Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Asa yang Tersisa, Secercah Harap untuk Anak Cucu

23 Februari 2023   14:47 Diperbarui: 26 Februari 2023   17:08 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita hari ini, besok dan yang akan datang sudah pasti berbeda. Ribuan bahkan jutaan tumbuhan dan ragam satwa menanti asa tentang nasib hidupnya saat ini. keadaan itu sebagai penanda kala tumbuhan, ragam satwa menjadi kegundaan serta gelisahan semua pula.

Derai tangis dan air mata tidak jarang menyatu dalam tatanan kehidupan. Tentang, fakta yang tidak mampu lagi menahan tangis karena pangaruh sebab dan akibat hingga ia bicara dalam bahasanya sendiri-sendiri. Akan tetapi, celakanya, ketika bencana datang, hutan alam yang terkadang atau bahkan sering disalahkan, bahkan tertuduh.

Hutan, alam sering kali (di/ter)tuduh menjadi penyebab biang terjadinya bencana. Bahkan hutan alam sering disebut tidak bersahabat dengan kita manusia. Namun, apakah demikian adanya? atau apakah sebaliknya kita sering menyakiti dan tidak bersahabat dengan hutan, alam ini?

Sejatinya kita patut bersyukur karena adanya hutan, alam ini. Dari hutan kita beroleh tidak sedikit manfaat. Dari hutan pula semua boleh harmoni untuk saling menjaga dan memilihara serta bertegur sapa dengan rasa sayang tanpa saling menyakiti.

Hutan yang tidak hanya sebagai ibu juga menjadi rumah bersama. Rumah Bersama tentu sudah selayaknya untuk dipelihara dan dijaga sampai anak cucu, bukan dirusak atau disakiti.

Rayuan maut bertubi-tubi datang kepadanya saban waktu. Rayuan itu untuk membuatku rebah tak berdaya hingga ia enggan bertunas kembali karena terus tergerus saban hari, dari waktu ke waktu.

Dari rumah Bersama itu, kita beroleh ruang dan waktu untuk sekedar makan, menghirup napas dan bertahan hidup juga memadu kasih agar semua bisa berdampingan serta saling menjaga. Selorohku, selorohmu juga tentang nasib semua makhluk saat ini dan nanti.

Dulu merdunya kicauan memberi sejuta harap tentang cerita manis bagi semua yang mendiami rumah bersama itu (hutan). Hamoni, itu kata yang penah ada. Semua nafas bisa saling bahu-membahu bersama agar tetap boleh dan lestari hingga nanti.

Riang gembira ragam satwa menyapa dengan kata-kata tentang mereka yang saat ini menati kasih. Kasih tentang bagaimana hutanku (hutan kita bersama) kini bisa hingga nanti terus berdiri tanpa berseloroh tentang nasibnya.

Seloroh ragam satwa yang ada sebagai penanda bahwa sesungguhnya hutan itu selalu memberikan keindahan. Keindahan akan ragam manfaat kepada seluruh penghuni yang menghuni rumah bersama yang tak lain hutan rimba belantara.

Tetapi pertanyaannya sekarang, masih adakah asa untuk menyelamatkan rumah bersama, rumah kita semua napas segala bernyawa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun