungguhnya itulah realita hidup ataupun kehidupan yang harus dijalankan sampai napas hidup ini berhenti dan yang Kuasa menjemput.
Tentang hidup, kiranya secercah harap harus terus ada untuk anak cucu sampai kapan pun, ini terkait realita kehidupan yang terjadi saat ini. Ini semua adalah asa yang tersisa, secercah harap untuk anak cucu.
Secercah harap untuk anak cucu, tidak lain tentang realita kehidupan yang sedang dan akan terjadi. Napas kehidupan semua makhluk bermuara kepada kehidupan. Kehidupan sudah semestinya harus berlanjut dari sekarang sampai selama-lamanya. Berkaca kepada peristiwa tidak sedikit napas kehidupan bertanya sekaligus berjuang tentang hal ini (hutan).
Hutan ibarat ibu. Ibu yang selalu menyayangi karena merawat, menjaga dan memilihara serta mengasihi tanpa pamrih sepanjang waktu kepada sesama makhluk lainnya yang ada, termasuk kita manusia di sekitarnya. Hutan, memberi napas bagi sesama, kurang lebih itu sebagai sebuah pemberian dari Sang Kuasa kepada kita semua tentang kemurahan yang tidak terhingga.
Akan tetapi, hutan dulu tidak sama lagi dengan hutan yang ada sekarang ini. Remah-remah tajuk batang pohon acap kali tidak bersisa. Ranting kering pun semakin mudah berjumpa dengan bara api yang terkadang membara menyebar ancaman nyata.
Tidak jarang pula, ranting-ranting yang rebah tidak berdaya itu tersulut dalam api amarah hingga ranting dan batang dari tajuk-tajuk itu semakin sulit berdiri kokoh. Akar tercerabut, tidak kuat lagi menahan deruan air yang semakin deras menerpa ketika hujan turun.Â
Cerita pilu lainnya sering kali mendera tentang nasib hutan ini. Apabila boleh bercerita, hutan alam yang boleh kusebut sebagai ibu itu menanti disapa. Lihatlah, tengoklah dan rasakan apa yang terjadi kini padanya.
Ia (hutan) begitu penting, tetapi seolah tidak dianggap penting untuk dirawat, dijaga dan dilestarikan. Mengapa nasib hutan tidak kunjung membaik dari hari ke hari?
Tangan-tangan tidak terlihat, semakin sering mendera hutan alam ini. Sebagai pengingat, hutan alam ini sebagai napas hidup dan keberlanjutan hidup yang sampai kapanpun dirasa begitu penting dan sangat dibutuhkan oleh sebagian besar makhluk hidup lainnya.
Napas hidup di rimba raya tidak terkecuali tentang asa para primata, burung-burung dan satwa lainnya. Tajuk-tajuk pepohon tidak sedikit yang menjadi sumber pakan (makanan) dan habitat hidup (rumah) dari ragam primata itu pula yang kiranya masih boleh ada.
Cerita hari ini, besok dan yang akan datang sudah pasti berbeda. Ribuan bahkan jutaan tumbuhan dan ragam satwa menanti asa tentang nasib hidupnya saat ini. keadaan itu sebagai penanda kala tumbuhan, ragam satwa menjadi kegundaan serta gelisahan semua pula.
Derai tangis dan air mata tidak jarang menyatu dalam tatanan kehidupan. Tentang, fakta yang tidak mampu lagi menahan tangis karena pangaruh sebab dan akibat hingga ia bicara dalam bahasanya sendiri-sendiri. Akan tetapi, celakanya, ketika bencana datang, hutan alam yang terkadang atau bahkan sering disalahkan, bahkan tertuduh.
Hutan, alam sering kali (di/ter)tuduh menjadi penyebab biang terjadinya bencana. Bahkan hutan alam sering disebut tidak bersahabat dengan kita manusia. Namun, apakah demikian adanya? atau apakah sebaliknya kita sering menyakiti dan tidak bersahabat dengan hutan, alam ini?
Sejatinya kita patut bersyukur karena adanya hutan, alam ini. Dari hutan kita beroleh tidak sedikit manfaat. Dari hutan pula semua boleh harmoni untuk saling menjaga dan memilihara serta bertegur sapa dengan rasa sayang tanpa saling menyakiti.
Hutan yang tidak hanya sebagai ibu juga menjadi rumah bersama. Rumah Bersama tentu sudah selayaknya untuk dipelihara dan dijaga sampai anak cucu, bukan dirusak atau disakiti.
Rayuan maut bertubi-tubi datang kepadanya saban waktu. Rayuan itu untuk membuatku rebah tak berdaya hingga ia enggan bertunas kembali karena terus tergerus saban hari, dari waktu ke waktu.
Dari rumah Bersama itu, kita beroleh ruang dan waktu untuk sekedar makan, menghirup napas dan bertahan hidup juga memadu kasih agar semua bisa berdampingan serta saling menjaga. Selorohku, selorohmu juga tentang nasib semua makhluk saat ini dan nanti.
Dulu merdunya kicauan memberi sejuta harap tentang cerita manis bagi semua yang mendiami rumah bersama itu (hutan). Hamoni, itu kata yang penah ada. Semua nafas bisa saling bahu-membahu bersama agar tetap boleh dan lestari hingga nanti.
Riang gembira ragam satwa menyapa dengan kata-kata tentang mereka yang saat ini menati kasih. Kasih tentang bagaimana hutanku (hutan kita bersama) kini bisa hingga nanti terus berdiri tanpa berseloroh tentang nasibnya.
Seloroh ragam satwa yang ada sebagai penanda bahwa sesungguhnya hutan itu selalu memberikan keindahan. Keindahan akan ragam manfaat kepada seluruh penghuni yang menghuni rumah bersama yang tak lain hutan rimba belantara.
Tetapi pertanyaannya sekarang, masih adakah asa untuk menyelamatkan rumah bersama, rumah kita semua napas segala bernyawa?
Saat sekarang, rumah bersama kini tidak lagi rumah, namun tak ubah gubuk derita yang semakin sepi penghuni.
Segala isi dari rumah bersama itu kini, sepertinya semakin sulit ditinggal karena memang sudah membuat tak betah untuk menetap. Panas terik berbanding lurus dengan robohnya segala tajuk-tajuk pepohonan yang semakin sering tumbang karena kalah bersaing untuk terus dibuka dan diganti dengan tanaman pengganti atau kami digali, namun sudah pasti tak sama.
Riuh rendah kalang kabut tentang bencana pun tak jarang bergema sembari bercerita tentang rumah bersama. Rimba raya yang tak lain juga adalah hutan sebagai rumah bersama kini cenderung dirundung malang.
Cerita riang gembira penghuni rimba raya (hutan) belantara sebagai rumah bersama pun berubah jauh. Bukan ia (hutan) yang tak bersahabat, tetapi sejatinya kita semualah yang membuat rimba raya sebagai rumah bersama dan memiliki segalanya bagi keberlajutan semua makhluk pula semestinya. Fakta bercerita dalam bahasanya memberi tanda akan bagaimana sesungguhnya kita bersikap dengan semua ini.
Semua berharap rumah yang ramah itu selalu ada dan tidak berganti gubuk derita berupa padang ilalang yang membuat semua napas semakin terluka dan menderita, yang sulit bertumbuh dan berkembang karena acap kali rebah tak berdaya hingga terkikis menjelang habis.
Mampukah kita setidaknya menumbuhkan rasa atau berbela rasa dengan tidakan kasih yang kita semua miliki agar boleh kiranya kita menanam, memilihara, menjaga dan menuai tanpa harus merusak.
Hutan, alam ini menjadi tanggung jawab bersama semua kita, sudah semestinya menjadi perhatian agar kita semua bisa selalu harmoni hingga selamanya.
Sebagai pengingat, bukankah kita semua sesungguhnya diciptakan untuk saling harmoni satu dengan yang lain. Hutan perlu penyemai seperti beragam satwa seperti orangutan dan burung enggang.
Agar mereka selalu ada, bolehlah kiranya kita semua untuk bersama-sama menjaga sembari berharap kita semua bisa terus hidup berdampingan hingga selamanya. Berharap pula ada asa dan rasa bagi kita semua agar semua bisa harmoni dan lestari hingga nanti.
Hutan terjaga, masyarakat sejahtera hingga anak cucu beroleh secercah harap untuk terus berlanjut bahagia bukan derita.
Penulis: Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H